Lika-Liku Ilustrator Musik Independen Lokal

Sep 6, 2018

Foto: Ache Sulaeman

Menurut saya, ada beberapa pendekatan yang kemudian akhirnya menjadi cara “survive” para perupa musik ini. Pada tataran mindset ini, pada akhirnya para perupa musik ini harus terdorong membuat karya rupa dari sesuatu yang bersifat “client-based” (permintaan klien) menjadi sesuatu yang bersifat “product-based” (membuat produk). Karena kalau mengandalkan permintaan klien, saat ini tak bisa disangkal terjadi kompetisi antar perupa musik ini.

Beberapa perupa musik tampak memang sudah mengembangkan “product-based” ini seperti yang dilakukan oleh Arian 13 lewat brand Lawless, Amenkcoy dengan Sleborz, dan Morrg dengan Manstrale. Karena dunia rupa musik ini bukan wilayah medan sosial seni kontemporer, sehingga aplikasi yang lebih relevan memang lebih kepada dunia budaya popular lewat produk-produk merchandise yang masif. Beberapa produk yang bisa dimanfaatkan tak jauh dari dunia subkultur grafis itu sendiri semacam kaus merchandise, zines, dan buku artwork. Apresiasi publik pun pada akhirnya muncul dari produk-produk perupa musik ini.

banyak perupa musik ini tidak memiliki kecakapan atau ketertarikan untuk belajar bisnis musik.

Selain soal mindset, tak kalah pentingnya memang soal wawasan mengenai entrepreneur dan bisnis. Biasanya anak seni dan desain sudah malas kalau berurusan dengan hal ini. Jika para perupa musik ini memiliki manajemen atau organisasi memang urusan ini bisa ditugaskan kepada mereka. Namun, karena kebanyakan para perupa musik ini justru para pekerja paruh waktu (freelance) yang bekerja mandiri maka persoalan ini pun dilakukan oleh mereka sendiri.  Karena pada beberapa kasus, belum adanya standardisasi fee membuat dunia ilustrasi seperti hutan rimba, di mana prinsip siapa yang lebih kuat (maksudnya lebih popular dan koneksi luas) bisa “bertahan”. Sehingga kemampuan membaca pasar, membaca kontrak, bernegosiasi, hingga menetapkan standar biaya jasa yang pas. Jangan sampai juga klien merasa kemahalan terus kabur, tapi jangan juga menjadi kemurahan sehingga cenderung eksploitatif.

Keberadaan galeri alternatif dan organisasi atau kolektif untuk mendukung kepentingan para perupa musik itu sendiri menjadi hal yang cukup penting. Para perupa musik ini merupakan “setengah seniman setengah desainer grafis” sehingga cenderung berada di luar asosiasi seni maupun asosiasi desain grafis. Meski saat ini dunia seni rupa kontemporer cenderung terbuka pada beragam jenis aliran seni, namun tetap saja di dunia seni ada medan sosialnya dan mainstreamnya sendiri. Para perupa musik ini memang beberapa kali mengikuti pameran seni di galeri. Yang jadi persoalan, karya rupa musik ini tentu bukan karya yang cenderung diburu dan dikoleksi oleh para kolektor seni. Karya-karya rupa musik ini harus selalu menjadi “alternatif” dalam dunia seni.

Kehadiran galeri-galeri alternatif memang dapat menjadi solusi dalam memberikan edukasi dan apresiasi kepada para perupa musik ini. Di Bandung, beberapa tahun lalu, sempat ada World’s End Gallery yang menjadi salah satu tempat komunitas perupa musik ini berpameran dan berkumpul. Meski persoalan berikutnya yaitu pengembangan pasar di dalam dan luar negeri. Apakah perlu adanya semacam agensi atau asosiasi untuk menciptakan pasar baru (new market) para perupa musik ini.

Tak kalah pentingnya jika berbicara apresiasi yaitu menghargai diri sendiri dengan layak. Karena hanya para perupa musik itu sendiri yang bisa menilai karyanya seberapa. Kita tak bisa berharap pada apresiasi orang lain, jika kita sendiri masih tidak mampu mengapresiasi dan menghargai karya dan jerih payah kita sendiri.

 

_____

1
2
3
4
Penulis
Idhar Resmadi
Nama Idhar Resmadi sudah dikenal di kalangan jurnalis musik tanah air. Music Records Indie Label (2008), Kumpulan Tulisan Pilihan Jakartabeat.net 2009-2010 (2011), dan Based on A True Story Pure Saturday (2013) adalah karya yang sudah ia rilis. Selain itu, ia juga merupakan peneliti lepas, pembicara, moderator, atau pemateri untuk bahasan musik dan budaya.

Eksplor konten lain Pophariini

5 Band Punk Indonesia Favorit MCPR

Dalam perhelatan Festival 76 Indonesia Adalah Kita di Solo, kami menemui band punk-rock asal tuan rumah, MCPR sebagai salah satu penampil untuk mengajukan pertanyaan soal pilihan 5 band punk Indonesia favorit mereka. Sebelum membahas …

Fraksi Penemu Sepeda Bercerita tentang Hobi di Single Gocapan

Setelah merilis single “Olahgaya” 2023 lalu, Fraksi Penemu Sepeda asal Bogor resmi meluncurkan karya terbaru berupa single dalam tajuk “Gocapan” hari Rabu (23/10). Lagu ini menceritakan serunya pengalaman bersepeda sambil mencari sarapan pagi.   …