PP No. 56/2021 dan Murahnya Musik Indonesia di Mata Warganetnya
Siklus viral di internet adalah: ramai di medsos, debat kusir di kolom komentar, dibahas di Youtube, masuk televisi, dan kemudian biasanya dilupakan begitu saja. Semoga Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2021 ini tidak demikian. Karena sejak diteken tanggal 30 Maret 2021 kemarin, dari berbagai pro dan kontra PP No. 56/2021 ini, ada kenyataan memprihatikan lain terhadap musik Indonesia. Yaitu, murahnya musik Indonesia di mata para warganet kita.
Viralnya PP No.56/2021 tentang performing royalty ini positif karena semua orang mendadak melek tentang royalti musik. Tapi di sisi lain menarik jika membaca komentar kontra terhadap PP ini. Selain adanya keberpihakan pada bisnis kecil dan para musisi cafe/wedding atau pengamen, ada juga para musisi yang kubunya terbelah dua antara pro dan kontra, dan dari semua itu yang paling memprihatinkan adalah rendahnya kesadaran HAKI bagi para warganet Indonesia akan sebuah karya musik. Padahal Indonesia adalah satu negara dengan industri musik yang berkembang sangat pesat di kawasan Asia.
rendahnya pemahaman warganet kita terhadap penghargaan akan sebuah karya musik Indonesia
Kita memiliki industri musik populer dan tradisional/daerah yang beragam dan dinamis. Memiliki pusat pendataan musik populer Iramanusantra.org, juga punya musik dangdut yang hanya dimiliki oleh Indonesia, juga berbagai perhelatan akbar musik yang sering mendatangkan penikmat musik dari penjuru dunia. Dari Java Jazz, Hammersonic, Djakarta Warehouse Project, We The Fest hingga Synchronized Festival.
Dari semua itu sangat memprihatinkan membaca komentar-komentar merespon soal PP No. 56/2021 di medsos. Karena rendahnya pemahaman warganet kita terhadap penghargaan akan sebuah karya musik Indonesia. Meskipun dengan dalih memihak pada kaum kecil, seperti pengamen, musisi wedding/cafe, resto/warung kecil, namun tetap saja para warganet tidak melihat problem intinya. Yaitu soal hak dan penghargaan terhadap sebuah kekayaan intelektual.
Sedikit bicara soal Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), kekayaan intelektual sendiri adalah hak yang timbul dari hasil olah pikir yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Contohnya sesederhana merk sambal dan kopi instan, atau produk seni budaya yang lebih kompleks seperti film. Pada intinya kekayaan intelektual adalah hak para pencipta untuk menikmati hasil dari suatu kreativitas intelektual secara ekonomis. Dan sederhananya, kita bisa meragukan keintelektualan seseorang bila dirinya tidak menghargai kekayaan intelektual yang terkadung dalam sebuah karya. Salah satu contoh dari ketidak pahaman akan kekayaan intelektual bisa kita lihat dari beberapa komentar warganet kita:
Ditambah dengan pemikiran seperti ini;
Sangat miris. Seolah para musisi/pencipta lagu berada dalam posisi paling bawah dalam rantai industri musik, dan pendengar musik adalah “raja”. Soal pendengar yang merasa dan memposisikan diri sebagai raja juga adalah hal yang selama ini salah kaprah. Yang terbentuk dari efek musik yang terlanjur sering digratiskan. Sehingga nilainya jadi begitu murah atau malah tidak ada.
Hal ini bisa ditelusuri ke tahun 2000an, pertama kali masyarakat memiliki akses penuh pada pemutar CD dan teknologi penggandaan mandiri CD melalui komputer pribadi. Teknologi tersebut membuat CD bajakan beredar secara memprihatinkan. Pada 2007 Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) bahkan mencatat perbandingan CD bajakan yang beredar mencapai 96:4 persen. Ditambah anggapan kalau musiknya dibajak dan membeli produk bajakan adalah promosi gratis untuk musisinya. Karena berarti lagunya lebih dikenal luas. Dan, musisi harus bangga jika karyanya dibajak. Duh!
Seolah para musisi/pencipta lagu berada dalam posisi paling bawah dalam rantai industri musik, dan pendengar musik adalah “raja”
Hal ini berlanjut di 2010an ketika masyarakat memiliki akses internet lebih merata yang sayangnya tidak dibarengi dengan pemahaman hal-hal mendasar seperti HAKI. Situs seperti 4shared.com dan Stafaband.com menjadi pilihan untuk mengunduh lagu-lagu barat maupun Indonesia secara ilegal. Lalu dengan akses medsos yang tanpa batas, tidak sedikit yang bahkan berani bertanya langsung kepada musisinya: “di mana bisa mendownlod lagunya secara gratis?” Sungguh pertanyaan yang di luar nalar. karena ada berbagai proses panjang menulis/menciptakan lagu selain tentunya biaya, tapi juga pengalaman, pikiran, rasa serta jam terbang.
Unit rock asal Yogyakarta, FSTVLST bahkan sempat membuat ilustrasi infografik yang cerdas sekaligus menggelitik, sebagai pendukung promosi album mereka, Hits Kitsch (2014) karena begitu seringnya dimintai tautan untuk mengunduh lagunya secara gratis:
Kita juga tidak bisa melupakan kasus cover lagu “Akad” milik Payung Teduh di Youtube, 2017 lalu. Saat penyanyi jebolan Rising Star Indonesian, Hanin Dya meng-cover lagu tersebut tanpa seizin Is, dkk. Dan ketika dipermasalahkan, respon warganet hanya seputar “dipermasalahkan karena lagunya menjadi viral” dan “kalau tidak meledak pasti tidak dipermasalahkan”, “band tidak laku numpang tenar” atau juga “dibantu promosi gratis”. Duh!
Semua itu bagaikan efek bola salju. Karena terbiasa mendapatkan musik secara gratis, dan ketika pemerintah memutuskan untuk mengurus apa yang jadi hak para musisi dan pencipta lagu, justru dianggap sebaliknya. Musisi dan pencipta lagu dianggap terlalu banyak menuntut. Ditambah dengan arogansi warganet yang menganggap diri mereka sebagai pendengar adalah raja, dan tanpa mereka, musik Indonesia tidak akan jadi apa-apa. Sebuah logika yang keblinger dan sangat disayangkan. Terlebih pada dasarnya PP No. 56/2021 adalah urusan yang mengikat antara pemerintah, pemilik usaha dan musisi/pencipta lagu. Warganet sama sekali tidak disusahkan apa-apa.
Semua itu bagaikan efek bola salju. Karena KITA terbiasa mendapatkan musik secara gratis
Yang mungkin kurang diinformasikan kalau PP No. 56/2021 ini merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya. Dari UU no.6 1982, UU no.19 tahun 2002, UU no. 28 tahun 2014. Jadi secara teknis proses pengkolekan royalti ini telah berjalan puluhan tahun. Dan PP No. 56/2021 ini merupakan penyempurnaan, dan diteken presiden Jokowi sebagai “pengingat”. Tentunya dengan mekanisme yang lebih detail. Sehingga para pemain band, pencipta lagu mendapatkan hak mereka secara layak. Sehingga terus membuat karya-karya terbaiknya, dan membuat hidup kita baik pendengar musik ataupun pencipta dan pemain musiknya sama-sama hidup lebih baik.
Maka itu sangat miris bila melihat awal tahun kemarin kita dikejutkan oleh berita yang menimpa Syam Permana, pencipta lagu sekian banyak lagu dangdut yang kini hanya bisa jadi pemulung, tanpa bisa mendapatkan haknya.
Selain pola pikir warganet yang menyesatkan ini, sebetulnya media turut bisa membantu menyebarkan pemahaman soal HAKI dan PP No. 56/2021 ini. Mengingat keberhasilan peran media sebelumnya dalam turut mem-viralkan PP ini. Meskipun rata-rata media memilih untuk menerbitkan berita dengan judul yang lebih clickbait, dari pada judul yang informatif. Dan turut membuat polemik dan gempar sesaat.
Kita juga bisa mengawal perihal pembuatan pusat data lagu dan SILM, yaitu Sistem Informasi Lagu atau Musik dalam jangka waktu dua tahun yang disebutkan beberapa kali dalam beberapa pasal di dalamnya. Yang akan lebih memudahkan untuk mendata dan membagi hak para musisi dan pencipta lagu. Karena perihal royalti musik ini adalah hal yang telah diperjuangkan sejak tahun 90an oleh Candra Darusman, James F. Sundah, Enteng Tanamal dkk. Mereka puluhan tahun memperjuangkan hal itu. Sayang sekali kalau hal ini tidak didukung oleh para penikmat musik Indonesia itu sendiri, termasuk warganet.
Kalau sudah begini jadi teringat salah satu kutipan dari presiden pertama RI, Bung Karno yang benar adanya: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.
____
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …
[…] Baca Juga:‘PP No. 56/2021 dan Murahnya Musik Indonesia di Mata Warganetnya’ oleh Anto Arief […]