Jalan Sunyi Band Perempuan di Kancah Musik yang Toksik

Jul 29, 2022

Kancah musik bagi band perempuan adalah kancah yang toksik. Saya ulangi: kancah musik bagi band perempuan adalah kancah yang toksik. Saya memikirkan hal ini setelah membaca dua tulisan yang menurut saya berargumen cukup kuat. Pertama, adalah artikel bertajuk Menggugat Seksisme di Scene Kami yang ditulis oleh Anida Bajumi untuk Jurnal Ruang. Kedua, artikel berjudul Mencari Perempuan dalam Kritik Musik Kiwari yang ditulis oleh Idha Saraswati untuk serunai.co.

Pada artikel pertama, Anida Bajumi menggugat seksisme yang terjadi dalam kancah musik. Dalam pandangannya, musisi perempuan kerap kali harus berjuang tiga hingga empat kali lebih keras untuk mendapatkan pengakuan yang sama dengan musisi laki-laki.

Seksisme juga kerap hadir dalam pernyataan-pernyataan seperti “wah pemain bassnya cewek, keren nih”. Anida menuding pernyataan semacam itu adalah bentuk seksisme yang maskulin karena perempuan seolah selalu hanya menjadi semacam “tempelan pemanis”. Alih-alih membahas misalnya skill atau kemampuan musisi perempuan, perkara sex appeal dan penampilan fisik yang selalu dikedepankan.

Anida Bajumi menggugat seksisme yang terjadi dalam kancah musik. Dalam pandangannya, musisi perempuan kerap kali harus berjuang tiga hingga empat kali lebih keras untuk mendapatkan pengakuan yang sama dengan musisi laki-laki

Pada artikel kedua, Idha Saraswati menggarisbawahi absennya perspektif gender dalam kajian atau kritik musik kiwari. Padahal menurut Idha “seperti produk budaya lainnya, sedikit banyak musik juga merepresentasikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tempatnya lahir. Oleh karena itu, melihat aspek gender dalam musik tidak hanya menarik tetapi juga penting untuk dilakukan.”

Lebih lanjut, Idha menemukan bahwa musisi perempuan sebenarnya ada begitu banyak, tetapi mengapa sulit sekali menemukan kritik musik kiwari yang mengulas musik-musik yang digubah oleh perempuan?

Alih-alih membahas misalnya skill atau kemampuan musisi perempuan, perkara sex appeal dan penampilan fisik yang selalu dikedepankan.

Setelah membaca dan memikirkan kedua argumen dari dua penulis tersebut, saya memikirkan pertanyaan ini: jangan-jangan memang benar, kancah musik itu memang sungguh toksik? Sebuah dunia hyper-masculinity yang diisi oleh laki-laki, dihidupi oleh laki-laki?

Di dalam tesisnya yang bertajuk Hyper-masculinity In The Heavy Metal Subculture, Whitney Doucette menjelaskan apa itu hyper-masculinity. Hyper-masculinity adalah perilaku stereotip pria yang berlebihan, seperti penekanan pada kekuatan fisik, agresi, dan seksualitas. Hal ini dapat dilihat dalam budaya heavy metal melalui tarian kekerasan, juga dikenal sebagai moshing, dan agresi seksual yang terbuka. Hyper-masculinity sebagian besar tidak toleran terhadap homoseksualitas, jadi perlu dicatat bahwa agresi seksual pria dalam konteks ini ditargetkan secara khusus pada wanita.

Idha Saraswati menggarisbawahi absennya perspektif gender dalam kajian atau kritik musik kiwari. “Seperti produk budaya lainnya, sedikit banyak musik juga merepresentasikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tempatnya lahir. Oleh karena itu, melihat aspek gender dalam musik tidak hanya menarik tetapi juga penting untuk dilakukan.”

Meski ranah penelitian Doucette tersebut secara spesifik menyasar komunitas musik metal, namun konsep hyper-masculinity yang ia usung bisa juga kita gunakan untuk membedah fenomena yang sama di ranah yang lebih luas, kita bisa mengamati betapa secara luas kancah musik in general masih tersandera oleh hyper-masculinity.

Aria Yunior / Foto: dok. istimewa

Saya kemudian berkaca pada dua argumen kuat Anida dan Idha, serta gagasan Doucette, dan mencoba merefleksikannya pada kisah band-band yang seluruh personelnya merupakan perempuan. Di sepanjang sejarah musik modern Indonesia, sebenarnya band beranggotakan perempuan itu ada banyak. Namun, maskulinitas industri musik beserta turunannya seperti perkara skena, media, lingkaran pertemanan, hingga urusan media sosial, menjadikan band-band perempuan ini seperti kurang bergaung.

Lebih lanjut, Idha menemukan bahwa musisi perempuan sebenarnya ada begitu banyak, tetapi mengapa sulit sekali menemukan kritik musik kiwari yang mengulas musik-musik yang digubah oleh perempuan?

Padahal kalau dipikir-pikir, dari segi musikalitas, attitude, hingga persona, band-band beranggotakan perempuan ini punya peran sentral yang luar biasa dalam perkembangan musik Indonesia.

Kita dapat memulai tapak tilas band-band Indonesia yang beranggotakan perempuan ini dari Dara Puspita. Grup band yang terbentuk pada 1964 ini terdiri dari Titiek Adji Rachman, Lies Soetisnowati Adji Rachman, Susy Nander, dan Ani Kusuma. Band asal Surabaya ini tak hanya moncer di Indonesia, tetapi juga sempat tur Eropa selama beberapa tahun, dan dikenal dengan nama Flower Girls.

FLEUR! / Foto: dok. FLEUR!

Setali tiga uang dengan Koes Bersaudara (atau Koes Plus), Dara Puspita adalah raksasa musik rock Indonesia. Perjuangan mereka di dunia musik juga tidak main-main. Sebagai sebuah band yang memainkan musik rock n roll di zaman ketika pemerintah Indonesia melarang produk budaya neoliberal dan musik yang dianggap ngak ngik ngok serta kebarat-baratan, Dara Puspita pun turut kena tulah. Mereka sempat menjadi korban pemberangusan. Dara Puspita sempat ditangkap polisi karena memainkan lagu milik The Beatles. Mereka sempat digelandang ke Kejaksaan dan diwajibkan melapor ke polisi selama satu bulan. Bahkan mereka harus menghadapi interograsi dengan pertanyaan-pertanyaan yang janggal dan tidak masuk akal.

Dara Puspita circa 70an / Foto: dok. istimewa

Apakah pemberangusan ini kemudian menciutkan nyali dan membuat Dara Puspita menyerah? Ternyata tidak. Dara Puspita tetap lanjut berkarya. Kegigihan Dara Puspita bermusik akhirnya menahbiskan mereka menjadi tonggak dan cetak biru untuk band-band berpersonel perempuan di masa setelahnya.

Tapak Tilas ke era 70an, semangat juang kugiran-kugiran berpersonel perempuan muncul dalam sebuah perhelatan yang bernama Festival Band Wanita Se-Indonesia. Festival yang digelar pada 1975 ini melibatkan banyak sekali band perempuan dari berbagai daerah di Indonesia

Misalnya di era kiwari kita bisa melihat jejak Dara Puspita di band FLEUR!. Trio beranggotakan Yuyi, Tanya, dan Tika yang baru saja merilis album perdana mereka Fleur Fleur FLEUR! Ini adalah derivatif dari Dara Puspita. Wajar karena sebelumnya band ini memang dibentuk sebagai band tribute untuk Dara Puspita. Meski di kemudian hari mereka kehilangan salah satu personel yang mengundurkan diri, FLEUR! pada akhirnya tetap melaju dalam format trio, dan meneruskan estafet musik rock dengan riff-riff gitar dan harmonisasi vokal a la Dara Puspita.

Tapak Tilas ke era 70an, semangat juang kugiran-kugiran berpersonel perempuan muncul dalam sebuah perhelatan yang bernama Festival Band Wanita Se-Indonesia. Festival yang digelar pada 1975 ini melibatkan banyak sekali band perempuan dari berbagai daerah di Indonesia. Sebut saja di antaranya adalah Pretty Sisters, Aria Yunior, dan One Dee and Lady Face’s.

Band One Dee & Lady Face’s / Foto: dok. istimewa

Bapak jurnalisme musik Indonesia, Remy Silado pernah menulis mengenai festival ini, dan menggambarkan dengan gamblang bagaimana aksi panggung grup musik perempuan ini sungguh luar biasa. Remy misalnya menyebut Euis Darliah bersama band Antique Clique dengan “goyangan tegas yang sensual dan aksi angkat mikrofon yang heboh mirip Mick Jagger.”

VOB mengenakan jilbab baik di keseharian maupun saat di atas panggung. Mereka menegaskan sebuah pernyataan bahwa mereka adalah Muslim taat, namun juga memainkan musik metal. Padahal selama ini metal kerap diasosiasikan dengan hal-hal di luar perkara agama

Kembali ke era kiwari. Nama Voice of Baceprot tentu saja sudah tidak lagi asing di telinga kita. Trio asal Garut, Jawa Barat, yang memainkan aliran musik cadas yang mereka sebut The Other Side of Metalism ini menjadi perbincangan publik karena aksi mereka yang luar biasa cadas. VOB menjadi tenar karena konsep yang mereka usung. Seluruh personel band ini mengenakan jilbab baik di keseharian maupun saat di atas panggung.  Widi Rahmawati, Firdda Kurnia, and Euis Siti Aisyah dengan bangga menegaskan sebuah pernyataan bahwa mereka adalah Muslim taat, namun juga memainkan musik metal. Padahal selama ini metal kerap diasosiasikan dengan hal-hal di luar perkara agama.

Tema lagu VOB juga sungguh berani, dengan bernas mereka mengkritik perkara patriarki yang kokoh bercokol di tengah masyarakat, kejumudan pola pikir yang melarang musik dimainkan, hingga perkara edukasi dan pendidikan yang harusnya membebaskan manusia.

Voice of Baceprot / foto: dok. VOB

Dengan konsep band dan musik yang sedemikian matang, wajar jika Voice of Baceprot kemudian memperoleh prestasi segudang. Tak hanya moncer di tanah air, nama mereka juga terdengar ke seantero dunia barat. Bahkan VOB juga sempat melakoni tur keliling Eropa. Nama mereka pun disebut berkali-kali di media-media internasional seperti di Spin, Metal Hammer, hingga Distorted Sound.

Belakangan grup kasidah asal Semarang, Nasida Ria juga menjadi sorotan publik. Ini karena Nasida Ria tampil di panggung perhelatan seni bergengsi Documenta Fifteen di Jerman. Grup yang seluruh personelnya adalah perempuan dan terkenal dengan lagu-lagu hitsnya seperti “Bom Nuklir” dan “Perdamaian” ini sukses membikin penonton Documenta Fifteen berjoget.

Daftar band-band Indonesia berpersonel perempuan semua ini akan sangat panjang jika kita tulis semuanya. Masih ada begitu banyak nama yang belum disebut. Misalnya Wondergel, Geger, Boys Are Toys, SHE,  hingga Nonaria.

Nasida Ria yang sudah malang melintang di industri musik Indonesia selama sekian dekade membuktikan bahwa grup band beranggotakan perempuan asal Indonesia pun sangat bertaji dan mumpuni untuk bisa membikin warga negara dunia pertama berjoget, mengikuti irama musik dan menggoyangkan pinggul walau sebenarnya mungkin mereka kesulitan memahami lirik lagu yang berbahasa Indonesia.

Daftar band-band Indonesia berpersonel perempuan semua ini akan sangat panjang jika kita tulis semuanya. Selain band-band yang saya sebut di atas, masih ada begitu banyak nama yang belum disebut. Misalnya Wondergel, Geger, Boys Are Toys, SHE,  hingga Nonaria.

Boys Are Toys formasi terakhir / dok. istimewa

Begitu banyaknya band-band Indonesia beranggotakan perempuan semua yang tidak bisa disebutkan di tulisan pendek ini sebenarnya secara tidak langsung membuktikan kancah musik adalah kancah yang toksik, ada yang tidak beres dengan ekosistem musik di Indonesia yang masih dikuasai hyper-masculinity.

Pada akhirnya saya tetap mengamini argumen Anida Bajumi dan Idha Saraswati yang saya kutip di awal tulisan ini. Bahwa dunia musik Indonesia itu sebenarnya luas sekali dengan keanekaragaman yang luar biasa. Sayang sekali jika kita menihilkan perspektif gender dalam memandang puspa ragam musik di Indonesia ini. Karena dengan nihilnya perspektif gender, kita akan terjebak di hyper-masculinity yang toksis dan terlampau mengagungkan dominasi (band) laki-laki di kancah musik Indonesia ini, serta menafikan eksistensi dan talenta musisi perempuan.

Nona Ria / foto: Madava

“Soal seksisme, tidak peduli karya laki-laki atau perempuan, semua bisa dibedah dengan pisau yang sama. Artinya, bisa saja ada musisi perempuan yang karyanya juga seksis. Sebab ideologi patriarki itu tertanam di kepala laki-laki maupun perempuan. Sebaliknya, karya musik yang mendorong kesetaraan gender juga perlu dikupas sehingga bisa memberi sumbangan yang bernutrisi bagi diskusi musik,” papar Idha Saraswati di tulisannya.

Seksisme dan hyper-masculinity di kancah musik ini menimpa grup tweepop asal Lombok, The Dare. Band dengan personel perempuan semua ini baru saja mengalami kejadian tidak menyenangkan saat ada akun anonim yang berkomentar seksis di postingan Instagram vokalis mereka

Saya akan menutup tulisan ini dengan merefleksikan argumen Idha Saraswati tersebut. Sudah saatnya kita melucuti seksisme dan hyyper-masculinity di kancah musik Indonesia. Saya sepakat dengan Idha Saraswati, patriarki adalah gangren yang harus dienyahkan, baik dari kepala laki-laki maupun perempuan, dan kita harus lebih melek perspektif gender agar bisa lebih berimbang menata, mengelola, dan menikmati musik-musik Indonesia.

Seksisme dan hyper-masculinity di kancah musik ini dapat kita lihat jika kita berkaca pada kejadian yang belakangan menimpa grup tweepop asal Lombok, The Dare. Band dengan personel perempuan semua ini baru saja mengalami kejadian tidak menyenangkan saat ada akun anonim yang berkomentar seksis di postingan Instagram vokalis mereka.

The Dare / foto dok. The Dare.

The Dare adalah band perempuan luar biasa yang baru saja melakukan tur luar biasa keliling Jawa, dengan visi dan misi menggedor kesadaran publik tentang pentingnya menerapkan perspektif gender saat menonton dan menikmati karya musisi. Namun, kebebalan maskulinitas malah menyasar mereka lewat serangan membabi buta akun anonim yang menjijikkan itu.

Kita tidak boleh membiarkan band perempuan di kancah musik Indonesia berkarya di jalan yang sunyi. Kita harus memberi apresiasi lebih pada mereka, memberikan ruang yang sama dan setara untuk mereka, dan membicarakan mereka sebagai bagian dari diskursus dan diskusi musik Indonesia. Kita harus berani membongkar hyper-masculinitydan budaya patriarki yang telanjur bercokol kokoh di semua lini kehidupan, termasuk di kancah musik.

Sudah saatnya kita membongkar hyper-masculinity yang toksik di kancah musik Indonesia. Mengutip lirik lagu Voice of Baceprot, “I just wanna sing a song to show my soul. God, allow me please to play music.

Sebagai penutup, saya akan mengajak kita semua merefleksikan hal ini:  apakah kita sudah menginterogasi budaya patriarki yang terinternalisasi dalam diri? Termasuk dalam komunitas-komunitas musik juga: sudah ramah perspektif gender atau justru masih melanggengkan hyper-masculinity?

Bayangkan seandainya all-women band gave up gara-gara lingkungan musik yang masih toksik dan di dalam cengkeraman budaya patriarkis dan hyper-masculinity! Betapa membosankannya nanti kancah musik Nusantara.

Sudah saatnya kita membongkar hyper-masculinity yang toksik di kancah musik Indonesia. Mengutip lirik lagu Voice of Baceprot, “I just wanna sing a song to show my soul. God, allow me please to play music.

 


 

Penulis
Aris Setyawan
Etnomusikolog dan musikus. Co-founder dan editor Serunai.co. Bercerita di arissetyawan.com.

Eksplor konten lain Pophariini

Wawancara Eksklusif Ecang Live Production Indonesia: Panggung Musik Indonesia Harus Mulai Mengedepankan Safety

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Pophariini masih banyak menghadiri dan meliput berbagai festival musik di sepanjang tahun ini. Dari sekian banyak pergelaran yang kami datangi, ada satu kesamaan yang disadari yaitu kehadiran Live Production Indonesia. Live …

Daftar Label Musik Independen dari Berbagai Kota di Indonesia 2024

Berbicara tentang label musik tentu bukan hal yang asing lagi bagi siapa pun yang berkecimpung di industri ini. Mengingat kembali band-band yang lekat dengan label raksasa sebagai naungan, sebut saja Dewa 19 saat awal …