Catatan dari Trendy Taipei, Melihat Pesona Indonesia dari Konferensi Musik Asia di Taiwan

Oct 12, 2024

November ini, tepat tiga tahun saya menginjakkan kaki di Taiwan. Sebuah pulau kecil antara Timur dan Tenggara Asia, bisa dikelilingi dalam satu hari, yang tidak saya duga punya kancah musik yang semarak. Tiga tahun ini pula saya melihat kancah musik Indonesia dari lensa yang berbeda: sebagai primadona yang bikin penasaran se-Asia.

Catatan ini, saya rangkum dari sejumlah konferensi musik yang sempat saya sambangi di Taiwan.

Terakhir, saya hadir untuk Trendy Taipei awal September lalu, sebuah rangkaian acara musik yang terdiri dari expo, konferensi, dan panggung penampilan yang menghadirkan sejumlah band-band dari Asia.

Sedikit intermezzo, Taiwan punya beberapa acara senapas, mungkin lebih dari lima setiap tahunnya dan dihelat di beberapa kota berbeda. Teman-teman dari Indonesia beberapa kali bolak balik Taiwan untuk menghadiri sebagian di antaranya. Ini berkaitan dengan kebutuhan Taiwan untuk mengekspansi talenta seninya

Acara ini digagas oleh Taipei Music Center, sebuah ruang musik yang didukung Pemerintah Kota Taipei mencakup beberapa panggung dengan beragam kapasitas; pusat belanja alat musik dan rilisan; serta museum musik yang terletak di utara Taipei.

Sedikit intermezzo, Taiwan punya beberapa acara senapas, mungkin lebih dari lima setiap tahunnya dan dihelat di beberapa kota berbeda. Teman-teman dari Indonesia beberapa kali bolak balik Taiwan untuk menghadiri sebagian di antaranya. Ini berkaitan dengan kebutuhan Taiwan untuk mengekspansi talenta seninya, termasuk musik dan strategisnya pulau ini sebagai hub bagi Timur dan Tenggara Asia.

Lain dari itu, era pasca-pandemi saya asumsikan sebagai babak baru dari jejaring musik sekaligus fase lain dari komunitas lokal menuju persilangan dan kerjasama internasional yang lebih konkret.

Sudut Pandang Taiwan

Seperti saya singgung di atas, Taiwan adalah pulau yang relatif kecil dengan hanya tiga atau empat kota utama saja yakni Taipei di utara, Taichung di tengah, dan Tainan serta Kaohsiung di selatan. Dengan populasi 23 jutaan di luar migran dan kancah musik yang tersentralisasi di ibu kota Taipei, tidak banyak harapan jika hanya ingin “mengandalkan pasar musik lokal”.

Dengan alasan politis ada keterbatasan bagi band Taiwan untuk mengekspansi musik ke Tiongkok yang begitu luas, padahal punya pasar yang menjanjikan di sana. Alhasil, maka Taiwan memilih ekspansi ke atas dan bawah (baca: Jepang dan Korea Selatan di Asia Timur; serta negara-negara Asia Tenggara yang ada di bawah)

Taiwan juga punya situasi yang ambigu sebagai negara. Di sisi lain sudah punya sistem dan pemerintahan sendiri, di sisi lain masih “dihantui” Tiongkok yang mengklaim pulau ini adalah bagian dari mereka dan mengancam sewaktu-waktu akan mengambil alih dan dunia internasional yang “hanya memilih satu Tiongkok” saja.

Dengan alasan politis ada keterbatasan bagi band Taiwan untuk mengekspansi musik ke Tiongkok yang begitu luas, padahal punya pasar yang menjanjikan di sana. Alhasil, mengutip band Indonesia Efek Rumah Kaca kalau “Pasar Bisa Diciptakan”, maka Taiwan memilih ekspansi ke atas dan bawah (baca: Jepang dan Korea Selatan di Asia Timur; serta negara-negara Asia Tenggara yang ada di bawah).

Namun terlepas dari situasi ini, bukan berarti kancah musik Taiwan stagnan. Menurut saya kancah musik Taiwan bahkan terlalu ramai.

Lima hari dalam sepekan, akan ada saja sejumlah acara musik dari yang skala kecil hingga besar; dari band hingga DJ. Utamanya di Taipei yang punya lusinan tempat pertunjukkan dari yang berkapasitas 50 hingga ratusan ribu. Cara mengaksesnya pun terbilang mudah. Enggak heran kalau dalam satu malam, satu live house bisa punya dua pertunjukan berbeda.

Belum lagi bicara festival musik yang hampir ada setiap bulannya. Kalau sudah menuju akhir tahun seperti ini dalam sebulan bisa ada tiga sampai lima musik festival di sejumlah kota. Bahkan harinya bisa bertabrakan antara festival yang satu dengan yang lain. Dengan populasi yang “itu-itu saja” dan tawaran musik festival yang “ada-ada saja”, saya suka heran berapa yang dihabiskan muda mudi Taiwan setiap bulan untuk menonton pertunjukan.

Indonesia: Primadona yang Menantang

Di tengah keterbatasan memperluas pendengarnya, maka menjadi masuk akal kalau konferensi musik, yang mempertemukan pelaku industri dan kancah untuk bertukar pikiran menjadi jalan untuk semakin memperkenalkan potensinya. Dalam konferensi-konferensi ini, Indonesia tentu menjadi sorotan.

Asumsi saya, konsep “trigger cities” yang dikembangkan oleh Chartmetric pada 2019 dan menyertakan Jakarta sebagai salah satunya jadi biang penasaran industri musik luar —apalagi yang disokong pemerintah seperti Taiwan— pada Indonesia. Namun yang balik saya tanya, setahu apa mereka pada kultur musik di Indonesia?

Pertanyaan ini sering saya ajukan dalam obrolan kasual sesama delegasi termasuk di Trendy Taipei kemarin.

Menurut saya, pengetahuan akan latar belakang kultural ini penting tidak hanya untuk musisi luar yang hendak “kenalan” dengan kancah dan industri musik Indonesia, begitu juga sebaliknya. Karena bisa jadi kita punya kata kunci yang sama namun dengan referensi yang berbeda.

Misalnya deh, ketika bicara soal indie pop, di Taiwan itu akan merujuk pada musik indie pop yang berkembang di Jepang atau kekinian, mungkin sedikit beda dengan kita yang acuannya lebih ke musik dari Inggris. Demikian juga tentang punk. Lebih aman jika menyebut payung genre besar seperti elektronik, reggae, atau metal. Meski untuk genre yang terakhir, jumlahnya di sini terbilang kecil. Kalau pun ada acaranya, separuh atau sepertiga penonton adalah migran Indonesia di Taiwan penyuka metal.

Tantangan lain adalah bahasa dan citra. Iya, lagu Korea dan Jepang bisa populer juga di Indonesia meski kebanyakan orang Indonesia tidak berbahasa Korea dan Jepang. Tetapi Taiwan dengan bahasa Mandarin-nya jelas belum ada di tingkat popularitas yang sama dengan dua tetangganya.

Sebaliknya, Indonesia untuk orang Taiwan juga adalah hal yang “dekat tapi asing”. Dengan 300 ribu orang Indonesia yang bekerja di Taiwan, mereka sudah menjadi bagian dari masyarakat Taiwan dan ada dalam keseharian mereka. Namun bukan berarti mereka memahami Indonesia dan lebih jauh lagi budaya populernya. Padahal, Indonesia bagi orang Indonesia sendiri adalah entitas yang kompleks dengan beragam lapisannya.

Pada aspek yang lain, Indonesia di Taiwan juga kompleks dalam kategorisasi kelas hingga asal daerah dan etnisitas yang akan juga memengaruhi selera musik yang didengar oleh masing-masing kelompok. Ini pula yang perlu dipahami oleh pelaku di Taiwan kala mengundang artis dari Indonesia atau artis Indonesia yang hendak menjajal panggung di Taiwan yang potensial ini.

Kesalingan Asia di Trendy Taipei

Maka kuncinya adalah kesalingan bagaimana ruang konferensi musik seperti ini tidak hanya menjadi ajang “jual dan beli” tetapi memahami aspek kultural tadi dalam sudut pandang yang setara. Trendy Taipei saya rasa bisa jadi contohnya.

Dalam gelaran tiga hari yang dihelat sejak Sabtu (7/9) sampai Minggu (8/9), acara ini menyajikan beragam mata acara. Di TMEX (Taipei Music Expo) misalnya sejumlah topik menarik diulas mulai dari perkembangan live house dan musik dari sudut pandang pendengar. Perwakilan Indonesia dari Jazz Gunung yakni Bagas Indyatmono kebagian di sesi obrolan festival internasional bersama perwakilan dari Ziro Festival India dan Outlandish Festival di Hoa Binh, Vietnam.

Selain Bagas dari Jazz Gunung, ada juga Donny Heru dari Amity Asia dan Anom Darsana dari Antida Musik Indonesia.

Sementara ada Jam Jam Asia, festival musik yang menampilkan lima panggung berbayar dengan menghadirkan sejumlah band Asia dengan tiga panggung gratis yang diselenggarakan outdoor.

Di bagian lain, sejumlah festival musik di Taiwan juga menggelar eksibisi menampilkan kegiatan-kegiatan mereka dengan ciri khas-nya masing-masing. Misalnya ada Amis Music Festival yang fokus pada pertunjukkan orang asli Taiwan dan mengkoneksikannya dengan kancah Austronesia seperti Borneo Malaysia, Indonesia, dan Filipina; Neon Oasis Festival yang selama dua tahun terakhir menjadi ajang tampil band-band dari Asia Tenggara dan Asia Timur di utara Taipei; dan lain sebagainya.

Bagi pemerhati kancah seperti saya, meski mungkin band yang tampil mewakili label yang terlibat dan tidak sepenuhnya mencerminkan selera musik di satu wilayah tertentu, ajang seperti ini menjadi catatan awal sebelum kemudian menyelami referensi tadi satu per satu. Melelahkan tentu, tetapi selalu bikin penasaran.

Sebagai acuan dan bahan kajian bahwa koneksi musik internasional mesti dimulai lewat kesalingan pemahaman konteks kultural sebelum larut dalam perbincangan transaksional.

 

***

Sumber Foto: Trendy Taipei

Penulis
Irfan Popish
Irfan Muhammad adalah jurnalis asal Bandung yang gemar musik. Sejak tiga tahun terakhir dia bertugas di Ibu Kota untuk desk Polhukam. Di luar aktivitas liputannya, Irfan sesekali masih menangani Yellowroom Records, label kecil yang dia mulai bersama sejumlah teman di Bandung sejak 2014 dan bermain untuk unit alternative, MELT.
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

for Revenge Beri Nuansa Emo 2000-an di Single Baru Semula

Setelah menghadirkan single “Sadrah” dan “Penyangkalan”, for Revenge kembali dengan single baru “Semula” hari Kamis (10/10). Single ini merupakan kelanjutan dari cerita yang ditawarkan 2 karya sebelumnya.     “Single terbaru for Revenge ini …

Lyodra Menulis Beberapa Lagu di Album Terbaru Melangkah

Setelah merilis album perdana yang mengambil judul dari namanya sendiri tahun 2021 lalu, kini Lyodra melanjutkan perjalanan dengan album kedua dalam tajuk Melangkah hari Kamis (10/10).   Dari 8 lagu yang masuk ke daftar, …