Naif: Kerja Kolektif Kampus IKJ Yang Memutuskan Bubar

May 29, 2021

Awal Mei ini jagat media sosial diramaikan oleh pernyataan Emil dan Pepeng yang mengundurkan diri dari Naif. Tak lama David sang vokalis, mengumumkan melalui akun Youtube-nya perihal kabar apakah benar Naif bubar?

Lalu Naif sempat menjadi trending topic di Twitter dan Youtube. Ini adalah bukti betapa perkasanya kuartet pop ini di hati para penggemarnya. Plus juga bila bicara soal aksi panggung memikat, banyaknya deretan lagu hitsfrontman yang dari sisi humor, celetukan jahil, karisma, gaya fesyen dan teknik vokalnya bisa dibilang tidak ada lawannya.

Lawan terberat Naif mungkin adalah usia itu sendiri yang memasuki tahun ke 25. Sejak didirikan pada 1995, Naif telah menghasilkan tujuh album studio serta beberapa album kompilasi plus satu album Tribute to Naif. Mereka punya belasan hits dan jadwal panggung super padat. Cukup sulit mencari tandingan band era 90an yang masih bisa disamakan dengan Naif. Kalaupun ada mungkin jumlahnya sangatlah sedikit.

Saya sendiri sempat hadir pada panggung-panggung pertama mereka di galeri kecil di kampus IKJ, Poster Cafe dan pensi PL Fair medio 1998-2000. Kala mereka masih menyelipkan cover lagu-lagu britpop maupun “Virtual Insanity”-nya Jamiqouai, hingga membawakan tema musik film 80an The Ghostbusters. Lalu ketika saya mulai bermain band kami sempat berbagi panggung bersama. Hubungan dari idola menjadi kawan adalah salah satu bonus dan hal yang menyenangkan ketika bermain musik.

Pun ketika saya menulis proyek buku Naif (yang hingga kini tersandung masalah penerbit). Dari kawan saya menjadi penampung luapan info, data dan cukup tahu banyak tentang Naif sampai ke dalam tulang belulangnya. Kalau sudah begini, istilah jangan terlalu dekat dengan idola jadi tidak relevan. “Buta Hati”, kalau menurut lagu Naif.

Saya tumbuh besar dengan musik David, Pepeng, Emil dan Jarwo ini. Bisa dibilang selama 25 tahun ini turut menjaidi saksi bagaimana Naif menjadi grup musik besar dan bisa relevan melampaui dekade baru dengan mudah. Termasuk ketika mengalami regenerasi pendengar dan fans dengan begitu mulus. Buktinya adalah banyaknya undangan tampil di pensi adik-adik SMP yang saat Naif merilis album pertama, mereka bahkan belum lahir.

Entah bagaimana mereka bisa kenal dan mengakses karya Naif. Karena mereka tidak mengalami momen-momen besar Naif seperti kebanyakan kita. Mungkin karena pengaruh kakak atau om mereka, beredarnya mp3 Naif dari komputer ke ponsel, ditambah kehadiran Youtube dan layanan streaming musik digital. Kini paling tidak Naif telah merilis ulang CD, dan piringan hitam tiga album awal mereka. Sehingga keberadaan Naif jauh lebih mudah untuk dijangkau dan diakses.

Yang pasti Naif sudah melakukan semua yang seharusnya sebuah band lakukan. Menjadi lokomotif musik pop Indonesia di akhir 90 hingga kini. Menjadi trensetter musik retro dan gaya hidupnya, mempopulerkan musik lama Indonesia, menjadi yang terdepan memadukan lirik Indonesia dengan musik yang sangat fun, sehingga mempengaruhi generasi musisi berikutnya. Naif juga telah menyabet berbagai penghargaan, menjadi band jutaan kopi, memiliki begitu banyak lagu hits, laris manis di panggung dan semua itu ditunjang oleh musikalitas dan kemampuan membuat lagu yang tokcer, serta kreatifitas yang tanpa batas. Tapi sebentar, apakah kreatifitas Naif bisa disebut tanpa batas?

Karena beberapa terakhir paska album Televisi yang merupakan puncak kreatifitasnya, Naif seperti kehilangan arah. Mereka otomatis menjadi band panggung yang mengandalkan hits lama, dengan selipan satu dua lagu dari album terbaru saat itu, Planet Cinta. Album keenam ini pun cukup mengagetkan. Naif tampil dengan imaji yang sangat kasual, plus sang vokalis pun tampil tampan menawan dengan tubuh atletis hasil nge-gym. Kemanakah Naif dulu yang suka konyol menyanyikan lirik-lirik nihilisme (“Curi-Curi Pandang”, “Towal Towel”), tema lagu dan sudut pandang ajaib (“Mesin Waktu”, “Televisi”)? Apakah karena Naif telah memasuki usia tahun ke 20?

Sebelumnya mari kilas balik. Apa yang membuat Naif sebesar sekarang yang tidak bisa lepas dari hubungan gotong royong sesama teman jurusan satu kampus. Kekuatan Naif adalah kemampuan menyatukan seluruh jurusan kampus IKJ untuk bekerja sama menjadikan Naif sebagai representasi kampus seni rupa ketika menghadapi industri musik saat itu. Logo pertama Naif dibuat oleh Syauqi “Bimbo” Tausikal. Yang ke depannya banyak mengedit video musik dan turut menyutradarai video musik Naif. Desain sampul album pertama Naif dibuat oleh perum desain nasional yang digawangi oleh mahasiswa desain komunikasi visual/seniman Irwan Ahmet dan Tita Salina. Video klip dikerjakan bersama-sama secara keroyokan oleh Para Nelayan Terpesona yang terdiri dari Eugene Panjdi, Indra Ameng dan Anggun Priambodo sebagai modelnya. Posisi strategis manajemen pun berurutan dipegang bergantian, dari Dito “Ompong”, hingga yang cukup lama, Aria Baja mahasiswa jurusan manajemen seni pertunjukan IKJ.

Kerja kolektif ini berlanjut di album kedua, Jangan Terlalu Naif. Sampul album dikerjakan Satellite of Love yang terdiri dari duo mahasiswa desain grafis, Tony Tandun dan Adi Cumi dengan menyertakan karya grafis dan lukis mahasiwa seni rupa di dalam sleeve-nya. Video musik dikerjakan oleh mahasiswa sinema, Platon Theodoris yang kemudian melambungkan nama Naif dengan video musik “Posesif” yang mengangkat tema waria. Bayangkan tema waria sudah diangkat pada era itu!

Tidak hanya urusan visual dan video, Emil pun mengajak Arie Hendrarta mahasiswa IKJ sebagai sound engineer Naif hingga beberapa album ke depan. Termasuk saat Naif mulai kebanjiran job manggung di era album ketiga, Titik Cerah. Yang sampul albumnya dikerjakan oleh Pepeng dan Ika, dibantu oleh Budi “Cuprit” Ismail. Budi Cuprit ini mahasiswa IKJ yang kemudian menjadi fotografer Naif hingga enam album ke depan. Puncak kerja samanya bisa di lihat pada proyek sampul album keempat yang cukup fantastis dan ambisius, Retropolis.

Di album ini Naif mendapatkan kesepakatan yang cukup fantastis dengan label Bulletin. Pengajuan membuat setingan kota fiktif untuk sesi foto kover, plus mengerjakan 5 video klip dalam satu hari dan mengadakan konfrensi pers dalam satu hari diiyakan pihak label, sebagai tanda perpisahan dengan label yang membesarkan nama mereka. Album ini adalah bentuk kerja kolektif kampus IKJ paling signifikan dalam perjalanan karir Naif. Konsep kover yang dikerjakan Pepeng dengan Budi Cuprit, sekaligus melakukan sesi foto untuk keperluan foto-foto Naif yang sedang berada di kota Retropolis di dalam albumnya. Lalu untuk lima videoklip masing-masing diserahkan kepada teman-teman kampus. Dari Henry ‘Betmen’ Foundation menggarap video musik lagu “Gula Gula”, Anggun Priambodo menggarap “Uang”, Syauqi Tuasikal menggarap “Benci Untuk Mencinta”, Indra Ameng menggarap “Pujaan Hati” plus Tandun yang mengerjakan “Nanar”.

Hal ini terus berlanjut di album kelima Televisi, yang sampul albumnya kembali dikerjakan oleh desainer sampul album pertama, Irwan Ahmet, dan untuk video “Televisi” dikerjakan oleh Anggun Priambodo, model video klip “Piknik 72”, yang kemudian juga berperan besar membentuk imaji Naif melalui video klipnya dengan The Jadugar. Empat tahun berselang, Naif merilis album keenam Planet Cinta yang minus nuansa humor dan meninggalkan imaji parodi dan retro. Beberapa malah menganggap album ini alay, karena video klipnya yang dominan beauty shot dengan model cantik dan personil Naif yang berdandan trendi masa kini. Ditambah Naif melakukan promo manggung ke acara-acara musik pagi lipsync dengan segmen kelas menengah bawah seperti Inbox dan Dahsyat yang ditayangkan di televisi nasional.

Dari semua itu penting diingat bagaimana Naif bisa ada di blantika musik Indonesia sebagai kerja kolektif kampus IKJ. Hal itu terbaca jelas album pertama Naif hingga terakhir. Meskipun kerja kolektif ini bisa dibilang memuncak saat album Retropolis yang ambisius memaksimalkan imaji retro. Ambisius karena paska Retropolis di album Planet Cinta, Naif tiba-tiba berubah 180 derajat muncul dengan imaji baru, non-retro, lebih masa kini. Dan meski bagi penggemar fanatiknya adalah bagaikan dosa yang dilakukan sang idola, toh Planet Cinta membuktikan Naif berhasil melakukan penetrasi peluasan pasar dan membuat mereka lebih dikenal secara nasional.

Perilisan album ketujuh Naif Tujuh Bidadari yang lama tertunda, bisa dibilang menjadi ajang reunian Naif dengan teman-teman kampus IKJ. Karena dikerjakan keroyokan dengan Gudskul dan Ruangrupa. Menghadirkan pameran, sablon di tempat dan masih banyak lagi. Namun album ketujuh yang digadang-gadang mengembalikan feel album pertama ini terasa tidak spesial karena sekali lagi minus kekonyolan dan humor satir yang absen hadir menjadi bahan bakar kekuatan Naif di lima album pertama mereka.

Namun tentu saja kita tidak perlu lagi mempertanyakan hal itu. Yang perlu dipertanyakan adalah tepatkah keputusan Naif untuk bubar setelah 25 tahun berkarya? Mengingat tidak banyak band seangkatannya yang mampu mempertahankan kelangsungan bandnya hingga melewati kepala dua dengan jadwal panggung yang padat. Juga mampu bagaikan ampfibi hidup di dua dunia, arus utama maupun arus samping dan terlebih mengalami regenerasi fans yang begitu mulus.

Lalu timbul pertanyaan apakah melampaui usia 25 tahun adalah waktu yang cukup bagi sebuah band untuk berkarya dan aktif di panggung? Mengingat jika mereka memulai karirnya di pertengahan 20an dan kini telah berkepala empat atau lebih, dan memiliki banyak tanggungan keluarga, serta anak-anaknya telah beranjak dewasa sedangkan tidak semua musisi bisa hidup sepenuhnya dari musik? Sungguh sebuah ironi yang harus diakhir di dalam industri musik Indonesia.

Naif merupakan produk musik dari budaya pop 90an yang paling solid. Mereka mengalami perpindahan rekaman analog ke digital, media cetak ke media digital, teknik promosi yang beralih ke media sosial, juga dari tivi nasional ke Youtube. Jejak Naif terpampang jelas di hati pendengar musik Indonesia ketika isu bubar mengemuka dan Naif menjadi trending topic di media sosial. Lantas apakah Naif bubar atau belum bubar –seperti menurut Jarwo-, yang perlu digaris bawahi adalah mereka telah berkarya begitu lama dan menghibur kita di pangung-pangung. Dan juga musiknya telah begitu lekat mengisi keseharian hidup kita. Maka itu sepantasnya kita berucap: terima kasih dan salam hormat sedalamnya untuk David, Pepeng, Emil dan Jarwo.

 

____

Penulis
Anto Arief
Suka membaca tentang musik dan subkultur anak muda. Pernah bermain gitar untuk Tulus nyaris sewindu, pernah juga bernyanyi/bermain gitar untuk 70sOC.

Eksplor konten lain Pophariini

5 Kolaborasi yang Wajib Disimak di Jazz Goes to Campus 2024

Jazz Goes to Campus akan digelar hari Minggu (17/11) di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Tahun 2024 merupakan pergelaran ke-47 festival tahunan ini.     View this post on Instagram   A post …

Antara Musik, Visual, dan Sekitarnya (oleh: Sari, Rio, John, Mela, Ricky, Saleh WSATCC)

White Shoes & The Couples Company (WSATCC) dibentuk pada 2002 di kampus Institut Kesenian Jakarta di wilayah Cikini, Jakarta Pusat. Sari, Rio, Saleh menempuh studi di jurusan Seni Rupa dan Desain, sedangkan Ricky, Mela, …