Dua Dekade “Let Me Begin” TheMilo: Materi Terbuang dan Mitos Galau

Jun 16, 2022
TheMilo Let Me Begin

Jika diminta menyebut lima album lokal yang memengaruhi hidup saya, mungkin debut TheMilo, Let Me Begin (2002) akan selalu menjadi satu di antaranya. Lewat album inilah saya jadi nyemplung ke kancah pop arus-pinggir Kota Bandung dan sisanya adalah sejarah. Ya, TheMilo, seinfluensial itu buat saya. Seorang anak SMA, di Bandung tahun 2007, yang baru saja keluar dari Pesantren di Purwakarta dan “terbawa” riuhnya arus musik independen yang kala itu sedang kencang-kencangnya.

Saya terbilang sangat terlambat mengenal Let Me Begin. Lima tahun setelah albumnya rilis dan bahkan sempat disisipi satu versi repackaged. Tapi lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali bukan? Namun saya yakin, Let Me Begin dirayakan bukan oleh saya saja. Album ini punya banyak makna mendalam bagi para pendengar The Milo atau para indie-geek dari masa ke masa, lengkap dengan semua mitos-mitosnya -sebutlah lagu pengantar bunuh diri atau sematan istilah hiperbolik lainnya-.

Album perdana Let Me Begin menjadi hal paling mudah yang bisa diingat jika berbincang tentang pionir pop gelap di kancah lokal.

Ini pula yang mungkin membuat album tersebut terbilang panjang pengaruhnya. Bahkan jika dibandingkan dengan sophomore mereka, Photograph (2011) yang punya sound lebih mapan dan dirilis dengan penuh drama. Let Me Begin direkam dalam kaset, dibuat repackaged-nya, dirilis format vinyl beberapa tahun kemudian, dan hits-nya “Romantic Purple” baru saja dirilis empat versi dalam format kaset. Album perdana Let Me Begin menjadi hal paling mudah yang bisa diingat jika berbincang tentang pionir pop gelap di kancah lokal.

Dari Materi “Terbuang”

Jauh sebelum TheMilo ajeg sebagai band, materi-materi yang kemudian muncul di album Let Me Begin sebetulnya adalah karya-karya personal Ajie Gergaji, sang pendiri, yang “tidak terpakai” di band sebelumnya, Cherry Bombshell. Seperti diketahui, sebelum mendirikan TheMilo, Ajie adalah satu dari empat penggawa Cherry Bombshell bersama Ajo, Agung Pecunk, Ebie, dan Alexandra Wuisan. Formasi ini merilis demo Cherry Bombshell EP yang kemudian dilanjut dengan debut Waktu Hijau Dulu (Bulletin, 1997) dengan pergantian sektor vokal dari Alex ke Widi (seiring kepergian Alex ke Hong Kong) dan sektor drum dari Ebie ke Coro (karena Ebie yang mengalami cedera).

Ajie bertahan dua album bersama Cherry Bombshell dan sempat ikut menulis dua trek untuk album ketiga Cherry Bombshell, Jalan Masih Panjang. “Lagu-lagu seperti “Malaikat”, “Lazy”, “Broke”, itu sudah ada sejak saya masih di Cherry Bombshell. Karena terbengkalai saya coba bikin demonya. Beberapa lagu sudah saya rekam lewat software di komputer, dibantu oleh Erwin (La Luna, Nasi Putih 1/2). Termasuk “Sianida”, dia yang set up komputer, orkestrasi, dan lain-lain untuk virtual studionya,” kata Ajie.

Materi-materi yang kemudian muncul di album Let Me Begin sebetulnya adalah karya-karya personal Ajie Gergaji, sang pendiri, yang “tidak terpakai” di band sebelumnya, Cherry Bombshell.

Keinginan untuk membuat Themilo sebagai proyek musik serius baru terlintas di pikiran Ajie ketika Cherry Bombshell vaakum setelah album kedua. Saat itu satu per satu personel Cherry Bombshell mundur dan hanya menyisakan Pecunk sebagai pendiri awal. Lagu-lagu demo yang semula iseng ia rekam pun mulai diperdengarkan ke khalayak, salah satunya ke tim 347. Tidak lama setelah diketahui tim 347 seperti Dendy Darman dan Ade Muslim, informasi tentang lagu-lagu ini sampai ke telinga Koseng yang saat itu sedang menggarap label rekaman, Spills Records.

“Dari situ dia nawarin buat bikin si “Romantic Purple” itu. Ya sudah terjadilah. Saat itu personelnya saya, Upik, Coro, dan Uti. Golnya (setelah EP ini) adalah album,” ucap dia.

Jaringan Pertemanan Yang Solid

TheMilo serupa ditimpa berkah oleh infrastruktur jejaring kancah independen yang saat itu tengah baik-baiknya berkembang. Saat Ajie membagi cerita tentang proyek musiknya ke 347, brand ikonik asal Bandung itu mulai berada di atas angin. Ajie sebagai front man juga piawai memilih nama-nama kolaborator untuk lagu-lagu TheMilo di Let Me Begin. Alvin yang kala itu masih memperkuat Harapan Jaya, Sir Dandy yang memang sudah jadi pentolan, dan Alexandra Wuisan yang kala itu baru pulang dari Hong Kong adalah nama-nama yang punya pengaruh. Meski mungkin namanya belum setenar hari ini di kancah nasional, namun Ajie sudah mencium gelagat kalau sosok-sosok ini akan menjadi figur kunci di kancah kelak.

TheMilo serupa ditimpa berkah oleh infrastruktur jejaring kancah independen yang saat itu tengah baik-baiknya berkembang. Saat Ajie maju ke 347, brand ikonik asal Bandung itu mulai berada di atas angin.

Figuritas juga bukan melulu alasan Ajie memilih tiga nama ini. Karakter lah yang menurutnya utama, dan memperlihatkan sisi unik dari ketiga figur inilah resep yang ia lakukan untuk lagu-lagu di “Let Me Begin”. Pada Alvin misalnya, ia hendak menunjukkan kalau Alvin yang urakan dan gemar teriak-teriak di Harapan Jaya bisa tampil kalem bersama TheMilo. Sementara Alexandra justru menunjukkan karakter angelic voice-nya pada lirik yang ia gubah untuk dua aransemen yang sudah digarap Ajie, “Sianida” dan “Yin’s Evolving”.

“Ada hal menarik waktu merekam vokal Sandra. Jadi kan rekamannya di kamar saya, setelah siap semua settingan di komputer dia duduk di kasur. Kami take vokal dan tunggu di luar. Pas dengar hasilnya, kami enggak nyangka dia akan bernyanyi dengan karakter yang seperti itu. Semua anak-anak juga kaget,” kata Ajie, mengenang.

TheMilo dengan Alexandra / Foto: dok. Aji Gergaji

Berkah pertemanan TheMilo juga tidak berhenti sampai di situ. Saat hendak merekam album Let Me Begin, TheMilo yang memang sudah sering tampil mulai mendapat sokongan dari banyak pihak di luar lingkaran 347 yang semula menjadi supporter utama mereka. Gorgeous Smile, band goth lain dari Bandung pun sampai datang ke rumah Ajie yang saat itu belum mengenal satu sama lain untuk menyatakan dukungannya agar TheMilo segera merilis album. Alasan mereka, agar di Bandung genre-genre pop gelap seperti ini bisa berjalan beriringan. Untuk pendanaan, kantor tempat Ajie bekerja dulu pun mendukungnya, hingga terbentuklah sebuah label rekaman yang Ajie jalankan, M4AI Records.

Gorgeous Smile, band goth lain dari Bandung pun medukung TheMilo segera merilis album. Alasannya agar di Bandung genre-genre pop gelap seperti ini bisa berjalan beriringan

Sebagai band dengan karakter janggal di zamannya, Ajie juga merasa tak cukup merilis lagu dalam format fisik saja. Ia perlu narasi kuat sebagai pengantar dari apa yang dibawakan oleh TheMilo. Didapuklah Nishkra, yang kala itu sering menulis di Ripple dan Trolley untuk menulis Liner Notes album Let Me Begin. Gayung bersambut, Nishkra menerimanya. Satu dari dua inisiator poptastic! ini bahkan datang ke rumah Ajie untuk mendengar dan melihat proses Ajie berkarya.

TheMilo dengan Alvin Yunata (Harapan Jaya) / Foto: dok. Aji Gergaji

Di liner notes tersebut, Nishkra di antaranya menulis: “… belum tampak kehadiran grup-grup lain yang murni menghasilkan patahan-patahan suara yang secara terang-terangan meniti jejak ‘sonic pioneers’ panutan genre ini, seperti Robin Guthrie dari Cocteau Twins, Slowdive, dan tentunya Kevin Shields dari My Bloody Valentine sebagaimana yang Themilo lakukan. Atensi detil terhadap setiap suara dalam album ini tentu akan mengungkap kenyataan bahwa sound processing di dalamnya mengacu pada album Just for a Day, Souvlaki, Loeveless, atau Heaven or Las Vegas”.

“Itu adalah representasi yang Nishkra rasakan saat saya sodorkan karya-karya di album Let Me Begin,” ucap Ajie.

“Belum tampak kehadiran grup-grup lain yang murni menghasilkan patahan-patahan suara yang secara terang-terangan meniti jejak ‘sonic pioneers’ panutan genre ini, seperti Robin Guthrie dari Cocteau Twins, Slowdive, dan tentunya Kevin Shields dari My Bloody Valentine”.

Dalam penggarapan video musik, tuah pertemanan ini pun amat dirasakan oleh TheMilo. Video musik perdana mereka “Malaikat” digarap secara suka rela oleh Sim F. Direktor yang kelak dikenal sebagai salah satu nama penting di kancah perfilman Indonesia itu dulu menyodorkan sendiri penawaran tersebut kepada Ajie. “Buat porto,” kata Ajie mengulang percakapannya dengan Sim F di tangga kantor Ripple kala itu.

“Ya saya sangat berterimakasih lah mau dibikinin. Ketika video itu masuk ke MTV, teman-teman seperti Arian, Khemod dan yang lain pun sedang ekspansi ke Jakarta. Ada yang di Trax, MTV, dan lain-lain,” kata Ajie.

Mitos “Lagu Galau”

Nilai lebih dari karya-karya TheMilo berada di lirik dan tema-tema lagunya yang cenderung multipersepi. Liriknya punya nuansa gelap dan depresif berkelindan dengan musiknya yang mengawang. Itulah mengapa kemudian fans mengasosiasikan TheMilo dengan keputusasaan, lagu galau, bahkan “bunuh diri”. Pernah di suatu panggung TheMilo di kawasan Burangrang, MC yang kala itu dikendalikan oleh Intan (kini dikenal sebagai pegiat fesyen berkelanjutan) dan Irvine Jasta sampai bercanda dan mengingatkan penonton agar tak membawa silet.

Liriknya punya nuansa gelap dan depresif berkelindan dengan musiknya yang mengawang. Itulah mengapa kemudian fans mengasosiasikan TheMilo dengan keputusasaan, lagu galau, bahkan “bunuh diri”.

Mengenai hal ini, Ajie hanya tertawa. Ia lalu melanjutkan bahwa saat menggarap lagu-lagu tersebut, ia justru terilhami pada kejadian-kejadian ringan. “Romantic Purple” dan “Malaikat” misalnya, adalah curhatan masa muda dia kala menjalani hubungan jarak jauh, sementara “Lazy” adalah catatan kebosanan menghabiskan waktu di kereta dari Bandung menuju Jakarta.

“Lagu “Dunia Semu” itu juga sama. Gara-garanya saya lagi hobi main game Championship Manager. Tiga hari sampai lupa tidur lupa makan, kuliah berantakan, jadilah lagu itu,” kata Ajie sambil tertawa.

Ajie membiarkan saja pendengar merepresentasikan lirik-lirik lagunya sesuka hati. “Tapi saya juga enggak menyangka bahwa akhirnya lirik-lirik TheMilo segitunya dirasakan oleh pendengar,” ucap dia.

Hal yang sama juga terjadi pada lirik “Sianida”. Dalam wawancara saya untuk podcast Pop Darlings, Alexandra si penggubah liriknya mengaku kalau lagu ini adalah lagu cinta alih-alih lagu bunuh diri. “Terpanah rayuan sianida di lirik lagu itu ya rayuan-rayuan yang disampaikan pacar saya waktu itu. Sampai gimana gitu rasanya,” kata Sandra.

Tetapi selama itu positif, Ajie membiarkan saja pendengar merepresentasikan lirik-lirik lagunya sesuka hati. “Itu mah kan memang bisa berbeda-beda yah. Tapi saya juga enggak menyangka bahwa akhirnya lirik-lirik TheMilo segitunya dirasakan oleh pendengar,” ucap dia.

Gonta Ganti Personel

Seperti Cherry Bombshell yang Ajie tinggalkan, TheMilo juga tidak lepas dari pergantian personel. Ajie sebagai figur kunci memulainya bersama Upik pada posisi gitar. Saat menggarap Let Me Begin keduanya sedang khusyuk mendengar My Bloody Valentine dan Red House Painters. Kemudian ada pula Uti pada bass dan Coro pada drum. Formasi ini yang kemudian merekan EP Romantic Purple.

TheMilo / Foto: dok. Aji Gergaji

Di tengah jalan, Uti yang saat itu bermain juga untuk La Luna dihadapkan pada dua pilihan. Tetap bersama TheMilo atau melaju bersama La Luna yang kala itu mendapat kontrak dari Bulletin Records. Uti lantas memilih pilihan kedua. Ajie legowo melepas Uti, untuk menggantikan posisinya, lantas ia menawarkan Suki, anak indies dari band Dua Sejoli yang sama-sama nongkrong di tongkrongan indies PRB, Dipati Ukur untul mengisi bass. Gayung bersambut, Suki pun mau.

Lagu-lagu TheMilo di Let Me Begin pun kemudian lebib sering dimainkan di panggung oleh formasi Ajie, Upik, Suki, dan Krucil. Kemudian Unyil yang sebelumnya aktif di New Market dan Nine Ball bergabung.

“Saya lihat dia skill ada, tampilan juga oke nih. Mirip-mirip Richard Ashcroft,” kelakar Aji. Dengan formasi ini, TheMilo merekam “Let Me Begin”.

Namun tak berhenti sampai di situ, TheMilo harus kehilangan drummer saat album kelar dan dirilis dalam sebuah pesta perilisan. Pada pestanya di The Cellar, Dago, Coro memilih berhenti karena hendak fokus di bandnya yang lain, Bahaduri. Dalam rekaman mp3 di The Cellar yang pernah saya punya, pengunduran diri Coro dari band diumumkan langsung oleh Ajie di panggung. Saat itu Coro masih mengisi drum.

“Jadi pas sebelum main di launching dia menyatakan mundur. Tapi ya enggak apa-apa, karena saya langsung kepikiran gantinya, yaitu Krucil. Dia dulu pernah ikut audisi drummer buat Cherry Bombshell dan saya cocok karena di bisa main di tempo lambat. Sebelumnya dia bermain di band Frozen Head (bersama Riko yang kemudian dikenal bersama band Mocca),” ucap Ajie.

Lagu-lagu TheMilo di Let Me Begin pun kemudian lebih sering dimainkan di panggung oleh TheMilo formasi Ajie, Upik, Suki, dan Krucil. Kemudian Unyil yang sebelumnya aktif di New Market dan Nine Ball bergabung hingga formasi kuintet ini merilis Let Me Begin (Repackaged) dengan tambahan dua lagu “Finally, Home” dan “Dunia Semu” yang diremix Gerry yang saat itu masih bersama Rock N Roll Mafia.

Dua dekade berselang, album ini toh masih punya tajinya sendiri. Ajie mengasumsikan banyak hal atas digdayanya album ini di kancah. Selain karena materinya yang mungkin ngena, rilisnya “Photograph” di era yang berbeda dan meraup pendengar baru, membuat album debut TheMilo, Let Me Begin kembali diulik. Tapi kalau buat saya sebagai fans, ya sesimple kekuatan liriknya saja. “Kekosongan jiwaku meratap, dipermainkan malaikat” sampai kapanpun akan jadi lirik paling nelangsa yang pernah ada di kancah kita.


 

 

Penulis
Irfan Popish
Irfan Muhammad adalah jurnalis asal Bandung yang gemar musik. Sejak tiga tahun terakhir dia bertugas di Ibu Kota untuk desk Polhukam. Di luar aktivitas liputannya, Irfan sesekali masih menangani Yellowroom Records, label kecil yang dia mulai bersama sejumlah teman di Bandung sejak 2014 dan bermain untuk unit alternative, MELT.

Eksplor konten lain Pophariini

Setelah 7 Tahun, Risky Summerbee & The Honeythief Kembali Rilis Karya Anyar

Setelah beristirahat 7 tahun, Risky Summerbee & The Honeythief asal Jogja akhirnya resmi kembali lewat single anyar bertajuk “Perennial” hari Minggu (21/04). Lagu ini merupakan karya pembuka untuk album mini terbaru yang mereka jadwalkan …

Rekomendasi 9 Musisi Padang yang Wajib Didengar

Di tengah gempuran algoritma sosial media, skena musik independen Padang sepertinya tidak pernah kehabisan bibit baru yang berkembang