PHI Kaleidospop: Potret Jurnalisme Musik di 2018

Jan 13, 2019

Saat majalah-majalah mainstream berguguran satu persatu, justru zines dan penerbitan media alternatif malah tampak bergeliat di ranah subkultur. Maraknya penerbit-penerbit alternatif di tengah gegap gempita dunia digital pernah diulas dalam artikel “Small Print: A New Chapter for Independent Publisher” di Majalah Wallpaper, Maret 2014 lalu. Artikel yang ditulis oleh Mark Hooper ini menjelaskan bahwa media cetak ternyata tak mati-mati amat. Kini muncul media-media alternatif seperti buku, katalog, dan zines yang unik dari segi kemasan dan lebih spesifik menyasar suatu komunitas tertentu.

Maraknya perkembangan media alternatif, saya rasakan sendiri di Indonesia. Kini mulai bermunculan zinesters atau zinemakers (pembuat zines) yang lebih kreatif dan eksploratif. Di beberapa kota, mereka juga tampak aktif menggelar festival-festival zines seperti Bandung, Jakarta, Surabaya, Sidoarjo, Malang, dan beberapa kota lainnya. Saat ini zines pun merambah bentuk kreativitas lainnya seperti zines ilustrasi, zines komik, zines puisi, dan zines fotografi. Zines tampaknya masih digunakan oleh para pelaku kreatif untuk menyampaikan gagasan dan ekspresinya. Semangatnya masih tetap sama yaitu melawan kemapanan media mainstream

Media-media alternatif ini dapat menjadi solusi karena memberikan informasi yang tak banyak dimuat di media massa mainstream. Belum lagi kedekatan zines dengan komunitasnya sehingga dapat memberikan informasi yang lebih mendalam. Misal, zines metal, zines punk, zines indie pop, zines hip hop, dan seterusnya. Apalagi, kini seiring dengan perkembangan teknologi, kian memberikan ruang bagi pertumbuhan komunitas melalui zines mereka sebagai produsen informasi. Bukan sekadar menjadi konsumen informasi.

Tentu akan menarik jika komunitas-komunitas tersebut dapat mengembangkan zines mereka menjadi media-media musik sendiri dan membangun manajemen operasional yang mapan tanpa mengorbankan semangat awal mereka dalam mengelola konten. Toh hal ini pernah terwujud di luar negeri seperti Maximum Rocknroll, Stereogum, Vice, dan Pitchfork. Mereka mampu membuktikan tajinya sebagai media alternatif dan berhasil bertahan menghadapi disrupsi digital bahkan menjadi media musik besar yang memiliki pengaruh di industri musik dunia.

Selain itu, di tengah terpaan digital dan makin surutnya majalah cetak, ternyata gairah menerbitkan tulisan-tulisan musik dalam bentuk buku cetak menjadi sorotan paling penting pada tahun 2018 ini. Tercatat sejumlah penulis musik malah kian asyik menerbitkan tulisan dalam bentuk buku cetak. Sebetulnya fenomena ini sudah mulai bergeliat dalam beberapa tahun terakhir. Pentingnya buku-buku musik diharapkan dapat mendorong tumbuhnya edukasi dan apresiasi masyarakat, terutama terhadap dunia musik dan sekitarnya. Pada tahun 2018 ini saja terdapat beberapa buku musik mulai dari buku kumpulan kritik musik, memoir perjalanan, subkultur grunge dan heavy metal, hingga wacana jurnalisme musik. Ini menunjukkan sifat antara benda fisik dan digital bukanlah saling menggantikan (substitusi). Jangan-jangan sifat keduanya malah saling melengkapi (komplementer).

Saya selalu merasa media itu memiliki “habitat”-nya masing-masing. Tentu kita sudah punya banyak pilihan dalam mengonsumsi informasi musik. Apakah kita membutuhkan tulisan yang serius dan mendalam atau hanya butuh informasi sederhana. Semua sudah tersaji di beragam media. Tergantung dari bagaimana cara kita menyampaikan informasi dan lewat platform media mana yang sesuai dengan “habitat” media tersebut. Kita tentu saja masih bisa menikmati kurasi musik berkualitas lewat kanal YouTube Sounds From The Corner. Atau ketika kita ingin menikmati bagaimana unik dan intimnya zines yang dikemas sangat menarik lewat ilustrasi dan komik. Atau ketika kita membutuhkan ulasan musik yang tajam dan bernas bisa membaca buku-buku terbitan Elevation Books. Tapi ketika Anda ingin sekadar santai dan rileks sepulang kerja atau kuliah bisa menonton vlog menghibur dari Seringai.

 

____

Beberapa penggalan dalam tulisan ini merupakan bagian dalam buku “Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya” (Penerbit KPG, 2018)

1
2
3
Penulis
Idhar Resmadi
Nama Idhar Resmadi sudah dikenal di kalangan jurnalis musik tanah air. Music Records Indie Label (2008), Kumpulan Tulisan Pilihan Jakartabeat.net 2009-2010 (2011), dan Based on A True Story Pure Saturday (2013) adalah karya yang sudah ia rilis. Selain itu, ia juga merupakan peneliti lepas, pembicara, moderator, atau pemateri untuk bahasan musik dan budaya.

Eksplor konten lain Pophariini

Selat Malaka Resmi Mengeluarkan Album Penuh Perdana

Band asal Medan bernama Selat Malaka resmi mengeluarkan album penuh perdana self-titled hari Jumat (22/11). Sebelumnya, mereka sudah mengantongi satu single “Angin Melambai” yang beredar tahun lalu.     View this post on Instagram …

I’m Kidding Asal Aceh Tetap Semangat Berkarya di Tengah Keterbatasan

Setelah merilis 2 single bulan Juni lalu, band pop punk asal Aceh, I’m Kidding akhirnya resmi meluncurkan album penuh perdana mereka dalam tajuk Awal dan Baru hari Minggu (10/11).     I’m Kidding terbentuk …