PHI Kaleidospop 2018: Meramu Mantra Kunto Aji

Jan 10, 2019

Apa lagu pertama yang dibikin untuk album ini?
“Konon Katanya”. Arahnya sudah ke sana, tapi pada saat itu gue belum mengaplikasikan frekuensi Solfeggio. Keberanian gue untuk, “Oke, coba kita praktekkan dan masukkan ke musik pop,” itu belum sampai sana. Tapi temanya sudah mengarah ke sana, sebenarnya. Itu sudah jelas banget, sebenarnya.

Dalam arti jangan mau didikte akan kebutuhan diri?
Iya.

Apakah itu hal yang dialami juga?
Gue sih enggak, cuman beberapa orang dekat gue ada yang seperti itu. Akhirnya itu kayak perjalanan hidup dan terus menyambung untuk menjadi album ini. Gue berada di waktu yang tepat, mungkin. Gue bersyukur dengan masalah-masalah ini, akhirnya gue jadi bisa menulis. Terdorong untuk mencari tahu tentang hal-hal itu. Akhirnya malah jadi eksperimen gue untuk album ini.

Apa yang menjadi pegangan utama dalam riset itu?
Banyak, sebenarnya. Gue mengulik banyak hal. Tapi itu kayak gue digiring. Maksudnya, dengan masalah ini gue memberanikan diri ke therapist, psikoterapi. Padahal pas mengerjakan album pertama, 2014-2015, gue sudah mempelajari tentang Solfeggio tapi gue belum tahu namanya. Gue tahu bahwa ESQ itu ada tekniknya, ada gelombang-gelombang yang mereka ciptakan untuk berhubungan dengan emosi manusia. Akhirnya gue ketemu ama Petra, dia belajar juga di sinema tapi lebih ke emosi yang negatif. Kayak film horor, itu instrumen apa, notasi yang mana yang bikin orang takut. Gue ketemu Anka yang, “Eh, coba, yuk. Gue baru beli organ.” Kayak sudah diarahkan. Hal-hal yang gue ketemu 3-4 tahun lalu pas mengerjakan album pertama, akhirnya gue bisa terapkan di album kedua ini.

Apa hal utama yang didapat dari sesi terapinya?
Yang gue dapat banyak banget, sih. Bahwa ternyata pikiran kita kompleks banget. Cara menyelesaikan sesuatu, dalam arti benar-benar selesai, itu ada caranya. Mungkin sebagian orang bisa selesai dengan cerita ke temannya. Tapi sebagian orang lagi, masalah-masalah itu bisa jadi berat banget. Setelah gue ke sana, gue berpikir bahwa kita sangat tidak bisa menilai orang bahwa, “Elu cuma masalah begini, masa enggak kuat sih?” Tiap orang itu beda-beda banget. Ada yang mungkin jadi begitu, masalahnya jadi besar banget buat dia, karena dulu pas kecil ada trauma.

Pola pikir manusia itu kompleks banget. Trauma yang bahkan elu sudah lupa, itu bisa dikeluarkan lagi. Dan itu dampaknya ke fisik. Bisa ke produktivitas, bisa ke mampetnya ide, bisa ke badan lemas melulu padahal tidur sudah cukup, elu malas ketemu orang. Bisa hal-hal yang kayak begitu. Itu berkaitan dengan kepribadian juga. Maksud gue, itu hal yang gue belum pernah jamah, dan gue akhirnya jadi ingin tahu tentang hal-hal itu.

Itu inisiatif sendiri atau anjuran dari orang dekat?
Ada anjuran dari teman. Ada teman gue yang tiba-tiba anxiety-nya parah dan dia kena serangan panik. Padahal orangnya kayak gue, suka bercanda. Tiba-tiba dia punya itu. Akhirnya dia datang ke therapist ini, dan dia kasih tahu gue: “Coba saja ke sana.” Kadang-kadang kita enggak bermasalah pun, orang yang sehat, kadang butuh bantuan. Untuk sekadar tahu diri elu sendiri juga penting banget.

Itu sudah jalan berapa lama?
Hampir dua tahun.

Setelah album pertama keluar?
Ya. Dan itu mungkin juga yang bikin gue terhambat waktu mengerjakan album kedua.

Riang juga ya bahasan kita.
[Tertawa]

Bagaimana itu berdampak ke musik yang tercipta?
Frekuensi Solfeggio kan ada di Spotify. Musik meditasi. Akhirnya pendekatan gue ke situ. Bukan berarti gue mencoba membuat musik meditasi, tapi maksud gue adalah bagaimana gue bisa membalut sound yang biasa gue pakai untuk bisa jadi satu sama frekuensi ini. Walaupun pada akhirnya frekuensi ini cuma subtil di belakang dan cuma kedengaran kayak noise biasa. Akhirnya sambil pencarian, yang ketemu adalah itu. Kayak “Sulung” dan “Bungsu”, “Rancang Rencana” kenapa akhirnya begitu, orientasi gue jadi ada dorongan ke sana.

Saat mengerjakan album, apakah lagu-lagunya sudah jadi semua baru mencari produser atau sambil jalan?
Gue pasti datang ke produser sudah dengan lagu. Tapi ada beberapa yang gue godok bareng. Gue masih ingin gue sendiri yang bikin lagunya. Bukan apa-apa, karena yang mengerti kerangka temanya apa kan gue. Jadi gue yang menulis sendiri, cuma kemarin kan gue sempat menginap sama Anka juga. Gue menyewa apartemen dan lain-lain dalam rangka untuk lebih dalam. Di album pertama ada si Afif (Ghifano), tapi gue anggap dia sebagai arranger. Enggak terlibat sedalam sekarang. Yang sekarang lebih dilibatkan untuk prosesnya bagaimana, apa yang mau gue ceritakan, kasih masukan (untuk) arahnya akan ke mana musiknya. Tapi gue ceritakan temanya apa, sub-tema per lagu.

Apa pertimbangannya dalam memilih empat orang ini sebagai produser dan lagu yang mereka garap?
Sebenarnya gue awalnya ingin sembilan, satu lagu satu. Cuman, tenggat waktu sih. [Tertawa] Jadi enggak mungkin. Yang kemarin enggak pakai produser, (kalau) sekarang, “Yuk, kita pakai produser.” Ya sudah, sekalian saja. Gue tipe orang yang kayak begitu. Sebanyak yang bisa, sekalian gue lebih membuka diri. Ini juga dalam rangka untuk menyehatkan diri gue sendiri, untuk tidak jadi orang yang terlalu tertutup sama karya gue sendiri. Akhirnya jadi empat orang ini yang terlibat.

Karena jadwal mereka cocok?
[Tertawa] Salah satunya, yang paling terjangkau dan dekat. Maksudnya terjangkau, gue sudah kenal, pernah mengobrol dan lain-lain, ya empat orang ini. Gue bisa godok cukup lama. Beberapa yang lain lagi sibuk, jadi akhirnya kami patok empat orang ini. Enggak apa-apa, bisa buat album berikutnya lagi. Memang beberapa temanya gue mengobrol dulu sama mereka. Maksudnya, “Elu paham enggak sama ini?”

Bagaimana cara menentukan siapa yang menangani lagu apa?
Dari gue sendiri, sih. Itu insting gue, “Kayaknya dia deh yang kerjakan.”

Di luar kenal secara personal, apa yang membuat tertarik dengan mereka?
Satu, gue tahu mereka berada di mana. Misalnya Anka; sebagai produser, mungkin orang enggak terlalu tahu. Tahunya sebagai musisi. Cuman, yang gue tahu dia memproduseri musik live-nya Teza (Sumendra), tapi dia juga bisa kerjakan Goliath. Yang jadi ketertarikan dia memang musiknya. Dia bukan tipe orang yang, “Pokoknya gue cuma mau kerjakan yang begini,” tapi dia mengulik yang begini juga. Orang yang kayak itu yang gue butuhkan untuk jadi partner gue, dalam arti berarti dia bisa diajak untuk eksperimen. Karena gue berada di musik pop, tapi gue selalu ingin mencoba keluar dari ranah. Gue butuh orang yang memang mau dan terbiasa untuk mencoba sesuatu. Salah satunya itu Anka.

Terus kalau Petra, gue sudah mengobrol lama. Dia juga sama tipenya kayak Anka.

Uga dari “Konon Katanya”.

Bam Mastro juga, gue sudah lama ingin mengobrol ama dia. Dan gue memang cari yang cukup segar, dalam arti jam terbangnya baru 2-3 tahun ini. Belum sebanyak itu.

1
2
3
4
Penulis
Hasief Ardiasyah
Hasief Ardiasyah mungkin lebih dikenal sebagai salah satu Associate Editor di Rolling Stone Indonesia, di mana beliau bekerja sejak majalah itu berdiri pada awal 2005 hingga penutupannya di 31 Desember 2017. Sebenarnya beliau sudah pensiun dari dunia media musik, namun kalau masih ada yang menganggap tulisannya layak dibaca dan dibayar (terutama dibayar), kenapa tidak?

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …