Lika-Liku Ilustrator Musik Independen Lokal
https://www.instagram.com/p/Bi4-ckGlnsj/?utm_source=ig_web_copy_link
Problematika Perupa
Karena pada akhirnya kalau berbicara wilayah apresiasi, tak melulu meninjau urusan teknis, atau dalam bahasa Yunani, techne, berarti keterampilan. Tak kalah pentingnya, urusan perut. Karena itu dampak paling riil dalam sebuah apresiasi. Kalau karya-karya kreatif tersebut tidak “dihargai”, jangan lah kita ngomong-ngomong soal apresiasi.
Problematika dunia rupa musik ini sendiri memang sudah muncul dari awal “habitatnya”. Dunia rupa musik juga akhirnya menjadi dunia yang selalu berada “ di antara”. Boleh dikatakan, dunia rupa musik ini “setengah desain grafis setengah seni rupa kontemporer”. Karena kalau berbicara tentang seni rupa kontemporer, rupa musik ini tentu bukan berada di wilayah medan sosial seni kontemporer itu sendiri. Karya-karya rupa musik ini bukan sesuatu yang sering dipajang di galeri seni dan dikoleksi oleh para kolektor seni rupa. Sedangkan rupa musik ini juga bukan melulu berada di wilayah desain grafis yang cenderung “client-based”. Bahkan wacana-wacana perupa musik juga berada di luar asosiasi desain grafis itu sendiri.
Dunia rupa musik akhirnya menjadi dunia yang selalu berada “ di antara”: “setengah desain grafis setengah seni rupa kontemporer”
Dari diskusi itu, setidaknya ada dua faktor yang saya tangkap. Saya akan membaginya secara sederhana, faktor internal dan faktor eksternal. Secara internal, faktor tersebut melingkupi mentalitas, mindset, disiplin diri, dan wawasan perupa musik itu sendiri. Dari beberapa kasus, banyak perupa musik ini justru tidak “menghargai dirinya sendiri”. Juga mereka tidak memiliki kecakapan atau ketertarikan untuk belajar bisnis musik. Sementara faktor eksternal antara lain, belum tersambungnya pasar antara kebutuhan industri dengan perupa musik, juga belum pahamnya pihak band, label rekaman, atau brand yang mengerti dunia rupa musik, hingga pembajakan karya mereka dan tidak transparansinya soal royalti.
Sekelumit persoalan itu akhirnya yang menjadi gunung es jika kita berbicara apresiasi terhadap karya-karya perupa musik.
Karena buruknya, beberapa perupa musik ini seringkali menjual karya-karya mereka kepada band atau label rekaman di luar negeri. Alasannya daya tawar dari mereka lebih tinggi daripada pelaku lokal. Pada akhirnya pula mereka mengakali diri mereka untuk terus “survive”.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
5 Band Punk Indonesia Favorit MCPR
Dalam perhelatan Festival 76 Indonesia Adalah Kita di Solo, kami menemui band punk-rock asal tuan rumah, MCPR sebagai salah satu penampil untuk mengajukan pertanyaan soal pilihan 5 band punk Indonesia favorit mereka. Sebelum membahas …
Fraksi Penemu Sepeda Bercerita tentang Hobi di Single Gocapan
Setelah merilis single “Olahgaya” 2023 lalu, Fraksi Penemu Sepeda asal Bogor resmi meluncurkan karya terbaru berupa single dalam tajuk “Gocapan” hari Rabu (23/10). Lagu ini menceritakan serunya pengalaman bersepeda sambil mencari sarapan pagi. …