Rekomendasi: Semiotika – Eulogi

Aug 16, 2021

Saya punya kenangan tersendiri jika berbicara mengenai trio post-rock asal kota Jambi ini. Pertemuan pertama saya dengan Semiotika terjadi di tahun 2018 dan bergulir sepanjang tahun. Seorang kakak kelas dan juga teman saya di kampus, Densky9 menjadi sosok yang bertanggung jawab atas pertemuan tersebut. Saya masih ingat betul, dalam sebuah situasi beliau bercerita kepada saya bahwa ada band post-rock dari kota asalnya, Jambi, dan layak untuk disimak lebih lanjut. Begitu kira-kira gambaran situasinya.

Tentu saja, yang terjadi setelahnya adalah saya ngulik. Apakah benar ucapan dari teman saya tersebut mengenai kehadiran Semiotika (yang sebenarnya sudah melepas album debutnya, jauh sebelum obrolan saya dengannya) memang patut untuk disimak atau tidak, dan jawabannya adalah patut. Singkat cerita, menyaksikan sang trio dalam format digitalnya sudah saya hatamkan, selanjutnya saya mengincar format paling ideal, sebuah pertunjukan live. Semua atas nama rasa penasaran. Dan seperti diamini oleh semesta, pucuk dicinta ulam pun tiba.

Sepanjang tahun 2018, saya tiga kali menyambangi panggung Semiotika yang kebetulan sedang dalam rangkaian tur melewati pulau Jawa. Satu panggung di Bogor menjadi pengalaman pertama. Mereka main sore, tidak banyak yang menyaksikan mereka di bibir panggung kala itu. Setelahnya saya kembali menyambangi mereka di Bandung, tidak lama setelah panggung pertama. Dimaklumi, rangkaian tur tersebut mempunyai jadwal yang cukup padat.

 

Perjumpaan ditutup di Forest Stage milik Synchronize Fest. Sama seperti panggung mereka di Bogor, sore itu hidup saya diiringi oleh penampilan mereka. Setelahnya, kenangan saya akan keberadaan Semiotika perlahan meredup. Memori seakan berganti tempat dengan musik-musik lainnya yang hadir. Juga, tidak ada kabar terbaru dari mereka hingga tiga tahun berselang.

Sekarang, mari bicara mengenai Eulogi.

Tiga tahun berselang, memori tersebut kembali hadir di hidup saya dalam sebuah cakram padat berisikan sembilan nomor, di bawah titel Eulogi yang dinobatkan sebagai album penuh kedua dari Semiotika.

Semiotika resmi melepas Eulogi di penghujung bulan Juli lalu, juga sebagai jawaban bahwa mereka masih ada, tidak bubar, dan (tampaknya) masih akan terus melanjutkan perjalanannya dalam beberapa waktu ke depan. Sebagaimana yang disampaikan dari rilisan pers, bahwasanya Eulogi juga menjadi sebuah bentuk terima kasih dari Semiotika untuk mereka yang masih menunggu kehadiran Semiotika.

Ada nuansa Melayu yang kental di deretan repertoar dari album ini. Nuansa yang lugas dibuka sejak nomor pertama, “Salam”. Sebuah nomor yang juga turut memuat sebuah kolaborasi antara Semiotika bersama Lembaga Olah Seni dan Budaya (Jelmu) Kota Seberang dan Khairul. Jika ini memang dimaksudkan sebagai sebuah penanda identitas daerah, maka Semiotika berhasil menjahitnya dengan indah. Juga sebuah langkah tepat dari Semiotika yang memutuskan untuk menaruh nomor pertama tersebut di kanal YouTube mereka sebagai sebuah pembuka perjalanan dari rangkaian yang dihadirkan.

 

Sangat terasa sekali bahwa permainan instrumen dari Riri Ferdiansyah (bass), Yudhistira Adi Nugraha (drum) dan Billy ‘Bibing’ Maulana (guitar) memasuki level terbarunya di album ini. Kembali terasa ada kematangan di sana. Tidak hanya padu padan antar instrumen yang repetitif penuh energi, tapi ada cerita tersendiri di baliknya.

Akan ada banyak sekali interpretasi serta pemahaman yang berbeda jika berbicara mengenai karya-karya yang dihadirkan oleh sebuah unit post-rock dan turunannya, dan itu adalah hal yang lumrah. Permainan ambience serta ‘pamer’ skill menjadi tokoh utama. Sebagaimana yang saya tangkap dari Eulogi, yang memaksa saya untuk mengulang-ulang album tersebut di akhir pekan lalu hingga akhirnya saya menemukan interpretasi saya sendiri, yang mungkin bisa saja berbeda dari yang lainnya.

Agak sulit jika membayangkan bagaimana bisa-bisanya Semiotika menyelesaikan seluruh proses penggarapan dari album ini dalam waktu singkat, yakni hanya satu bulan saja. Semiotika kembali membuktikan bahwa tiga kepala cukup untuk menyajikan deretan materi yang berpadu harmonis antara gitar, bas serta drum, sebagaimana yang mereka lakukan di Ruang (album pertama) dan Gelombang Darat (mini album).

Juga, saya sangat mengapresiasi langkah Semiotika untuk memutuskan melepas album ini dalam format fisiknya terlebih dahulu timbang dalam sebuah format digitalnya.

Saya kembali diingatkan, bahwa musik yang indah bisa hadir dalam banyak bentuk, juga dari sebuah kota yang tidak disangka akan keberadaannya. Dan itu adalah Semiotika, trio post-rock asal Jambi. Semoga tidak butuh tiga tahun tambahan untuk kembali menyimak Semiotika – atau sekedar membawanya kembali ke ingatan.

Satu lagi album Indonesia terbaik versi saya di tahun ini.


 

Penulis
Raka Dewangkara
"Bergegas terburu dan tergesa, menjadi hafalan di luar kepala."
2 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] rilisan penting dalam kurun waktu ini, salah satunya adalah Semiotika yang di tahun 2016 merilis debut albumnya yang berjudul Ruang. Dampaknya juga cukup signifikan bagi […]

trackback

[…] rilisan penting dalam kurun waktu ini, salah satunya adalah Semiotika yang di tahun 2016 merilis debut albumnya yang berjudul Ruang. Dampaknya juga cukup signifikan bagi […]

Eksplor konten lain Pophariini

Wawancara Eksklusif Ecang Live Production Indonesia: Panggung Musik Indonesia Harus Mulai Mengedepankan Safety

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Pophariini masih banyak menghadiri dan meliput berbagai festival musik di sepanjang tahun ini. Dari sekian banyak pergelaran yang kami datangi, ada satu kesamaan yang disadari yaitu kehadiran Live Production Indonesia. Live …

Daftar Label Musik Independen dari Berbagai Kota di Indonesia 2024

Berbicara tentang label musik tentu bukan hal yang asing lagi bagi siapa pun yang berkecimpung di industri ini. Mengingat kembali band-band yang lekat dengan label raksasa sebagai naungan, sebut saja Dewa 19 saat awal …