Ekosistem Musik dan Peluncuran Buku Merchandise Musik: Gaya Visual Dalam Skena
Tatkala matahari terbenam yang membuat seisi kota menyalakan berbagai macam lampu jalanan pada hari Sabtu (15/06/2024) turut mendampingi perjalanan saya menuju JRNY Coffee & Records di dekat jalan Colombo, Sleman. Terdapat sebuah acara yang sudah seringkali diselenggarakan yakni Journey Talk, untuk chapter #26 kali ini sedikit berbeda dibandingkan sebelumnya, dikarenakan adanya diskusi sekaligus peluncuran buku “Merchandise Musik: Gaya Visual Dalam Skena”. Sebuah buku yang membahas pandangan terhadap ekosistem musik melalui seni visual dan menggali fenomena dari kesatuan ekspresi identitas budaya dan gaya hidup.
Saya berangkat lebih awal setelah adzan magrib berkumandang, parkiran yang masih tidak terlalu dipadati oleh kendaraan bermotor sembari berjalan menaiki tangga menuju rooftop tempat peluncuran buku berlangsung, tampak sudah beberapa orang yang mungkin sedang membincangkan persoalan fenomena merchandise musik di era kontemporer saat ini. Saya disambut oleh sebuah booth Cherrypop yang ikut menghiasi rooftop. Buku ini berkolaborasi dengan Swasembada Kreasi sebagai promotor festival musik Cherrypop, media musik lokal Koloni Gigs, dan diterbitkan oleh ITTP Press.
Buku “Merchandise Musik: Gaya Visual Dalam Skena”. Sebuah buku yang membahas pandangan terhadap ekosistem musik melalui seni visual dan menggali fenomena dari kesatuan ekspresi identitas budaya dan gaya hidup.
Diskusi dan peluncuran buku menghadirkan tiga orang yang sudah berkecimpung dalam skena musik dan ekosistem musik di Jogja. Pertama, Arsita Pinandita (Penulis buku Merchandise Musik: Gaya Visual Dalam Skena dan Co Founder Cherrypop). Kedua, Sirin Farid Stevy (Vokalis FSTVLST dan Libstud). Ketiga, Fariz Fachryan (BRSK Merch Store).
Sebagai pengantar diskusi, Agus selaku moderator memantik diskusi dengan melempar sebuah tanda tanya keingintahuan akan alasan Dita menulis buku seputar merchandise musik “Apa yang menjadi alasan trigger untuk merilis buku ini?” tanya Agus. Pertanyaan yang mewakili keingintahuan saya juga dan banyak orang yang ikut mendengarkan diskusi malam itu.
“Posisi merch dalam band itu seperti apa, adanya kekhawatiran apakah merchandise akan menjadi sarana utamanya atau merchandise akan selalu menjadi pendamping dari band dan sebagainya, nah sebetulnya masalah-masalah tersebut mendasari saya untuk membuat buku ini” ujar Dita yang menjawab pertanyaan moderator.
Diskusi dan peluncuran buku menghadirkan tiga orang yang sudah berkecimpung dalam skena musik dan ekosistem musik di Jogja. Pertama, Arsita Pinandita (Penulis buku Merchandise Musik: Gaya Visual Dalam Skena dan Co Founder Cherrypop). Kedua, Sirin Farid Stevy (Vokalis FSTVLST dan Libstud). Ketiga, Fariz Fachryan (BRSK Merch Store).
Keterikatan Merchandise dan Seputaran Ekosistem Musik
Berbicara mengenai merchandise seringkali disingkat dengan sebutan merch. Dalam konteks musik merupakan sekumpulan produk yang saling terkait dan ditunjukan kepada konsumen yang memiliki minat terhadap musik, artis, atau band. Seiring berkembangnya merch dengan meningkatnya jumlah pendengar musik, merch dapat dikategorikan menjadi lima jenis. Pertama, pakaian. Kedua, aksesoris. Ketiga, rilisan fisik. Keempat, barang koleksi. Kelima, barang keseharian.
Di Indonesia sendiri fenomena merch terbilang masih muda karena baru muncul di tahun 90-an, dibandingkan dengan record label yang sudah ada sejak tahun 50-an seperti yang dialami oleh Slank, mereka menjual merch melalui fans club sehingga tidak mendapatkan keuntungan sama sekali tetapi menjadi sebuah media untuk berinteraksi dengan para fansnya.
Kehadiran merch yang selalu kita pakai di kehidupan sehari-hari tanpa disadari memiliki potensi sangat luas, selain menjadi sarana individu untuk berpakaian dengan bebasnya tetapi juga menjadi sarana untuk terhubung berkomunikasi dengan band yang kita sukai.
“Kenapa merch menjadi benda yang sangat personal bagi siapapun yang memakai, karena merch bisa mewakili identitas dari pemakai dan terkoneksi dengan bandnya” ucap Dita.
Farid Stevy pun menceritakan bagaimana awal ketika terbentuknya band ‘mitos’ Jenny yang harus membiayai pelatihan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, mereka harus berpikir kreatif, salah satu langkah yang diambil agar sustainable adalah dengan menjual merch.
Kehadiran merch yang selalu kita pakai di kehidupan sehari-hari tanpa disadari memiliki potensi sangat luas, selain menjadi sarana individu untuk berpakaian dengan bebasnya tetapi juga menjadi sarana untuk terhubung berkomunikasi dengan band yang kita sukai.
“Awal-awal Jenny dulu kita bayar latihan dari hasil jual merch, mulai pelan-pelan organisasi bisnisnya berjalan untuk menjalankan band ini”
Tak hanya itu, Farid Stevy selaku vokalis FSTVLST menjabarkan tiga prinsip yang dipegang FSTVLST dalam setiap penjualan merch mereka agar memiliki arah tujuan yang jelas dalam keberlangsungan dan perkembangan band FSTVLST.
“FSTVLST berusaha menggunakan merch itu dalam beberapa tujuan yang spesifik. Pertama, Ini adalah cara kita supaya band ini tetap bisa berjalan dan ada goals nya. Kedua, Ini juga upaya untuk mendorong ekosistem yang mandiri. Ketiga, Upaya kita untuk menyatakan diri terus menerus dan relevansi dengan pendengar-pendengar baru” ucapnya sembari menikmati sebatang rokok.
Berangkat dari keresahan yang dialami Farid Stevy dan kawan-kawan musisi terkait dengan merch, Libstudio dan FSTVLST menyelenggarakan sebuah perayaan terhadap tajuk acara Music Merch Fest yang berlangsung satu tahun sekali. Pada tahun 2023, Music Merch Fest diadakan di 15 kota yang turut serta menggelar acara dengan berbagai macam kegiatan yang menarik. Di Yogyakarta, acara diselenggarakan selama tiga hari (30/04-02/05/2023) bertempat di LIBSTUD (Liberates Creative Colony).
“Polisi skena” seringkali merasa pendapatnya tentang dunia musik paling benar dan berujung pada penghakiman selera musik yang berbeda dari dirinya, hal ini mengakibatkan rasa tidak nyaman bagi mereka yang terhakimi.
“Di tahun lalu bersama kawan kawan menginisiasi Music Merch Fest, ini juga dilakukan untuk mewancanakan bahwa merch itu sesuatu yang sangat penting dalam ekosistem kita dan ini penting bagi band-band yang sedang bertahan”
Fariz seorang reseller dari BRSK merch mengungkapkan pada tahun 2018/2019, orang-orang lebih cenderung membeli merch kaos dibanding dengan rilisan fisik, salah satunya di era Grimloc Records merilis kaos homicide.
Salah seorang penanya melontarkan sebuah pertanyaan. “Bagaimana merch ini bisa berdampak lebih jauh?”. Hal ini merujuk pada peran merch yang dapat berperan aktif sebagai bentuk gerakan solidaritas atas kepedulian bersama di beberapa tahun terakhir.
“Contoh di label Grimloc Records misal, merch itu bukan hanya untuk kepentingan musisinya saja tetapi lebih luas digunakan sebagai bagian dari kolektif untuk gerakan akar rumput, itu yang seharusnya lebih banyak dilakukan” Ungkap Fariz.
Kemunculan Pak Polisi Skena
Pemaknaan kata skena yang beberapa tahun kebelakang sedang ramai dibahas, seringkali dikaitkan dengan genre musik, fashion, atau tempat populer yang sering dikunjungi oleh kawula muda.
Kata skena pada saat ini belum secara resmi masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) namun jika mengacu dari terjemahaan informal kata bahasa inggris “scene” memiliki arti berbagai macam makna, mengarah kepada berbagai kegiatan, situasi, selera yang sedang tren. Di Indonesia kata skena pada perkembangannya seringkali melekat pada subkultur suatu identitas dengan minat dan nilai yang sama untuk berinteraksi dan berbagi pengalaman misal skena hardcore, skena punk, skena metal, dan lain sebagainya.
“Wih pake sepatu Docmart, kaos band, pasti anak skena banget”, “Konsultasi skena, konsultasi skena”, “Lu pasti anak skena, sebutkan tiga lagu yang kaos lu pake dong!”. Pernah mendapatkan ucapan kalimat tersebut dari seseorang di media sosial atau orang terdekat kita?
Farid Stevy mengharapkan diskursus merch musik dapat terus digaungkan agar setiap orang yang membeli merch dari suatu band, tidak hanya sekedar sebagai penunjang ekonomi namun pembeli juga telah terlibat dalam perputaran ekosistem musik.
Menurut Dita munculnya “polisi skena” tidak lain karena hal preferensi individu tersebut dan kecenderungan akan estetika yang mengacu pada pandangan selera pribadi yang memegang peran sebagai penilai penampilan atau preferensi musik, “polisi skena” seringkali merasa pendapatnya tentang dunia musik paling benar dan berujung pada penghakiman selera musik yang berbeda dari dirinya, hal ini mengakibatkan rasa tidak nyaman bagi mereka yang terhakimi.
“Karena skena itu berkaitan dengan apa yang dilihat yaitu artistik. Artistik itu estetika, akhirnya orang yang memperlakukan skena itu jadi harus patron, karena banyak orang yang membuat patron muncullah istilah “polisi skena” untuk menghakimi orang yang berbeda dengan sudut pandangnya.” Pungkasnya
Lebih dari itu, pengertian skena tidak hanya sekedar untuk orang berkumpul atau bersilaturahmi dalam preferensi musik tertentu, melainkan melihatnya sebagai konsep yang lebih luas dalam konteks komunitas musik. Kalau kata Sir Dandy dalam penggalan lirik lagu “Polisi Skena” “Tiap orang punya cara//Menikmati musik//Beda-beda tak mengapa//Malah jadi unik//Berdansa dan berpakaian//Berlomba tampil nyentrik//Yang aktif yang pasif//Tolong jangan saling usik”
Farid Stevy mengharapkan diskursus merch musik dapat terus digaungkan agar setiap orang yang membeli merch dari suatu band, tidak hanya sekedar sebagai penunjang ekonomi namun pembeli juga telah terlibat dalam perputaran ekosistem musik.
“Menurut saya merch musik harus dibicarakan terus-menerus dan kawan-kawan yang tadinya bersinggungan dengan merch musik hanya sebagai pembeli, mereka jadi mengerti bahwa signifikansi membeli merch itu bukan semata-mata sebagai konsensus ekonomi saja.” Tutupnya.
Acara ditutup dengan penjualan tiket Cherrypop “Selamet Bermusik” 2024 yang membuat orang-orang mengantri panjang agar mendapatkan tiket dengan potongan harga yang terbilang cukup murah dan pembagian poster hasil kolaborasi Dwiky X Cherrypop secara acak kepada pengunjung yang beruntung mendapatkannya secara cuma-cuma. Namun saya lebih tertarik untuk membeli buku Merchandise Musik: Gaya Visual Dalam Skena dan pulang dengan perasaan bahagia karena sudah membeli buku yang ciamik parah.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Juicy Luicy – Nonfiksi
Lewat Nonfiksi, Juicy Luicy semakin mengukuhkan diri sebagai band pengusung lagu patah hati dengan formula pop R&B yang jitu dan ultra-catchy. Pertanyaannya: sampai kapan mereka akan menjual kisah patah hati kasihan dan rasa inferioritas …
Lirik Lagu Empati Tamako TTATW tentang Mencari Ketenangan dan Kedamaian
Penggemar The Trees and The Wild sempat dibuat deg-degan sama unggahan Remedy Waloni di Instagram Story awal November lalu. Unggahan tersebut berisi tanggapan Remedy untuk pengikut yang menanyakan tentang kemungkinan kembalinya TTATW. …