Kenapa Selera Musik Kita Mentok di Usia 30 Tahun

May 20, 2021

Bayangkan adegan ini: kamu adalah seseorang yang berusia 30 tahun. Kamu kerap mendengarkan musik melalui Spotify atau platform musik streaming lainnya. Ketika pertama membuka aplikasi tersebut, kamu disuguhi begitu banyak pilihan musik. Ada banyak senarai musik, baik yang disusun algoritma aplikasi atau oleh kurator manusia.

Namun, kamu ternyata mengabaikan semua musik yang direkomendasikan tersebut. Kamu enggan mengintip apa saja musik yang ada di dalam senarai “Discover Weekly” atau “Release Radar”. Alih-alih, kamu lebih suka mendengarkan musik di senarai pribadi yang kamu susun. Kamu hanya mau mendengarkan musik yang sudah familiar di kupingmu, musik yang kamu dengarkan di tahun-tahun yang lalu saat kamu masih berusia remaja hingga dewasa.

Kamu mungkin kemudian berpikir: kenapa saya tidak mau mencoba mendengarkan musik-musik rilisan baru? Ini salah saya, deh, kayaknya. Pikiran saya terlampau cupet dan enggan menerima hal-hal baru.

Misalnya, pada tahun 2000an kamu masih berusia remaja. Kala itu musik yang karib denganmu adalah Dewa, Sheila On 7, Padi, atau Jamrud. Puluhan tahun kemudian, di tahun 2021, kamu enggan mendengarkan angkatan musisi yang lebih muda dan baru semisal Isyana Sarasvati, Kunto Aji .feast, atau Hindia. Kamu masih kukuh mendengarkan musisi yang kamu gemari di era remajamu itu.

kondisi mentoknya selera musik di usia 30 tahun ini disebut sebagai musical paralysis

Kembali ke pernyataan di atas: apakah ini salah pikiran cupet saya yang enggan menerima hal baru?

Tidak. Ini bukan salah kita. Karena kejadian ini tak hanya menimpa diri kita. Ini adalah sesuatu yang manusiawi. Sebagian besar orang juga mengalami kejadian ini: ketika selera musik kita mentok di usia 30 tahun.

 

Musical Paralysis

Berdasarkan riset yang dilakukan layanan musik streaming asal Prancis, Deezer, kondisi mentoknya selera musik di usia 30 tahun ini disebut sebagai musical paralysis.

Musical paralysis adalah sebuah kondisi ketika seseorang berhenti mendengarkan musik baru, dan mendengarkan secara terus menerus musik yang sama secara berulang-ulang.

Di dalam riset yang Deezer lakukan, mereka mengumpulkan 1.000 responden dan menanyakan apa preferensi musik dan kebiasaan mendengarkan musik yang mereka lakukan.

Hasilnya, 60% responden menyatakan mereka berhenti mendengarkan musik baru dan terjebak dalam lingkaran (genre) musik yang sama. Sisanya adalah orang-orang yang mau mencoba menikmati musik rilisan baru.

Sebagian besar responden menyatakan mereka enggan mencoba musik-musik baru karena beberapa faktor, di antaranya karena adanya kesibukan untuk bekerja dan merawat anak jika mereka sudah berkeluarga.

Mereka merasa tidak lagi memiliki waktu untuk mencoba musik baru. Hidup sudah terlalu capek dengan berbagai tetek bengek kehidupan seperti bekerja, memikirkan bayar tagihan, pendidikan anak, kenapa harus ditambah rumit dengan mencari musik baru yang tidak familiar? Mendengarkan musik yang dikenal akrab adalah semacam eskapisme yang mereka lakukan.

Musik yang paling nyantol di diri kita adalah yang kita dengarkan sejak usia remaja, sampai usia kepala tiga

Yang menarik dari riset Deezer tersebut adalah mereka menemukan bahwa lokasi di mana kita tinggal ternyata memengaruhi musical paralysis yang terjadi. Sederhananya, jika kita tinggal di wilayah urban seperti Jakarta atau Yogyakarta, maka kondisi musical paraysis yang terjadi pada diri pun akan berbeda dari mereka yang tinggal di wilayah pinggiran atau terpencil.

Riset Deezer tersebut tidak menjelaskan alasan kenapa musical paralysis ini bisa berbeda di tiap wilayah. Namun, menurut asumsi saya, kondisi geografis sebuah wilayah tentu berpengaruh jika mempertimbangkan adanya ketimpangan infrastruktur atau akses untuk mendengarkan sebuah musik.

 

Reminiscence Bump

Di dalam ilmu psikologi dikenal sebuah pendekatan yang disebut sebagai reminiscence bump. Sederhananya begini: reminiscence bump bisa menjelaskan kenapa dalam hal mendengarkan musik, selera kita mentok di usia 30 tahun. Kenapa pada usia 30 tahun kita mentok terjebak dalam musical paralysis.

Ya. Musik yang paling nyantol di diri kita adalah musik yang kita dengarkan sejak usia remaja (12-24 tahun menurut versi WHO), sampai di usia kepala tiga.

Kenapa demikian? Menurut Steve M. J. Janssen DKK dalam artikel bertajuk “Temporal distribution of favourite books, movies, and records: Differential encoding and re-sampling” yang dimuat di jurnal Memory, reminiscence bump adalah sebuah kecenderungan seseorang untuk mengingat dengan jelas, menggali, dan memanggil ulang kejadian dari masa remaja hingga dewasa awal.

Sistem memori otak paling efisien terjadi selama masa remaja akhir dan awal masa dewasa. Kita juga mengalami banyak hal untuk pertama kalinya, yang membuatnya sangat berkesan. Tetapi alasan utama mengapa kita kembali ke musik dan anekdot dari periode hidup kita ini adalah karena mereka mengingatkan kita tentang siapa kita.

Selama tahun-tahun pembentukan inilah kita membuat banyak keputusan penting yang mengubah hidup, memulai hubungan jangka panjang yang signifikan dan membangun kepercayaan budaya dan politik yang membentuk identitas kita.

Sistem memori otak paling efisien terjadi selama masa remaja akhir dan awal masa dewasa

Reminiscence bump menjelaskan kenapa saya pribadi, sekeras apapun berusaha mendengarkan begitu banyak musik baru, akan selalu kembali ke musik yang saya dengarkan kala remaja. Seliar apapun saya berusaha mendengarkan The Comet Is Coming, atau Ela Minus, atau Okidoki, atau The Mars Volta, atau Sharon Van Etten, saya akan selalu kembali kepada Red Hot Chili Peppers, Nirvana, Incubus, Korn, Linkin Park, Pas Band, serta Sheila On 7.

Kenapa? Karena tidak dapat dimungkiri, beberapa musisi yang disebutkan terakhir yang membentuk jati diri saya di masa remaja di Lereng Lawu sana, dan musik mereka bercokol kuat, sampai sekarang di usia kepala tiga lebih.

Di satu sisi reminiscence bump yang menyebabkan kita terjebak dalam musical paralysis ini ada baiknya. Kita bisa menyimpulkan bahwa musical paralysis adalah mekanisme alami tubuh agar tetap waras dan berada di jalur paling aman.

Maksudnya, terkadang terlalu banyak pilihan itu tidak baik, kan. Bikin kita pusing dan sibuk terus menerus menjelajahi berbagai musik yang dibuat manusia di seluruh penjuru dunia. Musical paralysis menjaga diri kita agar tidak terlampau ambil pusing dengan perkara mengeksplorasi musik baru, dan tetap berada di zona aman dan nyaman.

Namun, di sisi lain, musical paralysis ini adalah hal yang buruk mengingat ada begitu banyak pilihan musik yang menarik di luar sana. Musical paralysis menjadikan kita bak katak dalam tempurung, atau manusia di gua Socrates yang tidak tahu bahwa di luar sana ada banyak hal-hal menakjubkan terjadi, ada banyak musik-musik dahsyat eksis.

Sebagai seorang musisi dan penulis musik, saya pribadi berusaha melawan musical paralysis ini dengan cara memaksa diri agar mau mendengarkan musik-musik baru di luar selera musik yang kadung bercokol di benak saya. Memang ada kalanya saya terjebak di genre grunge atau rock. Namun, di lain kesempatan saya selalu berusaha mendengarkan genre lain seperti pop, jazz, dan lain sebagainya.

Ibarat sebuah upaya melupakan mantan, ini tentu bukan hal yang mudah. Saya harus berjuang melawan sebuah mekanisme alamiah tubuh. Berupaya move on dari apa yang sangat kita cintai adalah sesuatu yang berat untuk dilakukan.

Musical paralysis menjadikan kita bak katak dalam tempurung, atau manusia di gua Socrates

Tetapi ini bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Dengan melawan musical paralysis dan keluar dari tempurung yang mengungkung, kita akan terkejut ketika menemukan bahwa ternyata ada begitu banyak musik bagus di luar sana.

Ibaratkan saja prosesi mendengarkan musik sebagai aktivitas makan. Dalam ihwal makanan kita tentu telah memiliki selera akan satu jenis makanan tertentu. Kita merasa bahagia jika menyantap makanan itu, dan merasa nelangsa jika harus makan makanan di luar selera kita. Namun, tentu akan ada satu titik ketika kita bosan dengan makanan selera kita itu. Di kala itulah kita akan memberanikan diri mencoba makanan lain di luar selera kita.

Demikian juga dengan mendengarkan musik. Sesuka apapun kita dengan satu musik yang menjadi selera kita, akan ada titik ketika kita merasa bosan dan jenuh dengan musik itu. Di saat inilah kita bisa memanfaatkannya dengan mendengarkan musik-musik baru di luar selera kita.

Pasar bisa diciptakan kalau kata Cholil Mahmud dan Efek Rumah Kaca. Selera bisa diciptakan kalau kata saya.

Jadi, apa musik era remajamu yang masih bercokol kuat hingga sekarang? Apakah kamu masih kukuh hanya mau mendengarkan musik itu? Atau berani keluar dari seleramu dan mencoba musik baru?

 

____

Penulis
Aris Setyawan
Etnomusikolog dan musikus. Co-founder dan editor Serunai.co. Bercerita di arissetyawan.com.
1 Comment
Inline Feedbacks
View all comments
Pancasona Muji akbar
Pancasona Muji akbar
3 years ago

Tulisannya menarik, dan sedang saya alami :). Di usia 16-29 saya selalu rajin mengeksplor musik2 baru dari dalam dan luar negeri. Lalu setelah itu kejenuhan datang dengan sendirinya dan lebih sering disuapi musik2 baru oleh reviewer/jurnalis musik yg seadanya. Sekarang masih berjuang mendengarkan musik baru walau ujung-ujungnya yg didengarkan itu-itu lagi. 😀

Eksplor konten lain Pophariini

Sambut Album Perdana, Southeast Rilis Single By My Side

Band R&B asal Tangerang bernama Southeast resmi merilis single dalam tajuk “By My Side” hari Rabu (13/11). Dalam single ini, mereka mengadaptasi musik yang lebih up-beat dibandingkan karya sebelumnya.     Southeast beranggotakan Fuad …

Perantaranya Luncurkan Single 1983 sebagai Tanda Cinta untuk Ayah

Setelah merilis single “This Song” pada 2022 lalu, Perantaranya asal Jakarta Utara kembali hadir dengan single baru “1983” (08/11). Kami berkesempatan untuk berbincang mengenai perjalanan terbentuknya band ini hingga kisah yang melatarbelakangi karya terbaru …