20 Tahun Kompilasi Delicatessen: Penanda Gelombang Indie Baru Pasca-Indies

Sep 15, 2022

Kita sepakat bahwa kompilasi bukanlah sekadar album yang menghimpun lusinan lagu dari berbagai band. Lebih dari itu, ia adalah sebuah penanda zaman. Sebuah prasasti yang mematenkan gerak gerilya para pelaku kancah pada sebuah era. Dan jika pemahaman kita sama, maka Delicatessen adalah salah satunya.

Dirilis tahun 2002, atau tepat dua puluh tahun di tahun ini, Delicatessen menjadi penanda dari munculnya gelombang baru kancah musik indie Bandung-Jakarta pasca-euforia Britpop di rentang tahun 1995-2000. Berisi 12 lagu dari 12 band, kompilasi yang dirilis oleh label asal Bandung, poptastic! Records ini juga merekam karya-karya awal dari band yang kemudian dikenal besar. Sebutlah The Upstairs atau Mocca.

Sutuq, penggerak dan penggagas Delicatessen, dalam wawancaranya dengan Bandung Pop Darlings menyebut, di era itu, band yang mengklaim dirinya sebagai pengusung indie pop masih banyak berkutat pada gaya pop star a la Britpop. Belum lagi kebanyakan masih fokus pada cover version. Ini tentu agak berbeda dengan etos amatir a la indie pop yang Sutuq pahami. Namun, keberadaan band indie pop tak bisa juga dibilang kosong. Saat itu sudah ada beberapa band seperti Blossom Diary atau The Sweaters yang cukup ‘totok’ dengan referensi indie pop-nya.

foto dok. wastedrockers

“Cuma memang belum banyak,” kata Sutuq.

“kompilasi bukanlah sekadar album yang menghimpun lusinan lagu dari berbagai band. Lebih dari itu, ia adalah sebuah penanda zaman. Dan jika pemahaman kita sama, maka Delicatessen adalah salah satunya.

 

Bermula dari Acara

Keberadaan poptastic! sebagai label rekaman yang merilis Delicatessen tak bisa dipisahkan dengan keberadaan acara dengan nama sama yang digagas Sutuq dan Nishkra di Bandung pada Februari 2000. Sutuq dan Nishkra adalah dua orang Bandung yang di pertengahan hingga akhir dekade 90 mengenyam pendidikan di luar negeri: Sutuq di Jerman, Nishkra di Australia.

Berada di luar negeri membuat keduanya lebih memiliki akses kepada referensi indie pop yang memang sudah mereka gemari sejak masih di tanah air. Koleksi mereka saat itu bisa dibilang cukup asing jika dibanding dengan katalog indie pop yang banyak didengarkan oleh para pegiat musik ini di kancah lokal. Jika di era itu kebanyakan referensi indie pop (lebih dikenal dengan istilah indies) masih merujuk, terutama pada gerakan Britpop dari Inggris, maka Sutuq dan Nishkra sudah menggali referensi musiknya jauh lebih dalam ke katalog-katalog yang merujuk pada gerakan C-86 atau subgenre lain seperti twee.

Keduanya, di rantau masing-masing juga tidak hanya sebagai konsumen, tetapi bergaul aktif dengan kancahnya. Sutuq misalnya, akrab dengan dua label indiepop Jerman, Firestation Tower Records dan Marsh-Marigold. Begitu juga dengan Nishkra di Australia. Ia bahkan sempat ‘mejeng’ di video klip The Earthmen, unit indiepop asal Melbourne, Australia.

sutuq & nishkra / foto: dok. nishkra

Kepulangan keduanya ke Indonesia pada tahun 2000, membawa setumpuk katalog baru yang bisa dibilang langka. Dibantu sejumlah pelaku kancah di Bandung seperti Helvi dan Didit dari Reverse yang kemudian membentuk FFWD Records, Conad (Cerahati), dan lain-lain, katalog musik ini diamplifikasi lewat perhelatan poptastic! Sebuah acara dengan konsep DJ Selector yang menampilkan Sutuq dan Nishkra dengan ratusan referensi twee-nya.

Keberadaan poptastic! sebagai label rekaman yang merilis Delicatessen tak bisa dipisahkan dengan keberadaan acara dengan nama sama yang digagas Sutuq dan Nishkra di Bandung pada Februari 2000.

Sebelum akhirnya merilis Delicatessen, poptastic! lebih dulu merilis kompilasi bertajuk Tonista Supadupafreshpop di tahun 2001. Kompilasi ini berisi 16 band indie pop yang hampir seluruhnya berasal dari Jerman, berkah pertemanan Sutuq dengan kancah di sana. Sutuq menyebut, kompilasi poptastic! pertama sekadar ingin memperkenalkan musik yang ia dengarkan di Jerman kepada penyuka indie pop di Indonesia. Kuratornya adalah ia sendiri, dengan lisensi dari dua label Jerman, Firestation Tower dan Marsh-Marigold yang menaungi hampir semua band di kompilasi.

“Meski semuanya berdasarkan selera pribadi, saya berusaha menyajikan indie pop yang beragam. Mulai dari musik yang manis kayak twee, shoegaze, atau indie pop yang dimainkan dengan instrumen elektronik. Saya berusaha lintas genre in the name of indie pop,” kata Sutuq.

Selang setahun setelah Tonista Supadupafreshpop, Sutuq berpikir untuk membuat kompilasi baru. Kali ini ia berandai-andai, pengisinya adalah band-band lokal. Delicatessen pun digagas.

 

Gelombang Indie Baru

Kata “berandai-andai” yang saya pilih untuk menggambarkan asa Sutuq tentang kompilasi barunya rasanya tidak berlebihan. Kepada saya, Sutuq bercerita kalau dirinya tak tahu menahu soal skena indie(s) Bandung saat itu. Beruntung lingkup pertemanannya di Bandung membuat dirinya tidak begitu buta arah. Sebagai alumni SMA 2 Bandung, ia masih berkontak dengan teman-temannya yang kemudian aktif di kancah musik Bandung. Ajie Gergaji (Themilo) salah satunya.

“Kami waktu itu sering nongkrong di warnet Karet.net. Itu di daerah Ranggamalela. Selain saya dan Ajie, yang suka di situ ada Deniboy (Blossom Diary), Lelew (manajer Blossom Diary), dan lain-lain,” kata Sutuq.

Blossom Diary / dok. http://howdoesitfeeltofeel1979.blogspot.com

Dari tongkrongan inilah ia mengenal band Blossom Diary yang saat itu diisi oleh Dias, Anggajoni, Deniboy, dan Doni. Sutuq jatuh hati karena band ini langsung muncul dengan lagu sendiri plus karakteristik musik twee a la label indiepop asal Bristol, Sarah Records, yang ia gemari. Sutuq makin pede untuk merealisasikan kompilasi barunya. “Ternyata ada nih band yang seperti ini (di Indonesia),” kata Sutuq.

Sutuq menyebut, kompilasi poptastic! pertama sekadar ingin memperkenalkan musik yang ia dengarkan di Jerman kepada penyuka indie pop di Indonesia.

Gagasan itu pun bergulir begitu saja dan mengumpulkan banyak sekali karakter musik yang selama ini tidak ia ketahui. Ada gaya pop yang gelap dari Gorgeous Smiles dan Themilo, pop yang manis dari Mocca sampai Silica, hingga band indie(s) seperti Kamehame dan ETA. “Semua insidental dan spontan saja. Tanpa perencanaan,” kata dia.

Seperti kompilasi pertamanya, “Delicatessen” memang digarap ‘bancakan’ oleh Sutuq dan kawan-kawan. Deniboy menjadi orang yang cukup getol menggaet beberapa band untuk bergabung. Kiprahnya yang cukup lama di kancah indie(s) Bandung dan terlibat dalam beberapa band mulai dari Pocket Monster sampai Blossom Diary membuat ia relatif mudah berbaur dengan beberapa band. Sementara Sutuq di saat yang sama juga mulai menjalin kontak erat dengan kancah Jakarta. Adapun Nishkra, bertanggung jawab pada pengerjaan sampul.

 

Bukan Label Asal Bogor

Banyak informasi beredar di internet kalau poptastic! sebagai label adalah label asal Bogor. Ini memang tidak sepenuhnya salah, meski tidak bisa dibilang benar. Kepada saya, Deniboy meluruskan informasi ini. Menurutnya, poptastic! adalah label asal Bandung yang dijalankan oleh anak-anak Bandung. Namun, memang, saat Delicatessen dirilis, poptastic! tengah berbasis di Bogor. Bagaimana bisa begitu?

Saat itu, Sutuq yang batal kembali ke Jerman setelah serangkaian aktivitas bermusiknya di Indonesia mulai merasa jenuh. Di tengah situasi ini, muncul ide untuk menggarap sebuah clothing. Kebetulan, seorang teman yang sama-sama sering nongkrong di warnet Karet.net punya sebuah rumah di Bogor yang bisa digunakan sebagai toko. Sepakat untuk memulai bisnis, berangkatlah Sutuq ke Bogor. Toko ini dinamakan Fit-in Popshop.

Namun ide menggagas toko tidak semulus yang dibayangkan. Toko mereka di Bogor jadi lebih mirip basecamp. Dengan jarak yang relatif dekat dari Jakarta, Fit-in Popshop malah lebih sering didatangi oleh anak-anak Jakarta yang ingin nongkrong atau sekadar berbagi referensi musik dengan Sutuq. Beberapa yang sering mampir adalah anak-anak band Sweaters, Clover, dan beberapa orang yang kelak membentuk C’mon Lennon.

Akhirnya Fit-in Popshop menjadi melting pot yang mempertemukan skena Bandung dan Jakarta. Memang, saat itu Sutuq sudah cukup dikenal di kancah sebagai satu dari dua punggawa poptastic! Namun jalinan pertemanannya semakin akrab ketika Sutuq berbasis di Bogor. Di Kota Hujan ini pula ia menemukan band Supernova, satu-satunya band Bogor yang terlibat di Delicatessen.

“Sutuq senang sama demo-demo mereka. Akhirnya Supernova diajak ikut juga di Delicatessen,” kata Deniboy.

 

Yang Terlibat

Jimi Multazham masih ingat betul momen pertemuannya dengan Sutuq. Bersama Harlan Boer yang saat itu masih satu band dengannya di The Upstairs, ia berangkat dari Jakarta ke Bogor untuk menjajaki rencana kompilasi yang digagas oleh Sutuq. Kala itu, The Upstairs belum lama merilis EP pertamanya, Antah Berantah.

“Dan ternyata Sutuq yang bikin poptastic!. Siapa sih yang enggak tahu poptastic! zaman itu,” kata Jimi.

Sebagai band new wave Jimi sadar kalau band-nya akan jadi anomali di Delicatessen. Apalagi ia juga paham poptastic! dengan citra twee-nya yang amat kental. Namun, saat ia memutar EP Antahberantah, Sutuq ternyata cukup tertarik dengan gaya bermusik The Upstairs yang saat itu Sutuq dibilang sangat berbeda dengan musik indie lain yang banyak bertebaran.

kaset the upstairs / dok. istimewa.

“Dia kaget juga sama influence-nya (The Upstairs). Gitu juga gue, wah ini orang tahu roots-nya nih. Dia bahkan tahu band gue sebelumnya, Bequiet sempat bawain The Cranberries. Wikisutuq juga ini,” kata Jimi berkelakar.

Delicatessen juga membuat The Upstairs lebih mengenal anak-anak di kancah indie Bandung.

Tidak butuh waktu lama, Jimi pun menyetor materi lagu “Antahberantah” yang akan dilibatkan di kompilasi. Materi ini diambil dari EP pertama The Upstairs yang sudah rilis tanpa proses rekam atau mixing ulang. Bagi Jimi, keterlibatan The Upstairs di Delicatessen saat itu adalah strateginya untuk memperkenalkan diri ke kancah indie pop yang saat itu memang mulai menggeliat ke gaya-gaya lain di luar Britpop.

Menurut Jimi, sebagai band dengan karakteristik yang asing pada masanya, cukup sulit bagi The Upstairs mendapatkan tempat yang tepat untuk manggung. Gigs-gigs indie pop menjadi ruang yang dianggap paling cocok bagi The Upstairs kala itu.

“Jadi gue manggung memang sudah di acara anak-anak indie pop. Sampai akhirnya ada orang-orang yang terus datang ke show kita dan ternyata memang ngulik sama new wave. Datang dengan kaos Devo misalnya. Nah mereka ini memang dari skena indie pop yang (waktu itu) isinya mulai belang-belang,” kata Jimi.

Delicatessen juga membuat The Upstairs lebih mengenal anak-anak di kancah indie Bandung. The Upstairs bahkan sempat tampil di sebuah acara di Buqiet Skatepark. Acara ini memperkenalkan mereka dengan lingkaran yang kemudian menjadi embrio dari band Seringai.

“Mereka dengerin The Upstairs di poptastic! Arian juga kan sudah mulai di Jakarta. Akhirnya Antahberantah diulas oleh Arian di Trax (Magazine),” kata dia.

Selain Jimi, Riko dari Mocca juga punya kesan yang sama atas keterlibatan bandnya dengan poptastic! Saat itu, Mocca baru mulai merekam empat lagu yang dipersiapkan sebagai single mereka untuk diputar di radio. Dari empat lagu pertama yang mereka rekam, “Me and My Boyfriend” lah yang dipilih untuk masuk ke poptastic!

“Itu semuanya dibantu oleh manajer pertama kami, Jemi. Dia bilang ada yang mau bikin kompilasi, ya kami langsung oke saja,” kata Riko.

Sama seperti The Upstairs, lagu yang mereka masukkan ke kompilasi juga diambil dari materi album tanpa proses rekam atau mixing ulang. Kebetulan di saat yang sama, Mocca juga tengah menggarap debut mereka My Diary. Seingat Riko lewat Delicatessen pula akhirnya Mocca jadi lebih dikenal di kalangan pendengar indie pop.

“Karena kompilasi ini, nama kami mulai dikenal di Bandung. Ini seangkatan dengan single Peterpan, “Mimpi Yang Sempurna”,” ucap Riko.

___

Penulis
Irfan Popish
Irfan Muhammad adalah jurnalis asal Bandung yang gemar musik. Sejak tiga tahun terakhir dia bertugas di Ibu Kota untuk desk Polhukam. Di luar aktivitas liputannya, Irfan sesekali masih menangani Yellowroom Records, label kecil yang dia mulai bersama sejumlah teman di Bandung sejak 2014 dan bermain untuk unit alternative, MELT.

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …