Memahami Lima Album Tesla Manaf/Kuntari

Apr 19, 2022
Tesla Manaf Kuntari

Tesla Manaf atau Kuntari adalah musisi Indonesia yang mengawali kariernya sebagai gitaris jazz, sebelum kemudian belakangan ini menekuni musik elektronik eksperimental. Perjalanan musiknya terbentang lebih dari sepuluh tahun, melahirkan beraneka album yang masing-masing memiliki keunikan. Nyaris pada setiap albumnya, Tesla menawarkan hal-hal baru yang membuat musiknya tidak bisa didefinisikan dalam satu genre saja.

Dalam tulisan ini, saya akan mencoba mengulas secara singkat lima album dari Tesla Manaf/Kuntari. Mengulas musik, bagi saya, bukanlah perkara sederhana. Atas dasar itu, sebelum masuk pada pokok pembahasan album Tesla Manaf/ Kuntari, saya akan mencoba menjabarkan terlebih dahulu beberapa versi dari usaha mengapresiasi suatu karya musik.

Pertama, kita bisa mendekatinya dengan setia pada aspek musikal itu sendiri, yang salah satunya didukung oleh gagasan Eduard Hanslick yang menolak pembahasan musik dengan cara mengurai hal-hal di luar musik (ekstramusikal). Bagi Hanslick, membicarakan musik artinya murni membicarakan melodi, ritmik, harmoni, bagan, progresi, pergerakan, dan tidak membahas hal-hal seperti proses kreatif, biografi musisi, atau latar belakang sejarah. Pendek kata, musik, bagi Hanslick, adalah musik itu sendiri.

Kedua, bisa saja kita tidak perlu menganalisisnya, dan hanya mendengarkan, lalu menceritakan kesan-kesan apa yang ditimbulkannya. Biasanya, apresiasi berbasis impresi ini bisa berupa ujaran seperti, “Musiknya mengingatkan saya pada …”, “Lagu ini membawa saya pada …” Sebenarnya sah-sah saja, tetapi ada persoalan lain: impresi tersebut sangat tergantung dari pengalaman subjektif, dan bisa jadi tidak berpijak pada musik itu sendiri.

Misalnya, jika musik Tesla Manaf/Kuntari memberikan kesan horor, mengingatkan kita pada film-film menyeramkan, maka yang terjadi adalah kita luput menyimak si musik, dan langsung “melemparkannya” pada pengalaman menonton film horor yang bisa jadi bersifat asosiatif secara kebetulan.

Seperti halnya saat kita mendengarkan musik klasik, taruhlah, karya-karya Joseph Haydn, maka kesan kita langsung teringat acara makan-makan para bangsawan. Pertanyaannya: bukankah musik Haydn itu sendiri tidak bisa disempitkan menjadi sekadar “musik yang mengingatkan kita acara makan-makan para bangsawan”? Bisa jadi, justru apa yang kita tonton itulah yang mereduksi pengalaman kita dalam mengapresiasi musik Haydn.

Itulah beberapa kemungkinan (dari banyak kemungkinan) dalam mengapresiasi musik, yang bagi saya, penting untuk dijabarkan terlebih dahulu sebagai “pertanggungjawaban”. Manakah yang akan saya pakai? Keduanya penting (dan bahkan mungkin dengan cara ketiga, keempat, dan lainnya), tapi akan dilakukan secara hati-hati. Sekarang, mari mengulas beberapa album Tesla Manaf/Kuntari.

 

It’s All Yours (2011)

It’s All Yours didominasi oleh permainan gitar jazz Tesla Manaf, yang di dalamnya sering dimunculkan suara-suara gamelan Bali untuk memberi kesan interkultural. Tesla Manaf tampak menyusun konsep karya-karya dalam album ini dengan apik – bukan tipikal permainan jazz yang hanya membuat tema, sementara sisanya diserahkan sepenuhnya pada spontanitas improvisasi. Meski demikian, kita tetap bisa mendengarkan Tesla berimprovisasi dalam album ini dengan porsi yang wajar.

Terdapat kesan bahwa Tesla memang masih ingin menonjolkan diri sebagai “jagoan gitar jazz” dalam album ini, meski akar-akar eksperimentalnya sudah mulai tampak (seperti usahanya dalam Part 6 dengan menyuguhkan nyanyian tanpa lirik). Selain itu, kemampuan Tesla dalam menyusun konsep juga salah satunya terlihat dari cukup banyaknya tutti (permainan melodius secara serentak/ berbarengan) yang ada pada hampir seluruh karya dalam album.

Mungkin sedikit hal yang mengganjal, bahwa keberadaan gamelan Bali di sini lebih seperti “tempelan”, untuk memberi kesan “ke-Timur-an”, tetapi sebenarnya hanya menumpang di “gerbong musik jazz” yang sudah solid. Jika kita membicarakan aspek ekstramusikal: untuk ukuran album di awal-awal karir Tesla Manaf, di usia awal 20-an-nya, ini sudah sebuah upaya yang brilian, di tengah lingkungan gitaris jazz sebaya di sekelilingnya yang mungkin masih senang “ke-Amerika-Amerika-an” dalam bermain.

 

A Man’s Relationship with His Fragile Area (2014)

Tesla Manaf membuka album ini dengan kemampuan gitarnya yang mampu mengikuti gaya tutur seseorang selama 44 detik. Rupanya, “gaya tutur” tersebut menjadi tema penting dalam album A Man’s Relationship with His Fragile Area yang terdiri dari delapan nomor. Hul Hul (klarinet) tampil brilian dalam mengimbangi dialognya dengan permainan gitar Tesla, dengan bersahut-sahutan tanpa henti hampir di seluruh karya.

Hal yang menarik dari kecenderungan Tesla pada album ini adalah usahanya untuk terus menerus membuat distraksi, kejutan, yang enggan membuat pendengarnya masuk pada pola yang sama. Misalnya, pada karya Multiply by Zero, meski pada mulanya terdengar “matematis”, tapi ada “kejutan mikro” di dalamnya, yang membuat pendengar yang tidak siap akan senantiasa gagal dalam “menghitung”.

“Dialog” memang menjadi kata kunci penting dalam memahami karya Tesla Manaf dalam album ini, tetapi bukan dialog dalam artian call and response, seperti tanya jawab, tetapi kadang bisa seperti dua orang yang cerewet, tidak mau mengalah, menunjukkan siapa yang lebih lantang, fasih, seperti dalam The Sweetest Horn, kala gitar dan klarinet seperti dibiarkan bertabrakan, membentuk ekuilibriumnya sendiri dalam “kekacauan”.

Selain itu, dalam nomor Moving Side, Tesla Manaf kembali memasukkan strategi interkulturalnya dengan memasukkan suara saluang yang menariknya, terdengar lebih merasuk dan tidak sekadar tempelan. Mungkin karena sedari awal, karya-karya ini sudah dibiarkan menggeliat, berbicara dengan karakternya sendiri, sehingga kita lebih “terbiasa” saat menerima “yang asing”. Jangan dilupakan juga peran drum di sini yang tidak hanya bertugas menjaga ritmik, tapi ikut ngobrol, nimbrung.

 

Toija (2018)

Toija kelihatannya adalah transisi dari Tesla Manaf ke Kuntari. Tesla Manaf mulai berusaha lepas dari kesan musik yang representatif dan naratif, untuk mulai menyuguhkan Sensasi. Setidaknya terlihat dari bagaimana ia menjuduli karya dengan angka-angka (628, 744, 903) alih-alih kata-kata yang cenderung membuat pendengar mengasosiasikan bunyi-bunyian dengan suatu konsep yang terhubung dengan realitas.

Tesla Manaf dalam album Toija ini mulai dominan dengan eksperimen elektronik. Rasa-rasanya, porsi bermain gitar sudah sangat dikurangi (hanya terdengar kental di karya 818, sedikit di 565). Tesla masih mempertahankan kekuatannya untuk melepaskan diri dari “keklisean” dengan terus menerus memberi kejutan (seperti pada 60), meski pada beberapa karya, drum tetap dimanfaatkan untuk menjaga ritmik agar setia pada ke-monoton-an.  Pendeknya, mereka yang mengikuti perjalanan bermusik Tesla Manaf, mungkin mulai merasa bahwa pada album ini, ia mulai “hijrah”, meski bibit-bibit eksperimentalnya sudah dipelihara sejak A Man’s Relationship with His Fragile Area.

 

Black Shirt Attracts More Feather (2020)

Album Black Shirt Attracts More Feather adalah album perdana Kuntari, yang menunjukkan transformasi yang lebih matang Tesla Manaf ke arah “kebisingan”. Pada banyak nomor, ia tidak lagi merasa perlu menggunakan landasan ritmik seperti drum, dan membiarkan musiknya “melayang” tanpa bantalan. Di sisi lain, Kuntari juga tidak khawatir dengan ke-monoton-an seperti yang terkesan dalam karya Cephalopore – tidak seperti sebelum-sebelumnya, yang menunjukkan Tesla Manaf seringkali gelisah untuk segera keluar dari pola yang tetap.

Mungkin kesan yang saya peroleh, Black Shirt Attracts More Feather ini lebih “berlapis”, lebih “tebal” ketimbang Toija yang transisi-transisi antar efeknya masih “kasar”. Memang sekilas nomor-nomor dalam album ini terdengar lebih “klise”, tapi efek-efek yang dimunculkan lebih ber-layerlayer, seperti mendengarkan Jazz from Hell-nya Frank Zappa yang meski sekilas terdengar begitu mekanistik, tapi setelah disimak berulang-ulang, ada sensasi baru yang bisa dijelajahi.

 

Last Boy Picked (2021)

Tesla Manaf Kuntari

Album terbaru Kuntari yang baru rilis Desember 2021 kemarin yaitu Last Boy Picked menunjukkan kapasitas Tesla Manaf dalam “melupakan yang sudah-sudah”. Ia tidak lagi punya keinginan untuk mengubah pola-pola secara cepat dan bahkan, dalam nomor pembukanya yaitu Roseate, Kuntari mengajak pendengar untuk hanyut pada ritme yang berulang-ulang, seperti musik minimalisme Philip Glass atau Steve Reich. Ia tidak segan untuk menyajikan efek yang sama terus menerus, seperti orangtua yang konsisten menasihati anaknya tentang kebajikan yang sama.

Dalam salah satu obrolan kami, Last Boy Picked juga ternyata terinspirasi oleh tradisi Hadrah Kuntulan dari Banyuwangi, yang menyajikan musik bernuansa tradisi lokal dibalut gaya Timur Tengah sebagai bagian dari dakwah Syekh Maulana Ishak di abad ke-15. Mood Hadrah Kuntulan ini, kata Tesla, mendasari nyaris seluruh karya dalam Last Boy Picked (selain minimalisme), meski yang kental terasosiasikan langsung mungkin lebih kuat terdengar pada nomor Dark Orange.

Demikian halnya dengan nomor Orchid, yang terdengar seperti repetisi dari nada-nada yang muncul dari instrumen “seperti piano” (sedikit banyak mengingatkan pada Metamorphosis-nya Glass). Orchid memang mempunyai bagan yang kurang lebih seperti musik pop (intro – verse – refrain), tetapi pertimbangan Tesla untuk melakukan looping sehingga muncul efek repetisi menjadi menarik.

Mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya, jika sebuah karya hanya berisi nada-nada yang direpetisi, apa bedanya jika ia dimainkan dengan durasi dua menit ataupun dua puluh menit? Pemilihan durasi bisa jadi bukan perkara sederhana, utamanya dalam karya-karya musik kontemporer. Ambil contoh ekstrem 4’33’’-nya John Cage yang hanya “diam” selama 4 menit 33 detik (catatan, ini sebenarnya bukan tentang diam dalam arti ketiadaan bunyi, tapi lebih pada kemungkinan terbuka tentang bunyi-bunyi apa saja yang akan muncul), ia mengatakan bahwa durasi menjadi elemen musik yang lebih fundamental ketimbang nada (Taruskin, 2009).

Di dalam durasi, seluruh unsur dirangkul, termasuk ketiadaan nada dan bunyi. Saya tidak menanyakan langsung pada Kuntari mengapa ia memilih durasi 2 menit 16 detik untuk karya Orchid yang bernuansa repetitif, tapi hal yang saya yakini, Kuntari, yang teliti dan punya kemampuan presisi yang menakjubkan (yang kemungkinan besar mendalami juga karya-karya Cage) punya pertimbangan tersendiri, mungkin faktor beat, ambang psikis, atau utak-atik numerologis. Yang pasti, tidak mungkin “kebetulan” dan “tanpa alasan”.

***

Jadi, secara umum, bagaimana “memahami” karya-karya Tesla Manaf/ Kuntari? Bagi saya, pertanyaan itu sudah dengan sendirinya keliru. “Memahami” adalah pemilihan istilah yang berbahaya karena pemahaman seolah membatasi pengertian dari aspek kognitif saja.

Tesla Manaf/ Kuntari, jangan-jangan, enggan dipahami, ia ingin agar kita, para pendengarnya, selalu “salah paham” tentang dirinya, bahwa musiknya adalah tentang ini, atau tentang itu, ternyata bukan tentang apa-apa, tapi hanya sekumpulan bunyi yang membuat “pemahaman” kita berubah: bukan tentang musiknya Tesla Manaf/ Kuntari semata, tapi tentang keseluruhan definisi mengenai apa itu musik.

 

 


 

Eksplor konten lain Pophariini

Wawancara Eksklusif Kossy Ng dan Dimas Ario Spotify: Edukasi Stream dan Musik Berbayar Masih Jadi Tantangan Besar

Saat menentukan apa saja yang ingin diangkat untuk KaleidosPOP 2024, tim redaksi Pophariini langsung berpikir soal keberadaan platform streaming musik yang menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan perjalanan band dan musisi di era ini.  …

We Are Neurotic Mempersembahkan Album Mini Terbaru Asian Palms

Trio disco dan jazz asal Jakarta, We Are Neurotic menutup tahun 2024 lewat perilisan album mini terbaru yang diberi nama Asian Palms (13/12) bersama C3DO Recordings sebagai label naungan.     Album Asian Palms …