Menyelisik Penipuan Tiket Konser dan Antisipasinya dari Era 70-an

Sep 15, 2023
Tiket Konser

Beberapa bulan lalu, perburuan tiket konser Coldplay terus berlangsung hingga setelah pemesanan resmi ditetapkan. Hal yang sama terjadi pada konser-konser lainnya, semisal Blackpink, Suga BTS, Taylor Swift, dan seterusnya. Pembeli yang tidak mendapatkan kesempatan untuk memesan secara resmi, berbondong-bondong beralih ke para calo [i]. Namun alih-alih berlangsung lancar, terdapat banyak laporan penipuan konser  hingga membuat pihak kepolisian turun tangan. Bahkan Pihak kepolisian hingga pada tahap pemeriksaan pihak penyedia konser [ii]. Kendati hasil kepolisian menyatakan tiada keterlibatan pihak penyelenggara, tetapi hal ini menunjukkan hal yang tidak baik-baik saja. Di mana pengelolaan konser di tanah air belum bisa terlepas dari ihwal penipuan walau perangkat teknologinya berubah dari waktu ke waktu.

Kendati demikian, penipuan yang terjadi pada konser memang bukan hal baru di ekosistem musik kita. Namun bukan berarti negeri ini penuh penipu, melainkan ada saja cara mengakali hal yang berkenaan dengan UUD, alias ujung-ujungnya duit. Alih-alih mendramitisir kesalahan dan berhitung untung rugi, dalam tulisan ini saya justru ingin menatap lebih tentang bagaimana penipuan diatasi. Atas dasar itu, Saya mengambil contoh serupa akan bagaimana penipuan dihadapi. Tepatnya penipuan dan antisipasi yang terjadi pada konser dangdut sekitar 30 hingga 40 tahun silam, pada konser sang raja dangdut, Rhoma Irama.

Antisipasi itu bernama Rolling Show

Sejak Soneta merilis album pertamanya di tahun 1973, Rhoma Irama memiliki jadwal panggung yang padat. Bahkan jadwal panggungnya tetap bergulir ketika Rhoma dilarang tampil di televisi beberapa saat oleh Orde Baru. Pada tahun 2023 saja, Rhoma sudah tampil di pelbagai event, baik acara televisi, konser Deep Purple, festival Ujung-ujungnya Dangdut, Prambanan Jazz Festival, dan lain sebagainya. Hal ini tentu mengejawantahkan akan bagaimana ketenaran Rhoma Irama tak lekang waktu. Namun bukan hal itu yang ingin saya artikulasikan, melainkan jadwal padatnya membuat penonton di daerah tidak dapat menikmati pertunjukannnya langsung secara berkala.

Contoh serupa akan bagaimana penipuan dihadapi tepatnya penipuan dan antisipasi yang terjadi pada konser dangdut sekitar 30 hingga 40 tahun silam, pada konser sang raja dangdut, Rhoma Irama

Kecintaan pada Rhoma Irama tentu membuat penggemarnya rela menunggu, tetapi apakah rindu dapat ‘dibayar’ dengan hanya mendengar suaranya melalui kaset atau terus menunggu pada perjumpaan yang entah kapan? Beruntung banyak Orkes Melayu setempat yang dapat memuaskan secuil hasrat terhadap pujaannya. Di mana Orkes Melayu setempat rajin menyanyikan lagu-lagu Rhoma Irama dan Soneta di panggung-panggung tenda dan terob. Apalagi jauh sebelum Dangdut Koplo merebak dan marak pada pertengahan dekade 1990-an, Orkes Melayu setempat niscaya membawakan lagu-lagu Rhoma Irama dan biduan sejenis. Bahkan di kalangan Orkes Melayu setempat berlomba-lomba untuk berpenampilan semirip mungkin. Di antara para Orkes tersebut, “persis kaset”—sebagaimana menggambarkan Orkes yang benar-benar mirip dengan junjungannya—menjadi metode belajar dan presentasi mereka dari panggung ke panggung.

Tak hanya itu, bahkan banyak Orkes Melayu yang menghadirkan biduan-biduan mirip Rhoma Irama [iii]. Tidak hanya dimirip-miripi secara fisik dan wajah, para biduan KW itu juga didandani bak Rhoma Irama.  Dalam pertunjukannya, para biduan-biduan KW juga diminta untuk mengopy tindak tanduk Rhoma Irama di atas panggung. Hal ini tentu semata-mata sebagai wujud membekasnya Rhoma Irama di masyarakat. Namun, menurut hemat saya, mereka tidak merugikan Rhoma Irama. Apalagi para biduan KW yang tertulis di baliho atau disiarkan radio, tertulis dengan namanya sendiri. Ya paling banter, “Irama” tersemat sebagai nama panggungnya dan lazimnya digunakan menjadi nama belakang. Semisal, nama saya Michael; maka saya akan menggunakan nama Michael Irama sebagai nama panggung. Alhasil, kendati mereka tampak mengecoh, tetapi mereka jelas terbedakan dari sang pujaan; dan penonton memahami perbedaan tersebut.

Banyak Orkes Melayu yang menghadirkan biduan-biduan mirip Rhoma Irama. Tidak hanya dimirip-miripi secara fisik dan wajah, para biduan KW itu juga didandani bak Rhoma Irama

Namun berbeda soal jika nama Rhoma Irama digunakan tidak pada tempatnya. Pasalnya ada saja penipuan yang dilakukan sejak lama, di mana menggunakan nama Rhoma Irama untuk sebuah pentas dan telah termpampang di baliho sekitar atau di pengumuman yang disiarkan oleh radio setempat. Jika di masa kini verifikasi dapat dilakukan secara langsung dengan mengumumkannya di media sosial. Pada tahun 1970-1980-an, verifikasi masih membutuhkan waktu dan konser sudah kepalang tanggung dimulai. Hal ini tentu banyak mengecoh masyarakat dan tidak sedikit yang dirugikan. Tak berbeda jauh, hal lainnya adalah ketika guest star yang diidolakan tak jadi tampil sementara pentas tetap digelar karena ongkos membayar sound system di depan mata. Hal ini tentu hanya melipatgandakan kekeceawaan untuk penonton.

Atas dasar itu, muncul sebuah mekanisme unik yang dilakukan untuk mengantisipasi penipuan tersebut, yakni rolling show. Rolling show dapat dipahami sebagai kesempatan penyelenggara untuk menunjukkan kehadiran guest star ke hadapan publik. Pada pelaksanaannya, rolling show serupa dengan konsep arak-arakan, di mana tujuannya adalah mempertontonkan kehadiran tokoh atau figur penting keliling kota. Pada konteks pertunjukan musik, rolling show lazimnya berlangsung pada pagi atau siang hari di hari pertunjukan dihelat. Mekanisme ini dilakukan untuk para penampil yang berasal tidak dari daerah sekitar tempat pertunjukan. Alhasil mekanisme ini sering dijumpai di panggung-panggung daerah pada tahun 1970-1980an.

Mekanisme unik yang dilakukan untuk mengantisipasi penipuan tersebut, yakni rolling show. Pada pelaksanaannya, rolling show serupa dengan konsep arak-arakan, di mana tujuannya adalah mempertontonkan kehadiran tokoh atau figur penting keliling kota

Pun hal ini terjadi pada Rhoma Irama. Tentu arak-arakan bagi Rhoma Irama adalah hal yang lumrah.  Namun bukan diarak dalam konteks ia menjadi calon maupun menjadi anggota legislatif ketika “berseragam Golkar” di tahun 1997, atau ketika ia menjadi bakal calon presiden dari partai PPP ataupun Partai Idaman (Islam Damai Aman), melainkan ketika ia berpentas dangdut di pelbagai daerah. Di siniar miliknya, sang raja Dangdut turut mengisahkan hal serupa, di mana ia menceritakan pengalamannya diarak keliling kota. Lawan bicara di siniar tersebut pun, Sudjiwo Tejo kebagian menyaksikannya secara langsung rolling show berjalan. Merujuk pada ingatan Sudjiwo, “Di Situbundo, sekitar pukul 10.00 [WIB], Rhoma Irama diarak keliling kota menaiki mobil Jeep. Rhoma Irama berdiri di dekat kaca depan mobil. Ia berdiri dan melambaikan tangan. Dan aku ikut melambambaikan tangan.”[iv] Menanggapi hal tersebut, Rhoma Irama tertawa dan membalasnya dengan gurauan.

Namun yang menarik, Rhoma Irama turut memperjelas keadaan di mana rolling show adalah upaya antisipasi atas penipuan pertunjukan musik di era lampau. Rhoma mengatakan “Jadi kalau zaman dulu itu kalau ga dipamerkan dulu artisnya, ga akan percaya orang. Dulu [kan] jual tiket secara langsung. Kalau sudah lihat orangnya, oh betul, [maka penonton akan membeli]. Karena dulu banyak yang bohong. Misalnya, akan tampil ini, padahal ga ada.”[v] Dari pernyataannya, Rhoma sudah paham betul bagaimana bisnis konser musik berjalan sedari dulu, khususnya pada ihwal penipuan konser, kepercayaan penonton, dan bagaimana upaya antisipasinya. Alhasil, bagi Rhoma Irama, rolling show memang menjadi tindakan yang wajib untuk meyakinkan penduduk sekitar jika yang ditunggu sudah datang dan niscaya pentas pada jadwal yang ditentukan. Setelahnya, para penonton akan membeli tiket dan mendatangi konser musik, sebagaimana mereka telah memverifikasi langsung kehadiran sang pujaan. Dengan begitu, konser atau pertunjukan musik dapat berjalan lancar, biduan dan musisi dapat memberikan penampilan terbaiknya, penonton dapat pulang dengan rasa puas, dan promotor mendapat keuntungan yang semestinya. Tak ada lagi penipuan, karena antisipasi membuat semua aman terkendali.

Rhoma Irama turut memperjelas keadaan di mana rolling show adalah upaya antisipasi atas penipuan pertunjukan musik di era lampau. Rhoma mengatakan “Jadi kalau zaman dulu itu kalau ga dipamerkan dulu artisnya, ga akan percaya orang

Antisipasi dan Keterlibatan

Tentu, biduan atau orkes melayu diarak keliling kota sudah tidak pernah kite temui di era kiwari. Merebaknya beragam jenis media tentu membuat rolling show tidak perlu dilakukan lagi. Kebiasaan arak-arakan kini paling banter untuk seorang atau sekelompok kalangan keliling kota kini identik dengan calon legislatif hingga presiden, maupun para atlit yang mewakili negara ketika memenangkan kompetisi olahraga tertentu. Semisal ketika para atlit Indonesia yang diarak keliling kota setelah mendapatkan beberapa medali emas untuk SEA Games di Kamboja beberapa waktu lalu.

Pun jika dilakukan, apa jadinya jika arak-arakan pelbagai festival dilakukan, seperti Synchronize festival, Soundrenaline, Pestapora, Joyland, Ujung-Ujungnya Dangdut, Java Pop Fest, Festival Koplo Indonesia, Prambanan Jazz, Ngayogjazz, The 90s Festival, Asian Sound Syndicate, dan lain sebagainya. Rasanya akan sangat sulit dilakukan dan sudah tidak tepat untuk konteks kini. Yang ada malah bikin macet, bukan?

Namun selama menyaksikan musisi dambaan tampil secara langsung masih menjadi cara jitu dalam menggenapi perasaan para penggemar musik, perlu rasanya mencari antisipasi dari aksi penipuan yang tentu merugikan banyak pihak. Pada tahun 1970-1980an, rolling show cukup mengajur mengatasi hal tersebut. Sementara pada kasus Coldplay, sejauh ini penipuan tiket telah diatasi tidak hanya dari pihak penyelenggara, melainkan turut melibatkan kepolisian hingga pemerintah—melalui Sandiaga Uno selaku Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif[vi]. Kabarnya penipu telah ditangkap.

Kendati tak jaminan tak ada kasus serupa di kemudian hari, tentu kesadaran stakeholder untuk cawe-cawe sesuai kapasitasnya tentu perlu dilakukan, agar dengan berjalannya waktu, penipuan dapat semakin minim ke depannya. Apalagi aktivitas konser musik terbukti lebih banyak untung, daripada buntungnya. Di mana, ia tak hanya sekadar parade bunyi yang ditampilkan di depan khalayak, melainkan terbukti berhasil menjalankan perputaran ekonomi—apalagi presiden Jokowi mendorong warga untuk menonton konser beberapa bulan lalu sebagai bukti sarana pemutar ekonomi yang sangkil[vii]—, dan juga menuntaskan tugasnya menjadi sarana melepas penat hingga lelah dari kesibukan setiap harinya, serta menjadi asa untuk para penontonnya dalam menghadapi kehidupan di esok hari.[]

 


[i] Alpitasari, Siti Fauziah. 23 Mei 2023. “Polisi Periksa Tujuh Korban Kasus Penipuan Coldplay”. Media Indonesia. https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/583427/polisi-periksa-tujuh-korban-kasus-penipuan-tiket-coldplay

[ii] Tanpa Nama. 24 Mei 2023. “Bareskrim Periksa Promotor Coldplay soal Penipuan Tiket Hari ini”. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230524123658-12-953399/bareskrim-periksa-promotor-coldplay-soal-penipuan-tiket-hari-ini

[iii] Raditya, Michael H.B. 2021. “Rhoma Irama: Konstruksi dan Reproduksi Tubuh sang Raja Dangdut”. Jurnal Kajian Seni 8(1): 96-115. https://journal.ugm.ac.id/jks/article/view/70217/32609

[iv] Irama, Rhoma dan Sudjiwo Tejo. 12 Mei 2023. “Bisikan Rhoma #77: Ternyata Hal ini yang Bikin Sudjiwo Tejo gak Berharap Banyak sama Pilpres 2024”. Rhoma Irama Official. https://www.youtube.com/watch?v=70B6PIWvATo

[v] ibid.

[vi] Ramadhan, Azhar Bagas. 25 Mei 2023. “Sandiaga Minta Penipu Tiket Coldplay Ditindak Tegas”. Detiknews. https://news.detik.com/berita/d-6739294/sandiaga-minta-penipu-tiket-konser-coldplay-ditindak-tegas

[vii] Jiao, Claire and Norman Harsono. 23 February 2023. “Jokowi Tells Indonesians to Shop, Watch Concerts as Consumption Dips”. Bloomberg. https://www.bloomberg.com/news/articles/2023-02-23/jokowi-tells-indonesians-to-shop-watch-concerts-as-consumption-dips

Penulis
Michael HB Raditya
Peneliti musik di LARAS-Studies of Music in Society. Pendiri Pusat Kajian Dangdut (www.dangdutstudies.com). Pimpinan orkes dangdut, O.M. Jarang Pulang. Buku terbarunya bertajuk: OM Wawes: Babat Alas Dangdut Anyar (2020). Salah satu tulisan dangdutnya diterbitkan oleh Routledge, pada buku Made in Nusantara: Studies in Popular Music (2021).
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

Inthesky Single Yang Maha Edan untuk Menggapai Pendengar yang Lebih Luas

Berjarak satu tahun dari perilisan single “Grateful”, Inthesky kembali dengan materi anyar “Yang Maha Edan”. Single yang rilis  Jumat (26/04) lalu ini menampilkan gitaris asal kota mereka Medan, Jordan Zagoto sebagai kolaborator.   Lagu …

Vinyl The Jansen Keluaran 4490 Records dan Demajors, Ini Dia Perbedaan Keduanya

The Jansen merilis album ketiga Banal Semakin Binal dalam format vinyl hari Jumat (26/04) via jalur distribusi demajors. Beberapa hari sebelumnya, band lebih dulu merilis dalam format yang sama melalui 4490 Records, sebuah label …