Ketika Musik Protes, Era Kritis dan Revolusioner Musisi Berakhir

Jul 20, 2023

Di dalam buku 33 Revolutions Per Minute, jurnalis dan kritikus musik Dorian Lynskey membahas mengenai sejarah musik protes. Salah satu pernyataan penting yang Lynskey lontarkan di buku ini adalah mengenai relevansi musik protes terhadap kondisi dunia. Lynskey menulis seperti ini:

“Apakah musik protes benar-benar memiliki kekuatan untuk mengubah pikiran, apalagi kebijakan? Apakah musik protes, pada dasarnya, sebuah bentuk seni yang mengagumkan dan diperlukan atau hanya seni yang buruk dan hiburan yang buruk?”

Dua pertanyaan yang dilontarkan kritikus musik untuk The Guardian ini penting karena benar-benar menyentuh peran utama dari musik. Karena selain sebagai sebuah bentuk hiburan, musik—terutama yang dilabeli musik protes—juga digunakan sebagai media penyampaian pesan-pesan kritis mengenai kondisi sosial politik di seluruh penjuru dunia.

Apakah musik protes, pada dasarnya, sebuah bentuk seni yang mengagumkan dan diperlukan atau hanya seni yang buruk dan hiburan yang buruk

Di Indonesia misalnya, ada banyak musisi yang menggunakan musiknya sebagai senjata mengkritik pemerintah dan kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat, atau membahas fenomena sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Daftar musisi yang menggunakan musik sebagai media protes akan sangat panjang jika dituliskan semuanya. Maka, kita hanya akan membahas tiga musisi ini saja sebagai contoh karena ketiganya lah yang bisa kita anggap paling terkenal, dan pada masa lampau mereka dikenal sebagai musisi yang enggak punya rasa takut dan tanpa tedeng aling-aling kerap bikin geram penguasa yang lalim terhadap rakyat. Ketiganya adalah Slank, Iwan Fals, dan Marjinal.

Pertanyaan-pertanyaan di atas memunculkan pernyataan tesis: ada baiknya kita menggali perubahan pendekatan sosial dan politik dalam karya dan kehidupan sehari-hari musisi terkenal ini, dari sikap yang tajam dan revolusioner menjadi lebih halus dan menyeluruh.

Kenapa pernyataan tesis ini harus digali? Karena banyak orang yang menganggap ketiga musisi ini sudah tidak sekritis dulu, dan karya-karya musiknya mengalami perubahan tema yang sangat signifikan, dari tajam dan revolusioner menjadi lebih melunak.

Mereka dikenal sebagai musisi yang enggak punya rasa takut dan tanpa tedeng aling-aling kerap bikin geram penguasa yang lalim terhadap rakyat. Ketiganya adalah Slank, Iwan Fals, dan Marjinal

Memangnya sekritis apa musik mereka di masa lampau? Dan apa dampak sosial dan politik yang dihasilkan musik mereka? Mari kita bahas satu per satu.

Pertama, Slank. Di era 90an sampai awal 2000an, Slank dikenal sebagai musisi yang cukup kritis mengkritik pemerintah, dan menyampaikan kondisi sosial politik Indonesia di musiknya. Dalam lagu semacam “Siapa Yang Salah”, “Seperti Para Koruptor”, “Gossip Jalanan”, atau “Aktor Intelektual”, Slank dengan bernas dan berani mengkritik politisi Indonesia yang bermasalah, atau fenomena sosial seperti kerusuhan 1998 yang meluluhlantakkan banyak tatanan kehidupan warga Indonesia.

Namun, banyak penggemar Slank—setidaknya mereka yang menyampaikan pendapatnya di utas cuitan ini—menganggap Slank yang kritis itu mentok di album Mata Hati Reformasi (1998), dan album dobel 999+09 (1999). Setelahnya, Slank melunak. Lagu-lagu mereka lebih banyak bicara mengenai kisah asmara, atau remeh temeh kehidupan lainnya.

Namun, banyak penggemar Slank menganggap Slank yang kritis itu mentok di album Mata Hati Reformasi (1998), dan album dobel 999+09 (1999). Setelahnya, Slank melunak.

Dilansir dari Hai, penabuh drum Slank, Bimbim menyatakan bahwa sikap politik Slank di era sekarang tentu saja tidak bisa disamakan dengan sikap mereka pada medio 90an. Wajar jika mereka berubah.

“Sikap politik gue di tahun 1997 sama 2021 jelas enggak bisa disamakan. Musuhnya beda, kondisinya beda,” jelas Bimbim.

Beberapa tahun ini, Slank banyak mendapat sorotan mengenai sikap politik yang berubah melunak ini. Pada pemilu 2019, Slank melalui Bimbim menyatakan bahwa “Golput itu cemen.” Bahwa setiap orang harus turut urun suara memilih calon pemimpin di pemilihan umum (pemilu). Pernyataan ini tentu bikin berang mereka-mereka yang sudah tidak percaya dengan para politisi, partai politik, dan politik elektoral lima tahunan bernama pemilihan umum.

Slank kembali menjadi sorotan ketika pada 2021, gitaris mereka Abdee Negara diangkat menjadi komisaris Telkom. Sejumlah laporan menyebutkan, Abdee ‘Slank’ disebut terlibat dalam tim relawan mendukung Joko Widodo dalam Pilpres 2014 dan 2019. Maka, pengangkatan Abdee menjadi komisaris salah satu BUMN itu dianggap sebagai politik balas jasa, bukan karena kompetensinya.

Belakangan Slank kembali menjadi buah bibir setelah merilis sebuah single baru bertajuk “Polisi yang Baik Hati.” Lini masa media sosial kemudian banjir kritikan oleh warganet kepada Slank. Ini karena isi lirik lagu ini yang penuh puja-puji setinggi langit terhadap insitusi kepolisian. Padahal, belakangan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri cukup rendah. Bahkan sampai muncul tagar #PercumaLaporPolisi yang kerap menjadi trending topic setiap kali lembaga kepolisian bermasalah atau tidak secara profesional menangani kasus-kasus tertentu.

Slank sampai mendapat julukan sebagai “band pelat merah” karena melunaknya sikap politik mereka dan kedekatan mereka dengan rezim.

Bimbim menyatakan bahwa sikap politik Slank di era sekarang tentu saja tidak bisa disamakan dengan sikap mereka pada medio 90an. Wajar jika mereka berubah.

Kedua, Iwan Fals. Barangkali ia adalah musisi yang paling terkenal memiliki lagu-lagu protes yang sangat berani mengkritik berbagai kebijakan pemerintah dan fenomena sosial. Siapa bisa menafikan keampuhan lagu “Bongkar” yang dirilis Iwan bersama grup Swami pada 1989? Lalu lagu “Sore Tugu Pancoran” (1985) yang menggambarkan keberpihakan Iwan Fals terhadap nasib anak-anak bangsa yang menderita akibat dipaksa mencari kerja.

Ada lagi “Surat buat Wakil Rakyat” (1987) sebagai kritik terhadap kinerja para wakil rakyat yang duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jangan lupakan “Tikus-Tikus Kantor” (1993) sebagai lagu sindiran atas budaya korupsi saat itu, dan sesungguhnya lagu itu masih relevan dengan kondisi kekinian.

Siapa bisa menafikan keampuhan lagu “Bongkar” yang dirilis Iwan bersama grup Swami pada 1989? Lalu lagu “Sore Tugu Pancoran” (1985) yang menggambarkan keberpihakan Iwan Fals terhadap nasib anak-anak bangsa yang menderita akibat dipaksa mencari kerja

Tiga lagu yang disebutkan sebelumnya diciptakan musisi yang bernama asli Virgiawan Listanto ini pada zaman Orde Baru berkuasa. Namun, pascareformasi sebenarnya Iwan Fals masih sempat menggubah album Manusia Setengah Dewa (2004) dengan lagu seperti “Asik Ga Asik” yang dengan gagah berani berujar “Dunia politik dunia binatang, dunia hura-hura para binatang.”

Masa-masa kritis trubadur yang memiliki markas di Leuwinanggung, Jawa Barat ini seiring berjalannya waktu juga makin memudar. Iwan Fals melunak.“Bongkar” yang sakti tiba-tiba berubah menjadi slogan untuk iklan salah satu merek kopi instan, Iwan juga tidak lagi pilih-pilih panggung, ia tercatat pernah berdiri sepanggung dengan gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, lagu-lagu Iwan pun lebih banyak bicara ihwal romansa atau percintaan seperti lagu “Ijinkan Aku Menyayangimu”, “Aku Bukan Pilihan”, atau “Kumenanti Seorang Kekasih.”

Ketiga, Marjinal. Salah satu band pengusung punk paling termasyhur di Indonesia ini terbentuk pada 1997 dan sebelumnya bernama AA (Anti ABRI) dan AM (Anti Militerisme). Dari nama lama mereka saja sudah menunjukkan sikap politik mereka: anti Orde Baru yang otoritarian, serta anti terhadap tentara, (sebelum bernama Tentara Nasional Indonesia atau TNI, di zaman Orde Baru angkatan bersenjata Indonesia bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau ABRI).

“Bongkar” yang sakti tiba-tiba berubah menjadi slogan untuk iklan salah satu merek kopi instan, Ia juga tidak lagi pilih-pilih panggung, ia tercatat pernah berdiri sepanggung dengan gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, lagu-lagunya pun lebih banyak bicara ihwal romansa atau percintaan

Kenapa Mike Marjinal dan kawan-kawan sebelumnya menamai band mereka Anti ABRI dan menunjukkan sikap yang anti militerisme? Ini karena di era saat Soeharto berkuasa, ABRI menganut Dwifungsi. Artinya, selain sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan negara, ABRI juga merupakan kekuatan sosial-politik, dan dengan dwifungsi ini, ABRI menjadi instrumen yang digunakan Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan mereka selama 32 tahun, dan merepresi siapa pun yang berusaha subversif terhadap kekuasaan itu.

Marjinal menjadi bahan perbincangan tatkala beredar foto Mike Marjinal tengah bersalaman dengan Moeldoko, pengusaha, politikus, dan purnawirawan perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang saat ini menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan Indonesia. Foto tersebut dianggap menunjukkan bahwa Marjinal telah mencederai kesakralan slogan “anti militerisme” yang dulu mereka gaungkan. Marjinal telah berdamai dengan militer, musuh yang mereka kritik di masa lalu.

Ketiga, Marjinal. Salah satu band pengusung punk paling termasyhur di Indonesia ini terbentuk pada 1997 dan sebelumnya bernama AA (Anti ABRI) dan AM (Anti Militerisme). Dari nama lama mereka saja sudah menunjukkan sikap politik mereka

Berkaca dari kisah tiga musisi Indonesia yang dikenal sebagai musisi kritis namun dituding melunak ini, kita bisa mengkaitkannya dengan pertanyaan Dorian Lynskey di atas: Apakah musik protes benar-benar memiliki kekuatan untuk mengubah pikiran, apalagi kebijakan? Atau jangan-jangan musik protes memang hanya sebentuk hiburan yang setali tiga uang dengan musik pop niaga misalnya, yang liriknya menye-menye menceritakan kisah asmara sejoli?

Lalu, ada baiknya kita menggali perubahan pendekatan sosial dan politik dalam karya dan kehidupan sehari-hari tiga musisi terkenal ini, dari sikap yang tajam dan revolusioner menjadi lebih halus dan menyeluruh.

Tentu sah-sah saja bagi Slank, Iwan Fals, dan Marjinal untuk mengubah sikap politik mereka, haluan bermusik mereka, dan materi lagu-lagu yang mereka ciptakan. Kita tidak bisa melarang-larang mereka karena sikap politik adalah hak prerogatif sang musisi, hak yang menjadi kuasa penuh mereka dan tidak bisa diganggu-gugat. Kita tidak bisa dengan semena-mena menuding mereka sudah tidak kritis dan revolusioner, lalu memaksa mereka tetap berpandangan politik sama dengan apa yang mereka koarkan beberapa dekade silam.

Jangan-jangan musik protes memang hanya sebentuk hiburan yang setali tiga uang dengan musik pop niaga misalnya, yang liriknya menye-menye menceritakan kisah asmara sejoli?

Zaman sudah berubah. Jawaban atas pertanyaan Dorian Lynskey adalah musik protes bukan sekadar bentuk hiburan murah. Musik protes memiliki kekuatan untuk mengubah pikiran. Musik protes akan selalu ada dan hadir di setiap zaman.

Maka, ketika zaman berubah, ketika era kritis dan revolusioner musisi seperti Slank, Iwan Fals, dan Marjinal berakhir, tetap akan ada musisi di angkatan lebih muda yang menyuarakan kritik pedas pada penguasa dan membela kaum papa di akar rumput.

Sebagai pendengar musik, yang kita bisa lakukan apabila kita sudah merasa jengah dengan musisi yang sikap politiknya berubah itu adalah dengan meninggalkan mereka. Tak usah dengarkan lagi karya mereka dan menonton konser mereka jika memang sudah tidak suka, tak perlu rasanya memaksa mereka kembali menjadi ikon perlawanan di saat mereka sudah meneguhkan sikap politiknya menjadi lebih melunak.

Sebagai pendengar musik, yang kita bisa lakukan apabila kita sudah merasa jengah dengan musisi yang sikap politiknya berubah itu adalah dengan meninggalkan mereka. Tak perlu rasanya memaksa mereka kembali menjadi ikon perlawanan di saat mereka sudah meneguhkan sikap politiknya menjadi lebih melunak

Toh di era sekarang masih banyak musisi Indonesia lainnya yang menyuarakan musik protes dan bisa kita dengarkan dan dukung pergerakannya. Efek Rumah Kaca, Morgue Vanguard, Dendang Kampungan, Navicula, Oscar Lolang, Teknoshit, untuk menyebut beberapa di antaranya.

Beberapa hari yang lalu, ketika mengetahui Slank merilis lagu “Polisi yang Baik Hati” dalam rangka perayaan ulang tahun Bhayangkara ke-77, saya langsung dengan naif dan gegabah mengulas lagu itu sebagai “lagu kitsch penjilat murahan” yang jelek. Dalam cuitan di Twitter, saya langsung menyuruh Slank bubar dan pensiun saja daripada tetap ngeband namun menciptakan lagu jelek yang jadi bahan tertawaan para pendengar musik. Saat menulis esai ini, saya memikirkan ulang pernyataan saya tersebut. Ya, saya harus mengakui bahwa saya naif dan bodoh karena memaksakan kehendak saya dengan menyuruh Slank bubar.

Di sini saya berpikir bahwa kalau tidak suka dengan lagu “Polisi yang Baik Hati” karena menglorifikasi salah satu institusi paling bermasalah di negeri ini, ya sudah tinggalkan saja Slank! Tidak usah dengarkan lagunya! Boleh lah mengkritik, tapi tak usah memaksa. Biarkan mereka berjalan di jalan mereka sendiri, dan kita berjalan di setapak kecil kita untuk tetap mencipta atau mendengarkan musik protes yang kritis dan revolusioner. Menurut hemat saya ini akan lebih baik agar kita tetap waras dan tidak pusing terjebak di paradoks berubahnya haluan dan pandangan politik para musisi yang era kritis dan revolusionernya sudah berakhir tersebut.

 


 

Penulis
Aris Setyawan
Etnomusikolog dan musikus. Co-founder dan editor Serunai.co. Bercerita di arissetyawan.com.
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

Vinyl The Jansen Keluaran 4490 Records dan Demajors, Ini Dia Perbedaan Keduanya

The Jansen merilis album ketiga Banal Semakin Binal dalam format vinyl hari Jumat (26/04) via jalur distribusi demajors. Beberapa hari sebelumnya, band lebih dulu merilis dalam format yang sama melalui 4490 Records, sebuah label …

Inis Rilis Album Mini Berbahasa Indonesia Pertama

Berjarak hampir 2 tahun dari perilisan single “D.A.D”, Inis akhirnya kembali dengan materi anyar berupa album mini berjudul Rumah & Seisinya yang dilepas hari Jumat (19/04). Album berisi 3 lagu ini merupakan karya perdana …