Gesekan di Blantika Musik Indonesia dalam Tinjauan Sejarah
Beberapa saat lalu perkara potongan video wawancara membuat salah satu sosok musisi muda paling menjanjikan saat ini, Baskara Putra, jadi sasaran perisakan. Gara-gara pernyataannya yang oleh beberapa pihak dianggap menyinggung penggemar metal, apapun yang diunggah perihal Baskara menjadi bahan cibiran. Baik itu yang menyangkut bandnya, .Feast (semoga saya tidak salah menaruh tanda titik) juga monikernya, Hindia.
Adalah situasi umum ketika ada sosok yang tengah menjulang ditambah basis penggemar yang kuat dan fanatik, ada kubu-kubu lain yang siap menunggu tergelincir. Sedikit kesilapan lidah yang terekam dalam jejak digital ibarat siraman bensin buat pihak oposan. Tapi kita tidak sedang berbicara tentang Ahok.
Dalam kasus Baskara, dia sampai harus membuat video klarifikasi bersama kawan-kawan satu bandnya. Saya sebut dia karena praktis dalam penggalan video wawancara yang jadi perkara itu juga video klarifikasinya, hanya Baskara saja yang angkat bicara.
Sedikit kesilapan lidah yang terekam dalam jejak digital ibarat siraman bensin buat pihak oposan. Tapi kita tidak sedang berbicara tentang Ahok.
Bukan sekali ini saja pernyatan-pernyataan yang terekam dalam platform media sosial menjadi pemicu keributan. Salah satu yang sering muncul adalah I Gede Ari Astina alias Jerinx, drummer Superman Is Dead. Sejumlah tokoh yang pernah menjadi sasaran mulai dari Presiden Joko Widodo, Susi Pudjiastuti, Anang Hermansyah (dan istrinya), hingga Via Valen dan. Dari soal sosial politik seperti Bali Tolak Reklamasi dan RUU Permusikan, perkara hak cipta lagu, sampai persoalan sepele gara-gara tren om telolet om. Terakhir drummer berperawakan bagai binaraga ini jadi bahan cercaan netizen gara-gara terus bersikukuh adanya propaganda dalam pandemi virus corona.
Media sosial dan kontroversi
“Media sosial mendorong figur dan pernyataan kontroversial untuk mendapat panggung,” kata Ibnu Nadzir, antropolog dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Menurut Ibnu yang juga mendalami kajian antropologi digital ini, teknologi secara tidak langsung mendorong untuk mengeluarkan pernyataan-pernyataan ekstrem. “Algoritma mendorong agar orang senang mengeluarkan pernyataan kontroversial. Makin ekstrem, makin mudah terlihat, makin cepat tersebar,” kata Ibnu.
Dalam kasus Baskara, dirinya menyatakan hal tersebut adalah karakter khas Gen Z. “Baskara mungkin secara tidak sadar sedang memberikan komentar. Itu karakter khas Gen Z, senang sekali memberikan isu, apa yang ada di kepala dikeluarkan. Sedikit banyak mereka besar dengan pola tersebut,” katanya.
“Algoritma mendorong agar orang senang mengeluarkan pernyataan kontroversial. Makin ekstrem, makin mudah terlihat, makin cepat tersebar,”
Menurutnya, bahkan langkah membuat video klarifikasi pun merupakan representasi dari Gen Z. “Ini berbeda dengan generasi sebelumnya,” katanya. Ia mencontohkan Shaggydog dan Superman Is Dead. “Ketika dianggap bermusuhan, langkah klarifikasi mereka adalah nongkrong bareng sambil minum-minum mungkin, lalu bikin lagu ‘Jika Kami Bersama’,” kata Ibnu.
Internet telah membuat muatan-muatan yang sebetulnya bersifar sektoral bersinggungan dengan ranah lain. Dalam kasus ini, antara Baskara dan semestanya dengan penggemar musik metal. Internet telah membuat sekat fisik jadi hilang dan membuat hal-hal yang sifatnya internal jadi konsumsi bersama. “Dahulu genre atau scene tidak beririsan, ruangnya tidak melebur. Sementara di internet kita ada dalam satu ruang maya yang beririsan,” jelas Ibnu.
Ditambah lagi media yang bekerja dengan pola yang sama dengan media sosial. Alih-alih menjalankan fungsi-fungsi verifikasi fakta lewat gatekeeping berlapis, media massa memilih menjadikan pernyataan-pernyataan personal pesohor di media sosial secara mentah-mentah sebagai produk jurnalistik. “Media hari ini bekerja dalam model media sosial juga sebenarnya.”
Jika ditarik mundur ke tahun sebelumnya, gesekan-gesekan di ranah maya ini bukan sekali saja terjadi. Ketika grup pop punk Pee Wee Gaskins meraih hype lewat distribusi materi lagu-lagu lewat platform MySpace, muncul kelompok yang menamakan Anti Pee Wee Gaskins (APWG). Selain merisak Dorks (fans Pee Wee Gaskins) di dunia maya, APWG ini termasuk punya modal untuk melancarkan aksi. Mereka datang ke konser-konser Pee Wee Gaskins dan membeli karcis resmi hanya untuk mencemooh penampilan Dochi dan kawan-kawan. Salah satunya pada Soundrenaline 2009 di Garuda Wisnu Kencana, Bali. Tapi seperti tipikal kegaduhan-kegaduhan di media sosial, saat ini gaungnya sudah nyaris tak bersisa.
Bagaimana dengan gesekan-gesekan di dekade-dekade pra-internet?
Pola-pola gesekan
Menilik catatan sejarah, ada tiga pola umum yang terjadi dalam kurun waktu tersebut. Pola pertama adalah gesekan dalam lingkup genre musik. Baik gesekan antar-genre atau antarpelaku dalam satu genre musik.
Benny Soebardja dan Rhoma Irama masih jadi kisah klasik perseteruan genre rock dan dangdut sekaligus penyelesaian yang paling elegan. Dalam sebuah artikel di majalah Aktuil di pertengahan tahun 70-an, genre rock yang “diwakili” oleh Benny Soebardja (The Giant Step) mencela musik dangdut sebagai “musik tai anjing”. Rhoma kemudian membalas dengan menyatakan musik rock sebagai “terompet setan” lantas menyindir lewat lagu berjudul “Musik”. Bagi pemusik yang anti-Melayu/Boleh benci jangan mengganggu// Biarkan kami mendendangkan lagu/Lagu kami lagu Melayu//
Sempat diwarnai adu fisik antara dua kubu penggemar, Aktuil lantas mempertemukan dua dedengkot ini dalam forum diskusi “Diskusi Musik Hard Rock vs Dhangdut”. Meski Si Raja Dangdut urung hadir, forum ini berhasil membuka jalan mediasi. Terlebih akhirnya diketahui kalau Benny Soebardja dan Rjoma Irama sama-sama urang Tasik. Sebagai semacam penebusan dosa, Benny dan grupnya kemudian berduet dengan penyanyi dangdut Lies Saodah dan memasukkan unsur-unsur pembentuk musik dangdut seperti tabla dalam solo albumnya, sebagaimana ditulis oleh Denny Sakrie. Sementara Rhoma memasukkan nafas rock serupa Deep Purple lewat “Santai”. Beberapa tahun kemudian Soneta Group sukses berbagi panggung dengan God Bless.
Benny Soebardja dan Rhoma Irama masih jadi kisah klasik perseteruan genre rock dan dangdut sekaligus penyelesaian yang paling elegan.
Di dekade yang lebih muda, masih diingat Sheila On 7 harus merasakan cemoohan hanya gara-gara mereka populer dengan lagu-lagu pop yang jauh lebih simpel dari Dewa 19, Slank, atau KLa Project. Datang dari daerah, hanya bermodalkan lagu yang bertengger di chart radio lokal, tidak punya koneksi ke komunitas sementereng Potlot atau tokoh yang disegani, tiba-tiba membuat geger siapapun dengan kesuksesan album debut diikuti dua album setelahnya. Di kampung halamannya sendiri, sempat beredar sticker dan kaos berisi hinaan dan cercaan buat Duta dan kawan-kawan. Di Surabaya, bassist Adam Subarkah pernah diacungi hari tengah dan dikata-katai sebagai musisi banci. Puncaknya adalah saat Edi Brokoli memakai kaos “F**k Sheila On 7”. Karirnya yang mulai merangkak naik seketika game. Belum cukup, aktor senior Tio Pakusadewo balas membuat sablonan jaket “Edi Brokoli T*i”. Tapi itu belum selesai. Di Soundrenaline 2002 di Bandung, penonton sempat melempari cah-cah Jogja itu dengan botol air mineral. Boleh jadi ada sentimen kesukuan mengingat sosok nJawani dan medok seperti Sheila On 7 ini kerap menjadi bahan cibiran di daerah metropolis seperti Jakarta dan Bandung.
Cerita berbeda dialami Rhoma Irama. Jika sebelumnya Satria Bergitar mendapat cercaan dari genre lain, kali ini giliran Bang Haji memberi komentar miring terhadap biduan di kancah musik dangdut. Awal tahun 2003 Inul Daratista mendapat lampu sorot dari media nasional akan aksi Goyang Ngebor. Bang Haji menyatakan kegerahannya karena menganggap penyanyi bernama asli Ainur Rohimah ini telah menodai citra dangdut yang selama ini telah ia bangun. Ia menyebut Inul telah “melemparkan dangdut ke comberan” setelah lagu Inul membawakan “Cincin Kawin” ciptaannya dengan tambahan Goyang Ngebor. Seperti yang diberitakan di Majalah Tempo
Puncaknya adalah saat Edi Brokoli memakai kaos “F**k Sheila On 7”. Belum cukup, aktor senior Tio Pakusadewo balas membuat sablonan jaket “Edi Brokoli T*i”.
Bang Haji yang berang bahkan mengajak Paguyuban Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI) untuk meminta stasiun televisi memboikot Inul. Inul, yang berangkat dari sirkuit musik dangdut Tapal Kuda Jawa Timur, mendapat dukungan di sana-sini. Mulai dari seniman senior Titiek Puspa hingga Gus Dur. Juga melahirkan kelompok pendukung bernama FBI yang bukan berasal dari Amerika Serikat, melainkan Fans Berat Inul. Selang tiga tahun kemudian, gesekan ini kembali memanas saat rapat dengar pendapat pembahasan RUU Pornografi dan Pornoaksi di DPR.
Di profil usia yang lebih muda, gesekan internal antarpelaku dalam satu kancah pergerakan yang paling diingat adalah saat Superman Is Dead menandatangani kontrak dengan label rekaman raksasa Sony Music Indonesia pada tahun 2003. Bergabungnya punk ke korporasi dianggap sebagai aib yang tidak bisa dimaafkan, oleh beberapa pelakunya. Tuduhan ini kemudian dibumbui dengan isu-isu rasial seperti tato F**k Java di tubuh Jerinx.
Dalam biografi Rasis, Pengkhianat, Miskin Moral (2015) yang ditulis Rudolf Dethu, intimidasi buat tiga sekawan itu terjadi jelang peluncuran Kuta Rock City pada bulan Maret 2003 yang menjadi episode pertama Superman Is Dead bersama major label. Panggung acara musik yang disponsori oleh sebuah produk apparel olahraga skateboard di Surabaya menjadi sasaran amuk massa yang “dikomandani” oleh sesama penggerak musik bawah tanah. Apapun yang bisa dijangkau, jadi sasaran lemparan ke panggung beserta makian-makian multibahasa.
Ricuh berlanjut di Medan dan Yogyakarta pada Mei 2003. Sebelum Superman Is Dead manggung di kampus USU, punk rocker lokal yang kontra dengan Superman Is Dead sempat menyebarluaskan selebaran propaganda “Menjadi rockstar adalah hal biasa sedangkan menjadi punk rock star adalah sebuah pengkhianatan”. Malamnya, misil batu, botol, tiang bambu, sampai air comberan berterbangan ke panggung. Klimaksnya adalah saat seorang penonton berdiri di barikade, membuka resleting celananya, lalu masturbasi.
gesekan internal laku dalam satu kancah pergerakan paling diingat adalah saat Superman Is Dead menandatangani kontrak dengan label rekaman raksasa Sony Music Indonesia tahun 2003
Sementara konser sehari setelahnya di kampus UPN Veteran Yogyakarta berubah jadi ajang olahraga tolak peluru. Sebelumnya, poster dan baliho publikasi konser yang dipasang di beberapa titik Kota Pelajar itu disabotase. Di pertengahan konser tiba-tiba ada seorang penonton pingsan. Kru kemudian mengevakuasi ke samping panggung. Tapi ternyata itu hanya akal bulus. Penonton dengan dandanan punk yang begitu total itu sontak berdiri dan mengayunkan tinju ke arah vokalis dan gitaris, Bobby Kool. Tinjunya hanya mengenai angin, tapi sepakan dari Dethu yang kala itu masih jadi manajer mereka, sukses mendarat di muka tersangka.
Pola gesekan kedua adalah antara musisi dengan organisasi kemasyarakatan. Yang paling sering terjadi adalah masalah interpretasi teks visual. Tahun 2004, Iwan Fals diprotes oleh organisasi agama Hindu gara-gara ilustrasi Dewa Wisnu di sampul album Manusia ½ Dewa garapan Uthe yang dianggap melecehkan agama Hindu oleh Forum Intelektual Muda Hindu Dharma
Selang satu tahun, giliran Dewa diprotes oleh Front Pembela Islam. Tuduhannya: desain logo di album Laskar Cinta rilisan tahun 2004 dianggap mirip dengan kaligrafi berlafazkan Allah. Apalagi saat acara on-air di sebuah stasiun televisi swasta, logo itu diinjak-injak selama acara oleh personel-personel Dewa. Ahmad Dhani kemudian memutuskan untuk memodifikasi logo yang dibuat oleh Tepan Cobain tersebut namun menolak kalau tindakannya ini disebut untuk memenuhi tuntutan FPI.
Episode Inul versus Rhoma juga masih terkait dengan pola gesekan di tataran ini. Perkara goyang ngebor melebar sampai tingkat organisasi Majelis Ulama Indonesia. Ketua Majelis Fatwa MUI, K.H Ma`ruf Amin menyatakan goyang ngebor Inul haram karena menampilkan gerakan yang erotis. Andrew Weintraub dalam Dance Drills, Faith Spills’: Islam, Body Politics, and Popular Music in Post-Suharto Indonesia yang terbit di jurnal Popular Music Vol. 27 No. 3 menyebutkan, fatwa haram ini membuat beberapa pihak menyerukan boikot atas penampilan Inul, seperti MUI Solo dan Majelis Mujahidin yang berbasis di Yogyakarta.
Pola gesekan berikutnya terjadi dalam skala yang lebih besar terjadi antara musisi dengan perangkat negara. Konflik-konflik horizontal ini terjadi saat kontrol negara atas rakyatnya menunjukkan tanda-tanda absolut. Dijebloskannya Koes Bersaudara ke penjara Glodok tahun pada 24 Juni 1965 kaena perkara musik ngak ngik ngok seperti jadi babak awal yang diteruskan ke rezim setelahnya.
Meski Orde Baru tidak antipati pada produk-produk Barat, bukan berarti pengekangan negara pada aspek kreativitas bermusik menjadi kendor. Kontrol tetap ada, bahkan hadir dalam rupa yang makin beragam. Soeharto tidak seperti Soekarno yang mengekang dengan tangannya sendiri. Pembantu setianyalah yang melaksanakan dengan baik petunjuk daripada Bapak Presiden.
Hati Yang Luka dan kepribadian bangsa
Sebagai pemegang kuasa kegiatan propaganda media, Harmoko pernah mencekal Rhoma Irama, Bimbo, hingga Elpamas tampil di TVRI karena bertentangan dengan jargon sakti stabilitas nasional dan kepribadian bangsa. Namun pencekalan daripada Harmoko yang paling diingat sudah barang tentu adalah perkara “Hati Yang Luka” yang dinyanyikan Betharia Sonata.
Tanggal 11 Januari 1988 adalah perilisan perdana lagu karya Obbie Mesakh tersebut. Tanda-tanda lagu ini akan mencetak hits terlihat sejak hari keempat perilisan. Philips Yampolsky dalam “Hati Yang Luka”, an Indonesian Hit yang dimuat dalam jurnal Indonesia Cornell University Press vol. 47 menyebutkan “Hati Yang Luka” tidak perlu menunggu lama untuk diputar di Aneka Ria Safari, sebuah variety show di TVRI besutan pelawak Eddy Sud.
Tampil di Aneka Ria Safari ibarat tiket emas untuk musisi. Selain kenyataan bahwa TVRI saat itu jadi satu-satunya stasiun televisi, yang otomatis berpengaruh besar pada pembentukan selera, Aneka Ria Safari adalah salah satu cara menembus lingkaran kekuasaan Orde Baru. Awalnya Aneka Ria Safari, yang dibentuk bersama Ketua Departemen Seni dan Budaya DPP Golkar Bucuk Soeharto, diniatkan sebagai solusi keprihatinan nasib musik Indonesia yang tak bisa jadi tuan rumah di negerinya sendiri. Tapi ujung-ujungnya malah jadi corong penguasa supaya rakyat mencoblos pohon beringin di surat suara juga ajang bancakan bagi rekanan-rekanan bisnis.
Pernyataan Harmoko pada 24 Agustus 1988 seketika menjadi petir yang menyambar di siang bolong. Harmoko dalam ulang tahun TVRI mengkritik stasiun televisi plat merah itu tidak akan berhasil “menumbuhkan semangat kerja yang menjalin-jalin dengan semangat disiplin nasional” jika acara-acara TVRI banyak diwarnai dengan lagu-lagu yang dia klasifikasikan sebagai “ratapan patah semangat berselera rendah”, “keretakan rumah tangga”, atau “hal-hal cengeng”.
Bagi Betharia, ini juga mengherankan. Pasalnya pada bulan April 1988 (jika melihat keterangan tahun di sampul kaset), Betharia merilis album Aku Pilih Pegawai Negeri dengan single berjudul sama. Betharia mengajak para lajang untuk menentukan pilihan hatinya kepada pegawai negeri saat posisi tawarnya lumayan tinggi karena ada saudagar kaya yang melamarnya. Yang gemuk saudagar kaya hartanya di mana-mana/yang berkumis pegawai negeri/hidup sederhana// Gambaran tentang pegawai negeri rupanya tak banyak berubah: tetap sederhana.
Dalam mekanisme dukungan politik di era Orde Baru, pegawai negeri adalah pengepul suara Golkar.Di sampul album rilisaan Musica Studio’s itu, Betharia berpose bersawa grup lawak Jayakarta Grup. Sang maskot, Jojon, bahkan berpose dengan seragam batik khas Korpri yang berlogo beringin itu. Ternyata hal itu masih belum dianggap cukup oleh Harmoko untuk menebus dosa.
Sebagai pemegang kuasa kegiatan propaganda media, Harmoko pernah mencekal Rhoma Irama, Bimbo, hingga Elpamas tampil di TVRI
Harmoko memang tidak eksplisit menyebutkan judul-judul lagu yang dicurigainya itu, tapi siapapun langsung paham jika “ratapan patah semangat berselera rendah” adalah penafsiran dari berulang kali aku mencoba s’lalu untuk mengalah atau “keretakan rumah tangga” merupakan interpretasi lihatlah tanda merah di pipi bekas gambar tanganmu, yang tentu saja semuanya dilakukan secara sepihak. Hal ini karena Obbie Messakh sebagai pencipta lagu berpendapat lain. “Saya mencipta berdasarkan apa yang saya lihat dan saya alami. Itu adalah gambaran nyata dari kehidupan ini,” katanya sebagaimana dikutip Yock Fang Liaw dan Leo Suryadinata dalam Essential Indonesian Reading: A Learner’s Guide (2005: 48). Seperti yang ditulis di Tirto.
Selang beberapa hari tanggapan bermunculan. Yang paling menggelikan, ada membuat versi lirik “Hati Yang Luka” dengan semangat pembangunan! Berulang kali aku mencoba/slalu untuk berjuang// Demi keutuhan dan Pancasila/untuk tetap bangkit//…Lihatlah tanda merah dan putih/lambang gagah berani/demi pembangunan sosopolekbud/menuju lepas landas//
Sangat presisi menggambarkan Orde Baru yang keblinger dengan slogan!
Warkop DKI juga gatal ikut memparodikan. Dalam Godain Kita Dong (1989), Dono membawakan lagu tersebut saat ngamen di bus kota bersama pacarnya, Madona (Liza Patsy). Liriknya berubah jadi berulang -ulang sudah ku bilang/ bapak ibumu galak// Tapi kau cuek saja/tak mau tau akan perasaanku/// Bagian bridge-nya tak kalah kocak dulu segenggam beras kau pinjam aku, dengan refrain yang legendaris pulangkan saja aku ke Amerika atau Alaska.
Belakangan pencekalan Hati Yang Luka ini ditengarai tidak jauh dari urusan intrik politik. Yampolsky menyebutkan ada dua rumor yang kencang beredar. Pertama adalah perebutan pengaruh antara Harmoko sebagai Menteri Penerangan dengan Direktur TVRI saat itu, Ishadi S.K. Rumor lainnya adalah perkara UUD menyangkut persoalan pembagian profit penjualan album dengan Eddy Sud yang sangat diuntungkan mengingat posisinya sebagai produser Aneka Ria Safari. Ujung-Ujungnya Duit.
Tindak tanduk Harmoko ini sebelas dua belas saat dia pernah mengkritik lirik-lirik dalam dangdut. Belakangan, tulis Andrew Weintraub dalam Dangdut Stories (2010), hal itu dilatarbelakangi persaingan pengaruh di Golkar dengan Moerdiono yang menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara. Moerdiono memang dikenal sebagai figur pejabat dan politikus pecinta dangdut, termasuk dengan salah seorang biduannya.
Selesai dari gaduh pencekalan, Betharia malah mendulang sukses. Laporan Kompas pada 12 Maret 1989 mencatat penjualan album Hati Yang Luka tembus 1,3 juta keping. Sukses album ini kemudian membuat Musica merilis sepuluh versi rilisan! Langgamnya merentang dari versi pop Jawa gubahan Manthous, pop Batak, hingga dangdut.
Apakah Baskara akhirnya akan mengikuti jejak sukses Betharia? Arah ke sana mulai terlihat. “Peradaban”, yang jadi sumber perkara seperti halnya “Hati Yang Luka”, di Spotify sudah diputar 16 juta kali. Wajah Baskara selama bulan puasa kencang beredar sebagai bintang iklan sebuah operator seluler. Sama kencangnya dengan angka pemutaran single “Ramai Sepi Bersama” ciptaaanya yang dijadikan sebagai jingle iklan tersebut. Tapi tentu kita hanya bisa menunggu jawaban selanjutnya dari sang waktu.
____
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Wawancara Eksklusif Kossy Ng dan Dimas Ario Spotify: Edukasi Stream dan Musik Berbayar Masih Jadi Tantangan Besar
Saat menentukan apa saja yang ingin diangkat untuk KaleidosPOP 2024, tim redaksi Pophariini langsung berpikir soal keberadaan platform streaming musik yang menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan perjalanan band dan musisi di era ini. …
We Are Neurotic Mempersembahkan Album Mini Terbaru Asian Palms
Trio disco dan jazz asal Jakarta, We Are Neurotic menutup tahun 2024 lewat perilisan album mini terbaru yang diberi nama Asian Palms (13/12) bersama C3DO Recordings sebagai label naungan. Album Asian Palms …
[…] jauh lebih keras dari lagu-lagu musik metal yang pernah didengarnya. Hal ini ramai dan mendapatkan kecaman dari komunitas musik rock dan metal. Sejumlah musisi rock dan metal juga turut […]