Bali Hari Ini: Skena Paling Semarak Senusantara

Jul 15, 2021
Skena Bali

Bali hari ini, sungguh sebentuk kontradiksi nan hakiki. Bagaimana tidak, gara-gara Covid, di suatu sisi merupakan wilayah paling terjengkang lintang pukang di negeri ini. Namun di sisi lain, kala nyaris di seluruh pelosok Indonesia denyut nadi permusikannya sempoyongan-semaput, skena Bali, menariknya, justru paling meriah gegap-gempita.

Mengapa demikian? Ada faktor ketidaksengajaan berperan besar di sini. Ha.

 

Minim Dukungan, Maksi Perjuangan

Minimnya sokongan dari pemerintah terhadap bar dan kafe membuat para pemilik usaha memutar otak, mencari cara agar tetap bisa bertahan. Sudah begitu, tak ada kiat cerdas-cergas dan brilian yang mesti diterapkan. Jalan paling masuk akal ya buka kembali dan menerima tamu—sesuai protokol kesehatan tentunya. Alias berisiko besar. Baik fisik juga mental pula material. Tak hanya harus siap repot menyediakan fasilitas cuci tangan, mengecek suhu tubuh pengunjung, tanpa jeda memakai masker, kapasitas tamu yang hanya boleh separuh bahkan kurang, serta jam operasional nan terbatas. Itu pun belum cukup, belum menjamin orang bakal datang. Mesti ada daya tarik tambahan: pertunjukan musik hidup. Berat sekali memang segala persyaratannya. Tapi, pernyataan pasrah para pengusaha bar-kafe kerap semacam ini: “Kalau tutup rugi. Kalau buka juga rugi. Mending buka aja deh.”

Mereka lebih memilih berniaga. Masih ada kemungkinan untuk untung, walau amat kecil. Daripada tutup yang sudah pasti rugi serta barang-barang bakal lapuk dan berdebu jika dibiarkan mangkrak terlalu lama. 

Setelah sekitar empat bulanan tiarap, perlahan bar dan kafe di Sanur, Kuta, Seminyak, dan Canggu mulai terang-terangan beroperasi kembali. Kadang bisa buka sampai jam 10 malam, kadang jam 8 malam sudah harus tutup. Yang jelas, konser musik kembali menggeliat, dengan segala adaptasinya. Pernah beberapa pekan terjadi peristiwa lucu campur sedih: pukul lima sore ben sudah jumpalitan di panggung, lengkap dengan dandanan glam rock, bermusik bising seraya jejeritan mengumandangkan “Highway to Hell”. Di luar, suasana masih terang benderang, petang saja belum datang. Jelas ini mengenaskan. Agak nista. Rock ’n’ roll substandar. Pertama kali terjadi dalam sejarah kancah bar-kafe Kuta/Seminyak/Canggu. Tapi mau bagaimana: (1) Apa pun yang terjadi, kita mesti beradaptasi, manusia adalah mahluk paling luwes di planet bumi, kemampuannya beradaptasilah yang menyelamatkannya hingga mampu berevolusi dan (2) the show must go on.

Pernyataan pasrah para pengusaha bar-kafe kerap semacam ini: “Kalau tutup rugi. Kalau buka juga rugi. Mending buka aja deh.”

Paket Wajib Pertunjukan Musik Hidup

Bicara live music bar, bahkan sejak di awal 80an fenomena ini sudah jamak terjadi di daerah tujuan wisata macam Sanur dan Kuta. Tiap-tiap bar dan kafe yang ada hampir pasti terdapat pertunjukan musik hidup juga. Bak menjadi satu paket wajib. Tradisi macam demikian bergulir hingga lewat era Milenium. 

Yang membedakan, ada perubahan cukup revolusioner dalam soal independensi seniman dan karya. Di masa lalu ben-ben lokal yang tampil di skena bar-kafe Sanur dan Kuta adalah para pengibar Top 40, jajaran musisi yang membawakan tembang-tembang terkenal karya orang lain. Nyaris nihil membawakan karya sendiri. Karena memang di masa itu inisiatif macam demikian sepertinya tidak terpikirkan oleh mereka. Plus, pemilik bar-kafe juga lebih mengarahkan paguyuban dendang pribuminya untuk lebih fokus pada Top 40. Baru pada awal 2000an kebiasaan turun-temurun tersebut beringsut berubah.

Thanks to The Beat Rock Fest. Acara bulanan yang berpindah dari satu bar ke bar lainnya (lebih sering di seputaran Seminyak) dan diselenggarakan oleh majalah hiburan The Beat ini bukan memboyong para pesenandung cover tapi justru lagu-lagu karya sendiri dan dengan jenis musik yang dominan cadas. Di masa itu, yang paling rajin diundang mengisi panggung The Beat Rock Fest adalah Superman Is Dead dan Navicula. Rasa kaget muncul hanya di awal-awal, lama-lama khalayak terbiasa lalu menikmatinya, utamanya bagi publik yang menajisi—saking bosannya—lagu semacam “Hotel California” dan “Could You Be Loved”. Sejak saat itu, sudah bukan hal tabu lagi band punk, grunge, rockabilly yang mengusung karya pribadi unjuk aksi di skena bar-kafe Bali Selatan. 

The Hydrant tampil di Hard Rock Cafe / Dok. istimewa

Ya, tradisi usang baru saja dijungkirbalikkan. Kancah indie yang tadinya hanya berlangsung di Denpasar, di pelosok kota, mulai melebar ke pesisir. Para musisi indie kini memiliki ajang tampil lebih bervariasi. Tak hanya di konser musik bawah tanah dan pensi-pensi sekolah, tapi juga di bar-bar skala internasional.

 

Skena Gusto Ijo Royo Royo

Nah, pertanyaan mendasar muncul kembali: mengapa di masa merana macam pagebluk ini skena musik Bali malah terkesan paling semarak di seantero negeri? Wajar saja sebab ekosistem musik di Bali telah solid dan lengkap di segala aspek, tak prematur lahir dan kolosal dalam sekejap, bukan tiba-tiba simsalabim mencipta gegar, tapi telah terbina sedari lama. Embrionya, jika hendak kilas balik, sudah menyeruak sejak The Beat Rock Fest. 

Thanks to The Beat Rock Fest. Acara bulanan berpindah dari satu bar ke bar lainnya diselenggarakan oleh majalah hiburan The Beat ini bukan memboyong para pesenandung cover tapi justru lagu-lagu karya sendiri dan dengan jenis musik yang dominan cadas

Secara cara pandang utuh menyeluruh, dari pengamatan saya pribadi ada beberapa faktor penting mengapa skena Bali bertransformasi menjadi yang paling bungah riang ria se-Nusantara:

1. Bali Tolak Reklamasi.
Gerakan sosial nan masif ini berjasa besar mempersatukan hampir semua musisi yang diidolakan di Bali. Mulai dari generasi lawas hingga milenial sepakat, tanpa ada paksaan, ikhlas, senasib sepenanggungan berjuang bersama-sama menyelamatkan Bali. Respek antar musisi tumbuh secara alami, relatif tiada lagi gontok-gontokan. Situasi dan kondisi amat harmonis, sehat, dan saling mendukung. Walau tak semua berujung bekerjasama, namun suasana berkesenian yang adem mendorong kian ijo royo-royonya skena permusikan Bali.

Kolektif shoegaze Dive Collate mengisi acara konser mini mingguan di Volx Records Store / Dok. istimewa

2. Berlimpah Ruang Berekspresi.
Ajang unjuk gigi ada berserakan di Bali serta cenderung gampang diajak bekerjasama. Tinggal kontak dan bicara hati ke hati, nyaris tanpa birokrasi ribet, sudah, silakan genjrang-genjreng:

-Sanur: Rumah Sanur, Bhinneka Muda, Taman Baca Kesiman, Antida Sound Garden
-Denpasar: Kopi Djoglo, Pitstop Kopi Dewata, Goodang Kopi, Two Fat Monks
-Uluwatu: Wishing Well, Single Fin, Ulu Garden
-Kuta: Twice Bar, Hard Rock Cafe
-Canggu: Deus Ex Machina, Old Man’s, X-Bar, Loco By Nature

Promosi acara reguler Keroncong Social Club bersama grup Kroncong Jancuk di Rumah Sanur / dok. istimewa

3. Intensitas Konser nan Sinambung
Selain konser reguler di bar-kafe, acara-acara lainnya (korporat, pensi, ulang tahun banjar, dll) hampir pasti ada dan rutin di setiap akhir pekan (sebelum diterjang pagebluk). Entah di jantung kota Denpasar, di Sanur, Nusa Dua, Ubud, Kuta, dan banyak penjuru Bali lainnya. Selalu ada. Sampai sering bingung kala mesti mengambil keputusan hendak pergi ke mana, memilih opsi yang mana.

4. Bertaburan Ben, Biduan, dan Biduanita.

Alien Child, duo kakak-adik ajaib, singer-songwriter-producer, bintang terang baru di kancah musik muda Bali / Dok. istimewa

Pasca para veteran seperti Superman Is Dead, Navicula, The Hydrant, Nosstress, Scared of Bums, Parau, Trojan, dsb; belakangan muncul nama-nama mengagumkan seperti Manja, Modjorido, Soulfood, Soul & Kith, Truedy, Rollfast, Jangar, Alien Child, Dive Collate, dan masih banyak lainnya. Skena musik di Bali senantiasa bergerak menuju kutub positif, regenerasi berjalan konsisten, ramai, meriah, heboh.

5. Label Rekaman Pro-Aktif & Produktif
Keberadaan, salah satunya, label rekaman pendatang baru yang dikomandani oleh Dankie Navicula, Pohon Tua Creatorium, yang rajin menggaet talenta-talenta brilian serta ultra produktif merilis karya-karya berkualitas baik terbukti membuat skena musik Pulau Dewata makin menarik. Oh, yang paling mutakhir, bahkan Jason Ranti memutuskan berkolaborasi dengan Pohon Tua Creatorium dalam penerbitan single paling anyarnya, “Kadang Jakarta Jadi Ungu”. Fenomena ini jitu mendongkrak rasa percaya diri skena bumiputra.

6. Anugerah Musik Bali.

Navicula menerima Lifetime Achievement Award di Anugerah Musik Bali 2021 / Dok. istimewa

Selain Bali, sepertinya belum ada daerah lain di Indonesia yang memiliki Grammy Award versinya sendiri: Anugerah Musik Bali. Ketika Bali mempunyai penganugerahan seperti ini—April silam adalah kali ketiga Anugerah Musik Bbali terselenggara—secara tidak langsung menunjukkan bahwa Bali mempunyai rasa percaya diri yang besar serta memang duh-gusti pantas dirayakan karena:

-secara de facto belantika musiknya dinamis
-produknya berlimpah beredar
-infrastruktur mendukung
-prestasinya terbilang menjulang

Ketika disodorkan data faktual seperti di atas, tentu bisa dimaklumi kala kehidupan bermusik di Bali tersimak tahan banting. Fondasinya telah kekar mengakar. Ekosistem sudah kokoh terbentuk. Dihajar pagebluk cuma celeng sebentar, tak lama kemudian bangun dan kembali jemawa membusungkan dada. Secara luas wilayah dan populasi, Bali memang kecil, tapi beringas, berbahaya, kuat lagi menyengat. Vive le rock! Balls to the wall!

 

_______

Penulis
Rudolf Dethu
Pengamat budaya populer yang disegani di skena negeri ini. Pernah memanajeri Superman Is Dead, Navicula dan berperan signifikan dalam mengharumkan kedua band tersebut. Kini memanajeri The Hydrant, band Bali yang malah lebih terkenal di manca negara (terutama di skena rockabilly) dibanding di negerinya sendiri. Ia sudah menulis dua buku dan tahun ini bakal menerbitkan dua buku lagi—salah satunya biografi Navicula. Sejak dua tahun terakhir Rudolf Dethu menjabat sebagai co-director Rumah Sanur - Creative Hub.
2 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] diri mereka, sebagian besar malah memilih untuk bermain santai, di industri musik, band asal Bali, Nosstress sedang […]

trackback

[…] kuartet pop asal Pulau Dewata ini baru saja menghadirkan materi teranyarnya, “Baby in Red”. Dilepas pada akhir bulan Agustus […]

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …