PHI Kaleidospop 2018: Meramu Mantra Kunto Aji

Jan 10, 2019

Ada yang berubah dalam cara membuat lagu dibanding album pertama?
Ada, jelas. Gue kan biasanya tidak terbuka sama orang luar. Akhirnya gue coba dengar orang luar. Makanya gue bilang gue tipe orang yang kayak begitu; ketika gue melakukan sesuatu, ya sudah, sekalian saja. Gue membuka diri, enggak perlu satu produser satu album. Sekalian saja empat. Kalau bisa sembilan, sembilan!

Apakah instrumen yang digunakan masih sama?
Malah album kedua ini, gue bikin lagu enggak pakai gitar kopong (akustik) sama sekali. Jadi gue benar-benar pegang gitar elektrik, gue sampai beli amplifier kecil Roland Cube. Gue bikin di gitar elektrik karena gue ingin dapat feel-nya. Kenapa sekarang gue main gitar karena gue ingin dapat feel-nya. Gue jago juga enggak, tahu nama kordnya enggak. Gue cuma tahu mainnya bagaimana, tapi gue enggak tahu nama kordnya. Beda instrumen elektrik dan akustik pun, notasi yang gue ambil jadi beda. Pemilihan instrumen jelas jadi beda ketika berangkat dari gitar elektrik.

Jadi semuanya beda di album ini, termasuk gue masuk ke Juni. Akhirnya ada tim baru lagi yang secara bisnis biar dipegang Juni, karena gue juga ingin tahu kayak apa. Dan Juni kan terbuka, transparan banget sama gue. Kalau gue masuk label besar bisa saja, tapi mereka enggak akan bagi ke gue progresnya, apa yang harus dilakukan dan segala macam. Kami jadinya kerja sama bareng. Jadi album ini beda banget dari album pertama, bahkan sampai tim gue didorong untuk mengejar jadwal kerja mereka.

Saat pertama kali memperdengarkan materi ini kepada Juni…
[Tertawa]

…apa kata mereka?
“Elu mau bikin MLM? Kok bikin ada ESQ?” Ya, gue jelaskan semua tentang frekuensi Solfeggio, tentang tema besarnya. Awalnya mereka pasti manggut-manggut, cuman gue harus bangga dengan diri gue sendiri. Gue termasuk orang yang bisa meyakinkan orang dengan cara pendekatan yang gue bilang. Yang jelas, gue meyakinkan mereka bahwa ini bagus. Di luar tema besar yang berat atau pemilihan instrumen yang susah, tujuan gue bukan bikin musik yang susah biar cuma orang yang mengerti apa itu susahnya. Tapi bagaimana penikmat musik awam bisa tahu, “Oh, vocoder kalau dipakai di vokal bisa enak juga, ya?” Jadi sesuatu yang jauh, tapi untuk mengedukasi orang-orang awam. Hal-hal kayak itu akhirnya gue terangkan ke mereka. Gue enggak tahu mereka mengerti atau enggak [tertawa], cuma, “Elu enggak ada pilihan. Elu sudah kontrak sama gue, kan.” [Tertawa]

Tapi gue yakinkan ke mereka gue enggak main-main. Dan gue bukan idealis buta. Maksud gue, gue juga mempertimbangkan sisi bagaimana bisa jualan, dalam artian jualan di pasar gue. Gue enggak akan bikin “Terlalu Lama Sendiri 2” atau “Ekspektasi 2”. Gue akan bikin musik yang seperti ini, kita usaha saja, gue yakin ini pasti bisa besar juga.

Apa relevansi album pertama dengan apa yang dilakukan sekarang?
Yang jelas temanya beda. Apa yang gue tawarkan di album kedua kan beda banget. Sebenarnya gue inginnya enggak membawakan album pertama (di panggung) sama sekali. Bukan berarti gue enggak sayang sama album pertama, tapi gue ingin menceritakan sesuatu secara utuh. Tapi karena kebutuhan panggung, ya masih enggak apa-apa. Yang jelas, yang ingin gue komunikasikan di panggung sekarang ya album dua. Makanya gue bikin tema besar, karena ada sesuatu yang mau gue ceritakan. Bukan sekadar, “Ini materi baru, lo!” Tapi akhirnya masih ada 1-2 lagu dari album pertama karena kebutuhan panggung, biar orang nyanyi. Cuma karena itu. Tapi dari segi cerita, yang gue bawa adalah cerita dari album kedua.

Kunto Aji dan Ankadiov Subran. Foto: dok. Kunto Aji

Ada yang komplain?
[Tertawa] Sempat ada yang kayak, ” ‘Terlalu Lama Sendiri’, dong!” Gue cuek. [Tertawa] Tapi ada juga dibawakan, karena penontonnya sudah seru, dari awal ikut nyanyi. Ya sudah deh, gue bawakan “Terlalu Lama Sendiri”.

Hadiah tambahan.
Hadiah tambahan! [Tertawa]

Semula “Konon Katanya” terdengar seperti mewujudkan keinginan membuat musik yang lebih cocok dibawakan di panggung dibanding lagu-lagu Generation Y, tapi dibanding lagu-lagu lainnya di Mantra Mantra terdengar beda sendiri. Apakah lagu itu keluar di saat belum terbayang akan seperti apa albumnya secara keseluruhan?
Dari “Konon Katanya” ke album jaraknya satu tahun lebih. Nah, itu juga jadi PR gue. Ketika gue mengerjakan album, seharusnya jangan terlalu lama, karena dalam jangka waktu satu tahun pun orientasi sound gue pasti sudah berbeda. Hal-hal yang gue pikirkan pasti sudah berbeda. Akhirnya “Konon” jadi terdengar berbeda sendiri. Dalam arti tema besar, masih bersangkutan.

Tujuannya sama, untuk bikin sesuatu yang live. Gue ingin menjadi sesuatu yang menarik ketika live. Orang dengar live jadi ingin dengar rekamannya, karena senjata gue di situ. Itu perlakuan yang sempat kelewat di album pertama. Ketika gue bikin, di rekaman enak tapi gue belum kumpul sama anak-anak band untuk dibawakan, “Live-nya enak enggak?” Jadinya gue balik perlakuannya, tapi orientasi untuk live-nya sudah berbeda.

Setelah album keluar dan sudah membawakan semua lagu, apakah lebih mudah diterima penonton dibanding album pertama?
Iya. Gue merasakan tiap panggung pasti sudah banyak yang nyanyi dari lagu pertama sampai lagu terakhir. Itu susah banget pas di album pertama. Tapi album pertama masalahnya juga banyak, dalam arti jangka waktu dari (beredarnya) “Terlalu Lama Sendiri” ke album (Generation Y) terlalu jauh, gue kebanyakan jadi penyanyi cover pada saat itu. Ketika gue keluarkan langsung satu album, orang terpaksa dengar satu album. Mereka merasa masuk di situ, jadi pas gue main, sudah pada hafal. Gue tidak perlu memperkenalkan satu-satu. Album pertama kan kayak memperkenalkan single, dan yang enggak jadi single akhirnya enggak terlalu didengar. Yang ini sudah nyanyi semua. Itu memang tujuan gue, berarti sudah cukup tercapai.

“Saudade”.
“Saudade” sama Bam Mastro. Itu yang paling beda sendiri perlakuannya dari lagu lain, karena gue bikin musiknya dulu bareng Bam Mastro. Kami bikin strings, awalnya cuma bikin MIDI. Alvin Witarsa yang bikin [strings asli], habis itu baru gue bikin notasi dan lirik di atas musik itu. Beda sama yang lain. Kalau yang lain, gue datang dengan tema, notasi dan lirik. Ini gue bikin musik dulu. Gue mencoba hal yang berbeda.

Tema yang diambil sangat ambigu, dan gue memang enggak mau menjelaskan apa-apa tentang apa yang ada di lagu ini. Gue ingin biarkan orang menangkap.
Kenapa gue ambil “Saudade”? Saudade (sebuah istilah dari bahasa Portugis) itu kayak ketika kita mengenang sesuatu yang menyenangkan tapi jatuhnya malah haru dan sedih. Kayak ada sesuatu yang hilang tapi elu enggak tahu apa. Orang menangkap lagu ini beda-beda, dan gue berharap seperti itu. Yang jelas, gue merasa ini pembuka jalan gue bekerja sama dengan Bam yang cukup baik, karena kami beda banget, kan. Cuma, kami bikin musik, ya bikin musik saja.

Setelah albumnya beres dan beredar, apa yang dirasakan? Ternyata albumnya diterima dengan baik dan pendengarnya juga banyak.
Ya, gue enggak mengira banget. Gila sih, kayak gue dikasih keberuntungan banyak banget. Ini kan visi yang cukup jauh, sebenarnya. Bahkan tim gue – ke manajemen, ke label – untuk yakin pun karena mereka tim gue. Orang yang enggak kenal gue pasti enggak bakal mau. Akhirnya gue bisa jawab keraguan mereka dan mungkin sedikit keraguan diri gue sendiri. Gue puas banget sama hasilnya. Sebesar ini pun gue sudah puas. Kalau bisa lebih besar lagi, ya alhamdulillah. Cuman, segini pun orang bisa menangkap, gue sudah senang banget. Dan ternyata banyak banget yang menangkapnya justru sedalam itu. Wah, gila sih.

Era musik Indonesia sekarang enak banget. Maksudnya, elu kalau main aman, rugi banget. Sekarang telinga orang Indonesia sudah bisa dikasih apa saja, asalkan elu bikinnya niat.

Apakah sudah kepikiran tema untuk album berikutnya?
Belum! [Tertawa] Masih pusing gue! Tapi gue akan berusaha untuk mencari lagi. Gue enggak mau lama-lama lagi. Mungkin umur album ini dua tahun, maksimal. (Setelah itu) gue harus keluar materi baru.

Naufal Abshar, seniman yang mengerjakan sampul album Mantra Mantra dengan Kunto Aji. Foto: dok. Kunto Aji

 

____

1
2
3
4
Penulis
Hasief Ardiasyah
Hasief Ardiasyah mungkin lebih dikenal sebagai salah satu Associate Editor di Rolling Stone Indonesia, di mana beliau bekerja sejak majalah itu berdiri pada awal 2005 hingga penutupannya di 31 Desember 2017. Sebenarnya beliau sudah pensiun dari dunia media musik, namun kalau masih ada yang menganggap tulisannya layak dibaca dan dibayar (terutama dibayar), kenapa tidak?

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …