I Love You But I’m Letting Go: Ode Untuk Clubhouse

Mar 18, 2021
I Love You But I’m Letting Go : Ode Untuk Clubhouse

Dalam sebuah pergaulan, terlebih lingkaran pertemanan ibu kota yang cepat, validasi adalah faktor yang penting. Hal-hal yang terjadi di dunia nyata menjadi semacam jembatan untuk persahabatan tingkat lanjutan di dunia maya. Sialnya, saya atau barangkali beberapa orang di luar sana, merasa risih apabila diikuti seseorang di dunia maya dan yang bersangkutan menodong untuk saya ikuti balik lamannya. Padahal, belum tentu saya punya keinginan dan kaingin tahuan lebih pada dirinya.

Hal lainnya adalah terkait privasi. Musababnya sederhana, karena menganggap hubungan kami belum terlampau spesial, saya tak terlalu ingin dia mengetahui lebih banyak tentang hidup saya. Clubhouse menjelma sebagai peramai deretan aplikasi media sosial yang seketika popular dan berhasil merebut hati banyak pengguna dalam kurun waktu yang relatif singkat di beberapa negara, termasuk Indonesia. Terkait urusan privasi, isu yang satu ini juga menjadi perhatian oleh para pengguna. Tayangan visual yang muncul tiap .Feast manggung pernah menampangkan hal yang saya rasa tepat. Apabila sebuah produk itu gratis, kita adalah produknya.

Dalam kebijakannya, Clubhouse mengakui bahwasanya mereka melakukan perekaman yang bersifat sementara dan dilakukan hanya untuk mendukung laporan penyelidikan. Hal ini memang sejatinya tertuang dalam kebijakan mereka yang sudah disetujui pengguna sebelum aplikasi ini bisa digunakan. Rekaman suara sementara juga terenkripsi. Kendati demikian, dalam kebijakan tersebut tidak dijelaskan batas waktu untuk penyimpanan rekaman yang tersedia secara internal dan pula siapa saja yang mempunyai akses pada rekaman tersebut.

Dan lagi, Clubhouse juga mengakui bahwa mereka menyimpan beberapa data pribadi yang dikumpulkan dari aplikasi pihak ketiga, seperti Twitter. Data pribadi seorang pengguna masih bisa dibagikan meskipun orang tersebut tidak bergabung ke Clubhouse. Hal ini dapat terwujud lewat daftar kontak pengguna yang sudah terlebih dahulu gabung. Kejutan tak berhenti di sini, pengguna pun tidak punya opsi pilihan untuk menghapus akun Clubhouse mereka. Kebijakan menyebutkan bahwa pengguna mesti menghubungi pihak Clubhouse apabila mereka hendak mengubah, mengoreksi data pribadi, ataupun menghapus akun.

Tapi Clubhouse tak melulu membawa berita buruk. Angin segar lewat inovasi-inovasi cemerlang barangkali jadi hal yang cukup membuat kita mengapresiasi aplikasi ini. Hal ini tersimpulkan setelah adanya sebuah room khusus yang berfokus pada konsultasi perawatan darurat layaknya rumah sakit. Ide ini diinisasi oleh sejarawan Indonesia, Asep Kambali. Kemudian terciptalah Instalasi Gawat Darurat (IGD) Clubhouse yang mengudara sejak 22 Februari 2021.

Mungkin Clubhouse bergabung ke kerumunan masyarakat di awal 2021. Nyatanya, jejaring media sosial berbasis audio ini tercipta saat pademi Covid-19 mulai berpetualang ke Indonesia, Maret 2020. Di mana orang-orang terjebak di rumah masing-masing. Aplikasi ini dibangun oleh para pegiat teknologi informasi yang bermukim di pusat pengembangan teknologi informasi Lembah Silikon, California di bawah paying Alpha Exploration Co.

Untuk bergabung, pengguna harus menerima undangan dari pengguna lain yang sudah terlebih dulu ada di dalam aplikasi. Undangan ini akan diberikan dalam bentuk tautan yang langsung dikirimkan ke nomor telepon calon pengguna, berlanjut ke halaman pendaftaran di aplikasi. Undangannya pun tak semena-mena dapat dibagikan pada siapa saja, pengguna yang sudah ada hanya memiliki dua undangan yang tersedia pada awalnya.

Belum lama ini, pembuat aplikasi Clubhouse telah berujar bahwa tujuan mereka di tahun 2021 adalah menyelesaikan tahap beta aplikasi, sehingga pada akhirnya membuka Clubhouse ke seluruh dunia. Aplikasi ini memang masih sangat terbatas sebab para pengguna harus bergabung secara langsung dan perbincangan yang terjadi pun tak dapat dinikmati tatkala ruangan obrolan ditutup.

Kedua pendiri Clubhouse, Paul Davison dan Rohan Seth juga bukan sembarang orang. Dua alumni Stanford University ini pernah bekerja di Google. Paul Davison sendiri pernah bekerja di Pinterest. Di lain sisi, Rohan Seth merupakan CEO dari Memry Labs. Pernah ikut tes melamar pekerjaan dan menggunakan Memry Labs? Rohan adalah orang yang pertama kali menciptakan hal tersebut. Aplikasi yang memang sangat berguna dalam mempermudah mereka yang hendak melakukan tes untuk masuk ke suatu pekerjaan.

Salah satu manusia unik yang dunia ini miliki, pendiri Tesla, sekaligus musisi EDM yang pernah merilis lagu dengan title ‘Don’t Doubt Ur Vibe’, Elon Musk adalah figur yang meroketkan nama Clubhouse. Di Indonesia sendiri, ada adik Rara Sekar, Isyana Saravati yang barangkali membuat segelintir orang tertarik untuk mengunduh aplikasi ini. Isyana tidak sendiri dalam meluncurkan upaya penggodaan yang sangat ampuh pada masyarakat ini. Ada pula nama seperti Nino Kayam, seorang produser sukses yang telah genap memproduseri 100 lagu. Satu lagi, ada nama Ilham Ibrahim, punggawa Maliq & D’Essentials yang turut melengkapi daftar ini.

Puncaknya ada di pertengahan bulan penuh cinta. Di 15 Februari, Clubhouse berhasil memuncaki perolehan tagar dan menjadi trending di Twitter. Berbagai macam tanggapan terangkum lewat merebaknya hal ini. Ada yang memandang aplikasi ini sebagai angin segar dalam dinamika sosial media, ada yang mengkritik pengguna yang berkecimpung di dalamnya, dan masih ada juga yang kebingungan perihal Clubhouse apa yang dimaksud––salah kaprah dalam mengartikan, malahan mengira Clubhouse yang ada dalam serial Mickey Mouse.

Huru-hara yang hinggap dan energi positif yang tersalurkan oleh Clubhouse juga pernah hinggap pada saya. Pada suatu malam, ide membuat room perbincangan saya lempar pada Fadli Fikriawan, bassist .Feast. Intinya, malam itu, kami memulai dan menjaga obrolan hanya pada kegiatan-kegiatan musisi di luar panggung. Banyak nama-nama pamor yang silih berganti menghampiri. Dimulai dari Iga Massardi yang kami todong pertanyaan soal sepeda, Adnan––gitaris .Feast yang saat itu sialnya sedang berhadapan dengan lalu lintas Jakarta, hingga Fauzan Lubis dan Oscar Lolang yang terlebih dahulu telah disinggung. Fauzan Lubis dan kesibukannya yakni kembali ke dunia bela diri, spesifiknya : Karate. Oscar dan kemampuan memasaknya yang meningkat tatkala pandemi.

Lain kesempatan, Rakasyah Reza, seorang fotografer musik sekaligus road manager untuk Adit Insomnia mengajak saya untuk membuat sebuah room. Kali ini, topik obrolan yang dipilih, sangat musik sekali. Kenapa demikian? Pembahasan malam itu berkutat tentang rilisan kompilasi musik yang pernah beredar di peradaban manusia. Keraguan mulai muncul sedari detik pertama perbincangan ini bermula. Bukan apa-apa, nama top sudah nangkring di sana. Ada David Tarigan––inisiator Irama Nusantara yang portofolio pengarsipan musiknya tak perlu lagi diragukan. Otomatis, obrolan ini jadi terkontrol dan berbobot.

Alam semesta nampaknya hendak bermain-main malam itu. Pasalnya, setelah obrolan berjalan kira-kira 20 menit, Nino Kayam masuk dan melenggang anggun. Persetan dengan rasa malu, saya memberanikan diri untuk menyapa dan bertanya. Pertanyaan terkait apakah ada kompilasi yang akan ia ciptakan jadi fokus saya. Hal ini tidak jauh-jauh dari fakta bahwa genap 100 karya telah ia produseri. Malam makin larut dan obrolan makin seru. Hasief––salah satu alasan saya tertarik dengan jurnalisme musik, turut angkat suara.

Begitulah, Clubhouse adalah tempat yang menyenangkan. Di sana banyak pintu terbuka, setidaknya hal ini yang bisa disimpulkan dari dua paragraf pengalaman saya di atas. Kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang baru terbuka lebar, berpapasan dengan idola dalam suatu ruang obrolan adalah kesempatan bonus. Satu hal yang menjadikan Clubhouse layak untuk diunduh dan rutin dihampiri adalah ilmu gratis yang berceceran di dalamnya. Sebanyak itu konten-konten sarat manfaat dibalik tiap ruang obrolan yang tertera di sana.

Brengseknya, aplikasi ini cukup jual mahal. Pengguna Android tidak dapat mengakses dan menimpati hal-hal menyenangkan di atas. Begitupun pengguna Iphone dengan Ios tertentu. Ada persyaratan mendetail tentang hal ini. Sekalipun gawai kepunyaan orang yang bersangkutan sudah mumpuni, hal tersebut tak menjamin anda dengan seenaknya dapat menikmati aplikasi ini. Anda harus lebih dahulu diundang oleh individu-individu beruntung yang sudah lebih dahulu masuk ke dalam aplikasi ini.

Ada pula rona-rona bahwa Clubhouse mulai kehabisan masa kejayaan dan barangkali daya magisnya. Hal itu pula yang sedihnya harus saya amini. Cukup banyak kenangan akan tempat ini, tapi mau bagaimana? Eksplorasi yang sepertinya mampu terjadi di Clubhouse tidak terlampau banyak. Live podcast adalah konsep yang padat, benar, tapi cukup. Iya, cukup hanya itu. Tidak kurang dan tidak lebih. Menjadikannya cukup stagnan dan minim kejutan.

Beberapa figur publik bahkan tak segan-segan mempertontonkan kemundurannya dari aplikasi ini. Ambil contoh Ernanda Putra, penemu Makna Creative––creative lab tempat Iyas Lawrence berlabuh dan beberapa kali mewawancari musisi, sudah meninggalkan aplikasi ini. Ernanda membandingkan Clubhouse dengan Instagram. Upaya perbandingannya sederhana, ia dan barangkali kita semua, mampu meninggalkan Clubhouse lebih dari 24 jam, untuk kasus Ernanda, hingga tiga hari tanpa membuka aplikasi ini. Sementara hal yang sama barangkali tak dapat terjadi dengan Instagram.

Pertanyaan jutaan dollarnya adalah, seperti apakah nasib Clubhouse nantinya? Mungkinkah nafasnya habis dan berujung dengan pengibaran bendera putih? Belum adakah yang cukup mengalahkan dominasi Instagram? Apakah fitur stories di Instagram adalah satu-satunya cara terbaik untuk mengunggah berbagai macam jenis kesibukan harian? Semakin sepi pengguna di Indonesia barangkali jadi hal kuat yang membuat Clubhouse hilang dari peredaran. Sulitnya mencari pemasukan dari aplikasinya karena minim iklan juga jadi faktor lainnya. Akankah Clubhouse masuk dan hilang dalam gelapnya terowongan, atau adakah cahaya terang untuknya di ujung sana?

Entahlah, seolah kehidupan pribadi seseorang masih belum cukup banyak terekspos. Clubhouse dan inovasi yang dibawanya memang menjadi angin segar selama pandemi ini. Variasi cara baru dalam bersosial media telah setidaknya coba dihadirkan. Banyak keuntungan dan kesenangan yang tercipta olehnya. Tapi minimnya eksplorasi jadi penghambat yang membuat beberapa orang undur diri darinya. Kendati demikian, rasanya Clubhouse akan terus hidup. Setidaknya akan ada beberapa individu yang kepalang cinta dan nyaman di sana. Sekalipun tambah sepi, ia tidak akan mati total. Sepertinya begitu. Apakah betul? Akankah Clubhouse tetap bernafas? Mari kita saksikan bersama!

 

____

Penulis
Hillfrom Timotius
Lulus SMA saat pandemi Covid-19 dan mengikuti Ospek di depan layar laptop. Pembaca dan penulis. Mendirikan School For Cool. Fans berat serial How I Met Your Mother, Bakmie Cong Sim, dan Nuran Wibisono. Oh ya, kalau nama saya terlalu sulit, kamu bisa memanggil saya Ipom. Salam kenal.

Eksplor konten lain Pophariini

Dirty Racer Buktikan Cinta Sejati Itu Ada Lewat Single Vespa Merah

Setelah merilis single “Percaya” dan “Untitled” pada 2015, unit pop punk asal Lampung, Dirty Racer kembali dengan yang terbaru dalam tajuk “Vespa Merah” (08/11).     Dirty Racer adalah Galang Rambu Anarki (vokal, bas) …

Circle Path Memaknai Candaan Jadi Hal yang Serius di Single Teranyar

Setelah merilis single “Down In The Dumps” tahun lalu, Circle Path melanjutkan perjalanan mereka lewat peluncuran single anyar “Take This As A Joke” hari Senin (11/11). Pengerjaan single ini dilakukan secara independen dan mereka …