Resensi: Dialog Dini Hari – Parahidup

Sep 2, 2019

Artist: Dialog Dini Hari
Album: Parahidup
Label: Rain Dogs Records
Peringkat Indonesia: 7.5/10

Siang itu di dalam commuterline yang membawa saya dari pinggiran ke jantung kota, di laman playlist Spotify tak sengaja tersetel “Winter Song”, sebuah lagu yang digubah Lindisfarne, grup asal Newcastle. Musik mereka adalah percampuran antara folk dan rock, ada nuansa akustik mendominasi di seputar musiknya. Lagu berdurasi lima menit ini menceritakan soal topik kasual: soal musim dingin di bulan Desember. Meski kemudian, ketika ditilik lebih dalam, “Winter Song” tak melulu soal musim dingin semata, ada perenungan menarik yang diam di kedalaman lirik lagu ini. “Winter Song” terus mengalun, saya terbawa ke suasana musim dingin yang diciptakan lagu ini yang telah bercampur dengan pendingin udara di gerbong saya yang lumayan kosong.

Musik akustik seperti Lindisfarne, juga Fairport Convention dan Grateful Dead (terutama era Workingman’s Dead) lama menjadi favorit saya. Alasannya sederhana: Di musik inilah saya dengan mudah mendengarkan apa yang dinyanyikan sang penggubah tanpa terdistraksi oleh banyak bebunyian di sekitarnya. Tidak seperti blues: selalu ada gangguan-gangguan kecil seperti nakalnya lick-lick gitar, atau mungkin rock psikedelia kelas berat dengan pemakaian reverb atau delay yang memusingkan, yang kesemuanya justru menenggelamkan liriknya. Singkat cerita, musik akustik benar-benar tahu menempatkan lirik dan vokal menjadi panglima.

Sama halnya dengan Dialog Dini Hari. Sejak Tentang Rumahku keluar di tahun 2014, saya suka dengan trio ini. Dengan balutan musik akustik yang mereka kemas, grup ini dengan mudah membebaskan lirik untuk terbang mencari beragam kata dan tema untuk kemudian ditulis dan digubah oleh Dadang, Zio dan Deny menjadi lagu.

Dan kini saya menikmati Parahidup, album ketiga yang dirilis lima tahun sesudah Tentang Rumahku. Dan seperti album-album sebelumnya, Dialog Dini Hari kembali mengajak pendengarnya untuk menyimak perenungan-perenungan khas yang mereka alami sepanjang karier dan hidupnya.

Barangkali manusia menjadi pusat perhatian dari album ini, tingkah polah manusia dilukiskan dalam beragam bentuk, baik sebagai hyena yang oportunis ataupun sebagai tikus pencuri, penuh dengan akal bulus. Manusia juga menjadi bagian dari relung relung bait mendalam dalam “Pralaya” juga “Dalam Kedangkalan”. Lirik yang kuat lagi-lagi menjadi senjata tajam Dadang dkk untuk mengajak pendengar yang diharapkan tak hanya hafal dengan syair, namun juga merenungkannya. Saya sendiri belum bisa menghafal banyak, namun sedikit banyak bisa merenungkan.

Sebelum akhirnya saya kembali menyetel “Winter Song” dari Lindisfarne, saya sudah lima kali mengulang “Kawanku”, satu dari lagu favorit di album Parahidup. Sebuah lagu sentimentil yang membuat buku kuduk berdiri ketika berusaha memikirkan sejenak tentang akhir usia sementara mata ini menatap kosong ke luar jendela: Sebuah aktivitas kasual.

_______

Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.

Eksplor konten lain Pophariini

Selat Malaka Resmi Mengeluarkan Album Penuh Perdana

Band asal Medan bernama Selat Malaka resmi mengeluarkan album penuh perdana self-titled hari Jumat (22/11). Sebelumnya, mereka sudah mengantongi satu single “Angin Melambai” yang beredar tahun lalu.     View this post on Instagram …

I’m Kidding Asal Aceh Tetap Semangat Berkarya di Tengah Keterbatasan

Setelah merilis 2 single bulan Juni lalu, band pop punk asal Aceh, I’m Kidding akhirnya resmi meluncurkan album penuh perdana mereka dalam tajuk Awal dan Baru hari Minggu (10/11).     I’m Kidding terbentuk …