Menjadi Indonesia: Nasionalisme Banal Ketika Tur Luar Negeri
Nasionalisme Banal
Musisi Indonesia mulai diapresiasi oleh publik luar negeri memang sudah sangat lama. Yang paling fenomenal ketika Dara Puspita melakoni tur Eropa pada Juli 1968 lalu. Sekembalinya ke Indonesia tiga tahun berikutnya, Dara Puspita disambut bak pahlawan. Melakoni tur luar negeri akhirnya menjadi kesempatan menunjukkan eksistensi seluas mungkin.
Salah satu hal yang seringkali dilakukan oleh band-band yang melakoni tur luar negeri yaitu menyematkan bendera merah putih. Entah siapa atau band apa yang pertama kali menyematkan bendera merah putih ketika tampil di panggung-panggung luar negeri. Tapi apa yang saya perhatikan kebiasaan ini agak berbeda ketika band tersebut tampil di festival dalam negeri. Saat di luar negeri, seolah hanya dengan “menempelkan” bendera merah putih, rasa nasionalisme itu memuncak di dada. Inilah sebuah nasionalisme banal yang mengingkatkan identitas kita di tanah asing. Suatu hal remeh temeh yang sebetulnya kerap kita lupakan saat kita berada di Tanah Air. Pada akhirnya, ide mengenai “nasionalisme banal” kini menjadi medium populer untuk mengenalkan “musik Indonesia”.
Entah siapa atau band apa yang pertama kali menyematkan bendera merah putih ketika tampil di panggung-panggung luar negeri.
Apa hubungannya antara gambar bendera merah putih dengan jiwa nasionalisme? Kita mungkin tidak sadar, tapi sebagai sebuah “nasion” identitas kebangsaan itu kerap muncul melalui fenomena yang remeh temeh. Contohnya, beberapa waktu lalu saat ajang Asian Games 2018 lalu sempat beredar sebuah foto pesilat Hanifan Yurdani Kusumah yang merangkul Jokowi dan Prabowo berbalut bendera merah putih. Foto itu seketika menjadi viral. Tensi tinggi akibat tahun politik dengan serta merta menjadi damai dan semua seolah “bersatu” oleh foto viral tersebut. Semua orang mendadak menjadi “nasionalis” dengan memposting foto bendera tersebut.
Konsep “Nasionalisme Banal ini” diperkenalkan oleh Michael Billig (1995) untuk menjelaskan proses reproduksi nasionalisme yang terus menerus, sehari-hari, secara remeh temeh, dan sambil lalu-ringkasnya secara, banal. Billig memakai istilah nasionalisme banal ini untuk dikontraskan dengan fenomena nasionalisme yang lebih kasat mata dan lebih kita kenali yaitu “nasionalisme membara” atau “hot nationalism”, untuk merujuk pada saat-saat khusus ketika perasaan nasionalisme itu membara dan diekspresikan dengan penuh semangat, seperti demonstrasi besar-besaran ketika ada kasus klaim Ambalat oleh Malaysia yang telah memicu reaksi keras masyarakat Indonesia.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Juicy Luicy – Nonfiksi
Lewat Nonfiksi, Juicy Luicy semakin mengukuhkan diri sebagai band pengusung lagu patah hati dengan formula pop R&B yang jitu dan ultra-catchy. Pertanyaannya: sampai kapan mereka akan menjual kisah patah hati kasihan dan rasa inferioritas …
Selat Malaka Resmi Mengeluarkan Album Penuh Perdana
Band asal Medan bernama Selat Malaka resmi mengeluarkan album penuh perdana self-titled hari Jumat (22/11). Sebelumnya, mereka sudah mengantongi satu single “Angin Melambai” yang beredar tahun lalu. View this post on Instagram …