Saksikan Awal Dunia Musik Baru bersama Goodnight Electric

May 8, 2020
Goodnight Electric

Saat Goodnight Electric terakhir mengeluarkan album, dunia masih sangat berbeda. Ketika merilis album kedua Electroduce Yourself di tahun 2007, Susilo Bambang Yudhoyono tengah menjalankan masa jabatannya yang pertama sebagai Presiden Republik Indonesia, MySpace sedang menjadi media sosial yang paling populer terutama di kalangan musisi, dan YouTube masih berada di awal masa pertumbuhan.

Di tengah semua itu, Goodnight Electric, proyek musik elektronik yang didirikan Henry Irawan pada tahun 2004 itu, masih menikmati kejayaan sebagai salah satu pengisi acara pentas seni yang paling diminati berkat larisnya album perdana Love and Turbo Action yang dirilis di tahun 2005.

Namun seperti halnya banyak band independen Indonesia yang seangkatan seperti The Adams, Sore dan The Brandals, Goodnight Electric pun mengalami masa stagnan yang disusul dengan jeda panjang sekitar tahun 2012-2015, di mana para personelnya – Henry Irawan alias Henry Foundation sang vokalis dan pencipta lagu yang lebih sering dipanggil Batman oleh teman-temannya, serta duo pemain synthesizer dan vokalis latar Narpati “Oomleo” Awangga dan Mateus “Bondi Goodboy” Bondan – sibuk dengan kehidupan dan pekerjaan masing-masing.

Barulah di tahun 2016 Goodnight Electric mulai bergerak lagi lewat partisipasinya di Radio of Rock Tour yang diselenggarakan Oomleo bersama RURUradio, stasiun radio online di bawah naungan Ruangrupa, kolektif seniman urban di mana Batman dan Bondi pun kerap terlibat.

Respons positif yang didapat dari tur itu menggugah Goodnight Electric untuk menggelar berbagai aktivitas, seperti mengumpulkan materi lagu lama yang langka dan terlupakan ke dalam kompilasi The Electronic Renaissance, yang juga menjadi judul pameran memorabilia yang mereka adakan secara bersamaan pada tahun 2018.

Lalu pada Agustus 2019, Goodnight Electric merilis single “VCR”, materi pertama mereka yang benar-benar baru sejak kembali aktif. Selain menarik perhatian karena sudah lama tidak mengeluarkan lagu baru, ada satu lagi kejutan yang dipersembahkan Goodnight Electric melalui “VCR”: setelah dua album dan satu kompilasi double CD yang semua lagunya berbahasa Inggris, ini adalah lagu pertama Goodnight Electric di mana Henry Foundation menyanyikan lirik bahasa Indonesia.

Dua bulan kemudian “VCR” dilepas dalam format piringan hitam 7” bersama “Erotika”, single berikutnya yang juga berbahasa Indonesia. Kedua lagu ini menampilkan vokal latar oleh Priscilla Jamail dari grup indie popMonday Math Class yang kemudian menyumbang suaranya ke lagu-lagu di album Naif dan Rumahsakit. Priscilla pun mulai meramaikan panggung-panggung Goodnight Electric menjelang akhir 2019.

Di akhir 2019 pula, Goodnight Electric menjalin kerja sama dengan Believe Artist Services & Development, yang membantu mereka dalam menyusun strategi promosi dan pemasaran, di samping mendistribusikan karya-karya mereka secara digital. Itu menjelaskan kenapa Goodnight Electric menjadi jauh lebih aktif di media sosial belakangan ini, karena ini adalah bagian dari adaptasi mereka terhadap lanskap dunia musik yang benar-benar berbeda dibanding terakhir kalinya mereka seaktif ini.

Dari kerja sama dengan Believe ASD ini, lahirlah Misteria, album baru Goodnight Electric yang berisi enam rekaman baru plus “Erotika” dan “VCR” sebagai lagu bonus. Di Misteria, yang resmi dirilis pada 7 Mei lalu, Goodnight Electric diperkuat oleh dua anggota baru yang juga familier bagi yang menyimak kancah musik Jakarta dalam 15 tahun terakhir. Pada gitar ada Andi “Hans” Sabarudin, yang bisa mengadakan festival sendiri dari band-band yang pernah menjadikannya anggota atau musisi tambahan, termasuk The Upstairs, C’mon Lennon dan Pandai Besi.

Goodnight Electric

hitam putih: Goodnight Electric edisi nge-band

Sementara itu, di bas ada Vincent Rompies, mantan anggota Club Eighties yang dalam setahun terakhir sepertinya sudah gatal untuk bermain musik tak hanya di acara bincang-bincang Tonight Show yang dibawakannya. Dengan kehadiran Hans dan Vincent, maka bergeserlah musik Goodnight Electric dari synth pop yang terdapat di album-album lama menuju teritori indie pop yang lebih mencerminkan pengaruh band-band seperti New Order, Depeche Mode era Violator, dan album Disintegration-nya The Cure. Materi lagu baru di Misteria pun terdengar lebih lembut dan sendu, ketimbang dua album sebelumnya yang serba ceria.

Formasi baru Goodnight Electric ini tampil perdana pada acara peluncuran single “-Dopamin” (dibaca “Minus Dopamin”) pada awal Maret lalu. Namun dengan adanya pandemi COVID-19 yang melanda dunia, maka berbagai rencana Goodnight Electric pun terhambat, termasuk rekaman untuk album berikutnya.

Alhasil, Goodnight Electric menjadi rajin membuat konten untuk media sosial, seperti pembuatan versi akusik lagu lama “Rocket Ship Goes By” oleh Hans, Vincent dan Priscilla. Mereka menjuluki diri sebagai The Other Three, yang terinspirasi oleh Stephen Morris dan Gillian Gilbert, pasangan anggota New Order yang juga membuat proyek bernama The Other Two. Pesta rilis Misteria pun dilakukan dalam bentuk bincang-bincang melalui live stream YouTube, karena sedang tidak memungkinkan mengadakan pertunjukan khusus seperti yang sebelumnya.

Karena kondisi juga tidak kondusif untuk bertemu langsung, maka wawancara ini diselenggarakan pada awal Mei melalui video call, di mana saya berbicara dari ruang kerja rumah di Cinere, Depok, dan Batman dari studio pribadi kediamannya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta yang dihuni bersama istrinya, Nasta Sutardjo, serta putri dan putra mereka, Kiwi dan Ico.

Sambil mengisap vape dan ditemani kucing piaraan yang mondar-mandir di latar belakang, Batman bercerita tentang proses kembalinya Goodnight Electric ke dunia di mana Joko Widodo memasuki masa jabatan keduanya sebagai Presiden Republik Indonesia, MySpace sudah punah dan YouTube telah menjadi platform konten utama.

Goodnight Electric lama menghilang karena jenuh dan sibuk. Apa pemicu semangatnya kembali?

Pemicu awalnya pas habis dari Radio of Rock Tour yang kedua, 2016. Melihat ternyata demand-nya masih banyak. Ya sudah, kami bikin sesuatu yang baru. Cuma, karena materi lagu baru belum terlalu banyak, dan energinya belum terkumpul semuanya untuk bikin dari bawah, akhirnya kami rilis dulu The Electronic Renaissance. Kami rilis materi yang abandoned tracks, b-sides, terus bikin pameran. Itu pertamanya comeback. Sembari rilis Electronic Renaissance, kami bikin “VCR” dan “Erotika”.

Apa yang menjadikan “VCR” sebagai pilihan pertama untuk kembali di era baru ini?

[Tertawa] Enggak ada, sih. Memang itu doang lagunya, waktu itu. Sudah bikin demo banyak, cuma yang sudah kebentuk strukturnya si “VCR” sama “Erotika”. Cuma, waktu itu pakai produser dari luar karena selama ini belum pernah kerja sama produser lain, selalu kerja sendiri. Sebenarnya banyak mencari kandidat, cuma yang keluar akhirnya Randy (Danistha, pemain keyboard Nidji yang juga banyak menggarap scoring film bersama tim Stevesmith Production). Tujuannya pakai produser, biar kami dapat suasana baru, buat men-trigger kami untuk bisa on fire. Ternyata berhasil; setelah bikin “”VCR” dan “Erotika”, terutama gue, jadi on fire banget. Jadi banyak bikin lagu. Cuma, karena keterbatasan bujet, kami enggak bisa hire produser lagi untuk semua lagu yang kami bikin. Akhirnya back to produce sendiri sejak “-Dopamin”.

Goodnight Electric

Goodnight Electric extended: Om Leo, Vincent, Batman, Hans, Bondi Goodboy / foto: Agung Hartamurti

Apakah sejak awal sudah ada rencana membuat EP atau sambil jalan?

Memang, kami berencana ingin punya album. Pas kebetulan “VCR” dan “Erotika” selesai produksi, kami berpikir bagaimana caranya distribusi digital. Karena selama ini, pas kami comeback, dunia sudah beda, eranya sudah beda, distribusi beda. Akhirnya pas cari tahu, ketemulah Believe. Believe itu ternyata punya divisi baru yang namanya ASD. Pas kami mengajukan, pas banget mereka mencari artis elektronik, dan kami mencari aggregator. Akhirnya ketemu di tengah dan kerja sama eksklusif. Tapi memang ada kontraknya; kami harus bikin 12 lagu, satu album atau dua EP. Makanya ada target dan bikin lagu banyak.

Selama ini Goodnight Electric enggak pernah pakai target?

Enggak ada! [Tertawa] Tapi kalau enggak begitu, enggak jadi.

Apalagi sekarang sudah berumah tangga dan sibuk.

Ya, karena ada kontrak jadi harus ngegas. Tapi enggak jadi hambatan, enggak jadi pressure. Karena kontraknya fleksibel, dan orang Believe-nya asyik. Kebetulan sudah on fire, sudah mulai banyak lagu baru, jadi enak. Malah pingin banget kerjakan yang tujuh lagu lagi (untuk album berikutnya).

Memang dari awal targetnya mau mengeluarkan album bulan Mei ini?

Waktu rilis “-Dopamin” memang sempat mention mau rilis April dalam bentuk EP. Pokoknya sempat bilang mini-album. Masuk ke COVID, pertimbangan lagi, kan. “Apa mau rilis setelah Lebaran saja?” kata mereka. Gue pikir kalau habis Lebaran masih COVID juga enggak berpengaruh. Enggak bisa bikin release party, enggak bisa bikin showcase. Sama saja bohong. Mendingan rilis saja. Memang jadi mundur, dari April jadinya Mei, cari tanggal yang baik.

Maksud gue, dibanding dari “-Dopamin” enggak ada aktivitas di media sosial…karena sekarang saatnya kami di rumah semua, memaksimalkan media sosial untuk buat konten. Kami kasih segala macam konten di media sosial dibanding menunggu Lebaran terus ternyata kondisinya sama saja.

Bisa dibilang sekarang orang jadi rajin bikin konten karena terpaksa dan enggak ada kerjaan lain. Sepengamatan saya, dari sekitar setahun terakhir ada-ada saja musisi seusia Goodnight Electric atau sekitarnya yang mengeluh kenapa harus banyak bikin konten dan tak cukup bermusik saja. Bagi Anda pribadi, apakah itu hal yang biasa saja? Atau justru tertarik membuat berbagai hal?

Ya, itu menarik. Pas kami comeback, kami enggak tahu apa-apa soal era sekarang. Akhirnya Believe yang sebagai konsultannya. Mereka yang menyuruh kami untuk jadi media sosial banget. Bikin musik, showcase, main live, itu memang tanggung jawab sebagai musisi. Tapi kegiatan secara media sosial juga harus update. Orang ingin lihat proses lo berkarya dan apa yang lo lakukan di rumah. Ini untuk boost engagement kami sama mereka, terus akhirnya end up mereka akan klik lagu-lagu kami di semua platform musik digital. Kami aktif, mereka langsung lari ke Spotify dan segala macam.

Goodnight Electric bawakan single baru “VCR”

Makanya setahun terakhir Goodnight parah dan kayaknya aktif banget. Sebenarnya gue agak syok, karena gue enggak yang banci tampil banget. Jarang selfie, enggak bisa menulis caption yang bagus kayak Jimi (Multhazam, vokalis The Upstairs) atau mengajak audience berinteraksi. Jadi gue belajar seadanya, tapi disarankan kalau ada orang yang tanya, dijawab. Ada orang yang post di IG Stories terus mention, kalau bisa di-post lagi terus respon pakai stickers. Makanya Stories-nya Goodnight sudah kayak titik-titik. Kadang-kadang sampah banget.

Sangat berbeda dibanding zaman dulu!

Ya, diaktifkan semua akun media sosial yang ada. Twitter ada lagi, Facebook juga. Of course Instagram. Terus terakhir mereka bilang TikTok! [Tertawa] Dia kasih tahu, “Lihat tuh Dipha Barus, Feast,” segala macam. Pokoknya artis-artis yang bikin TikTok. Cuma gue sampai sekarang belum mampu! [Tertawa] Masih belum bisa kayak Dipha Barus yang joget-joget. Tapi kalau konten lo viral, mereka akan lari ke toko digital. Gue akui berat, update media sosial.

Tapi membuahkan hasil, kan?

Membuahkan hasil, sih.

Kalau enggak ada hasilnya, buat apa juga?

[Tertawa] Butuh energi khusus, memang.

Setidaknya sedang di rumah semua, jadi ada waktu luang banyak untuk itu.

Yoi, benar.

Di album ini berbahasa Indonesia semua, seperti halnya “VCR” dan “Erotika”. Ini bisa dibilang pertama kalinya Anda mulai menulis dalam bahasa Indonesia. Apa kendalanya dan hal baru yang ditemukan dalam proses ini?

Kendala pertama, temanya. Lumayan susah: mau menulis tentang apa, ya? Kalau untuk menulisnya sendiri, gue masih belajar banyak. Gue mengobrol sama Jimi, dia kasih saran. Sebenarnya, lumayan seru. Kayak mengulik sesuatu yang baru, mainan baru. Gue sekarang punya aplikasi KBBI di handphone! [Tertawa] Ada Rima Kata, segala macam. Jadi tahu banyak kata bahasa Indonesia yang ajaib-ajaib! [Tertawa]

Goodnight Electric: Henry, Gondy, OmLeo. Foto: dok. Goodnight Electric

Selama ini, kenapa enggan membuat lagu berbahasa Indonesia, selain diledek jadi terdengar mirip Tipe-X?

[Tertawa] Caranya nyanyinya, sebenarnya. Tarikan vokalnya. Kalau menulis liriknya enggak terlalu. Tapi karena suara gue agak berat…makanya waktu membawakan lagunya Naif (untuk kompilasi Mesin Waktu: Teman-teman Menyanyikan Lagu Naif di tahun 2007), yang akhirnya jadi “Just B”, mestinya “Aku Rela”. Tapi tarikan vokal gue, “Kok kayak Tipe-X, Bat, kedengarannya?” [Tertawa] Soalnya suara gue berat.

Berarti sekarang sudah gampang membuat lagu berbahasa Indonesia?

Enggak gampang banget, tapi sudah terbiasa. [Tertawa] Sebenarnya gue sudah bikin untuk Frigi Frigi (proyek duo absurdnya bersama kurator Frigidanto Agung sebagai vokalis), tapi asal-asalan saja. Kalau Goodnight, ada garis-garis yang enggak boleh gue tabrak. Kalau Frigi Frigi bisa kacau banget, kan. Kalau di Goodnight, masih ada frame yang harus dijaga! [Tertawa]

Saat “VCR” keluar, itu lagu Goodnight Electric pertama yang berbahasa Indonesia. Apakah sempat khawatir atau deg-degan terhadap reaksi pendengar?

[Tertawa]Ada banget, parah. Tapi harus rilis. Ini buat tes bagaimana respon orang-orang. Tapi sebelum rilis sudah gue lempar ke Nasta; ke Randy of course, dan Randy juga sudah terbiasa dengan bahasa Indonesia; ke anak-anak Goodnight. Teman-teman dekat, lah. Ada sebagian yang, “Aneh juga, ya. Enggak masalah berbahasa Indonesia, cuma kita enggak biasa dengar suara lo dengar bahasa Indonesia.” Jadi bukan mengomentari liriknya, tapi cara gue nyanyi. Dan memang beda banget pas nyanyi lirik bahasa Inggris sama bahasa Indonesia, kayak tiba-tiba beda.

Kayak kemarin Polyester Embassy juga rilis pakai bahasa Indonesia, yang “Parak”. Tiba-tiba suara Elang (Eka Permana, vokalis Polyester Embassy) juga terdengar beda, karena nyanyinya beda! [Tertawa] Itu memang aneh.

Priscilla sudah ikut bantu dari “VCR” dan “Erotika”. Kalau Vincent dan Hans, apa dasarnya mengajak mereka?

Kalau Hans memang dari awal. Sebelum “Erotika” ada satu lagu lagi yang masih demo, dan gue sempat mengajak dia untuk workshop. Cuma, karena masih belum terlalu puas, akhirnya pending. Pas “VCR” dan “Erotika” direkam, karena porsi gitarnya masih belum terlalu banyak, jadi gue enggak pakai dia. Setelah itu selesai, pas bikin “-Dopamin” gue calling lagi karena memang butuh porsi gitar banyak. Gue calling dia untuk kerjakan “-Dopamin” dan sisanya di Misteria. Itu banyak gitar banget.

Kalau Vincent, enggak sengaja. Gara-gara pas terakhir main bareng di Tiba-tiba Suddenly Pensi, kan chaos. (Di acara yang turut menampilkan Goodnight Electric ini, Vincent bermain tiga lagu bersama Club Eighties namun berakhir dengan sebuah insiden yang kurang mengenakkan. Simak wawancara Vincent di vlog Soleh Solihun kalau mau tahu lebih lanjut.) Gue sempat menenangi dia, terus besoknya dia telepon gue: “Eh Bat, thank you sudah menenangi gue.” Ngobrol, terus ending-nya malah, “Ngeband, yuk! Gue sudah bosan banget!” Mungkin dari kefrustrasian dia, dia ingin bikin sesuatu. “Boleh banget, ayo kita bikin. Cuma, gue lagi garap album Goodnight. Gue garap Goodnight dulu, kali ya?” “Ya sudah, boleh. Habis Goodnight, deh.”

 

Akhirnya gue harus proses produksi Goodnight, terus gue pamit. Anjing, ternyata gue butuh bas juga! Gue calling dia: “Eh, apa lo isi bas dulu saja buat Goodnight? Kalau mau, rekaman kita.” Dia semangat banget: “Ayo, boleh, boleh!” Dia ke studio, rekam. Ternyata enggak cuma satu lagu, beberapa lagu: “Ya sudah, sikat!” Ternyata dia semangat dan senang juga. Kayaknya dia butuh challenge baru. Gue sempat mengontrak lama di Cipete. Dia senang banget, makanya main melulu ke sana. Enggak ada rekaman pun dia main.

Itu mengontrak untuk mengerjakan lagu-lagu ini? Biar lebih fokus?

Iya, benar banget. Gue butuh keluar dari comfort zone, dari studio gue yang sekarang ini. Ternyata berhasil; pas keluar, banyak banget bikin lagu, menulis, segala macam. Tadinya mau sampai kelar, tapi tiba-tiba ada karantina dan langsung keluar dari sana. Daripada gue bayar kontrakan tapi gue enggak ke sana, mending gue cut dan gue bawa barang-barang. Akhirnya cuma empat bulan. Mestinya sampai Desember, atau sampai selesai.

Benar-benar tinggal di sana atau pulang pergi?

Pulang pergi kayak ke kantor.

Memang butuh kedisiplinan atau rutinitas?

Ya, gue butuh ada konflik-konflik kayak tiba-tiba lapar, enggak ada makanan. Perjalanan dari rumah ke sana naik Vespa, kehujanan, macam-macam. Gue perlu hal-hal kayak begitu, karena kalau di sini enggak pernah keluar kecuali kalau nge-DJ, dan itu baru malam.

Berarti semua lagu di album ini ada Vincent dan Hans?

Ya, dan Priscilla di satu lagu.

Ini juga sebenarnya lucu. Rencananya menyebutnya mini-album, tapi pas gue upload di backend-nya Believe, ternyata kalau delapan lagu itu masuknya LP. Gue baca-baca lagi kalau standarnya EP bukan dari track-nya, tapi dari menitnya. Jadi kalau semua track-nya di bawah 30 menit, itu EP. Tapi kalau di atas 30 sampai 40, itu sudah LP. Cuma di era digital, pas didaftar ternyata ditulis kalau single itu 1-2, terus EP masuknya 1-6 lagu, terus di atas enam jadinya LP. Jadi nanti pas masuk di toko-toko digital, dia bakal jadi album! [Tertawa]

Padahal sebenarnya kalau “VCR” dan “Erotika” tidak dimasukkan, tak apa juga dan jadinya enam lagu.

Ya, memang. Tapi gue sebenarnya ingin rilis fisik, dan gue sudah berencana memasukkan “ErotIka” dan “VCR”. Karena “Erotika” dan “VCR” belum punya rekam jejak CD, baru vinil saja. Jadi memang sudah rencana gue dari awal itu buat jadi bonus track. Makanya pas di digital, gue tulisnya bonus track.

Istilah bonus track itu kenapa? Karena merasa dua lagu itu adalah hal yang berbeda dari Misteria?

Ya, gue merasa bahwa “Erotika” dan “VCR” itu kayak chapter yang sebelumnya. Kan produksinya juga tahun 2019, dan dikerjakan bareng Randy. Rilisnya di 7″, tapi masih banyak orang yang ingin punya CD-nya, dan gue malas bikin CD cuma dua lagu! [Tertawa] Makanya gue masukkan sebagai bonus track di Misteria.

“Labuh” dan “Arah” itu hasil eksperimen modular?

Ya.

Kenapa dimasukkan ke album ini?

Karena Goodnight selalu punya lagu instrumental yang biasanya dipakai buat intro sebelum kami masuk. Dulu ada “A.S.T.U.R.O.B.O.T” di album pertama, terus di album kedua ada “Hello”. [Tertawa] Itu dipakai untuk cek sound sebelum kami main, putar lagu dulu untuk cek line-nya sudah keluar semua. [Tertawa] Makanya selalu punya lagu instrumental.

Kalau Bondi dan Oomleo terlibat dalam produksi juga?

Terlibat. Ada materi yang mereka buat, tapi belum rilis. Oomleo bermain pad, kalau Bondi lead dan sampling.

Di rekaman ini ada?

Ada. Yang “Saturn Girl” ada suaranya Bondi. Suara Bondi masih lumayan terdengar kayak gue, tapi beda frekuensinya. Oomleo si anjing, mau datang untuk rekaman suara tapi enggak datang-datang! [Tertawa]

Mari bahas lagu-lagunya. Selain sebagai intro, ada cerita apa lagi tentang “Labuh”?

Berkaitan dengan “Misteria”, kayak preludenya. Kata “labuh” sendiri dari lirik “Misteria”: “Bisakah ku berlabuh di sana?” Kalau “Arah” juga ada katanya di “Saksikan Akhir Dunia Bersamaku”.

“Misteria”?

“Misteria” sebenarnya demo lagu lama yang pernah gue rekam, gitar doang. Gue punya banyak demo yang cuma gitar atau vokal doang. Gue bongkar, dan “Misteria” awalnya demo jaman dulu, tapi bukan demo untuk Goodnight. Aslinya bahasa Inggris, akhirnya gue jadikan bahasa Indonesia. Lagunya memang basic-nya pas gue bikin ngeband banget, makanya menarik banget. Bukan yang model elektronik kayak “Saksikan” yang banyak synthesizer.

Untuk ukuran Goodnight Electric, ini termasuk yang paling pelan.

Iya. Enggak tahu kenapa, gue sekarang susah bikin yang upbeat. Pas Februari kemarin, “Mau yang mana dirilis duluan?”, gue tadinya sempat mengajukan “Saksikan” yang gelap banget. Cuma, anak-anak sama tim Believe bilang bahwa kalau awal tahun rilis lagi yang happy. Tapi lagu gue enggak ada yang happy! “-Dopamin” juga enggak happy, cuma beat-nya saja cepat. Lagunya enggak ada hook-nya, datar banget dan sedih, tapi upbeat saja. Mereka enggak masalah: “Ya sudah, ini saja dulu dikeluarkan.” Terserah yang mana! [Tertawa] Kalau gue sebenarnya ingin “Saksikan”, karena tiba-tiba ingin mengeluarkan yang gelap.

Sampai sekarang, dari tujuh lagu yang baru enggak ada yang happy, kecuali lagunya Bondi dan satu lagunya Hans, yang sebenarnya enggak happyjuga. Gepeng (nama panggilan Adhiya Fisma, manajer Goodnight Electric) pingin banget ada yang upbeat, cuma gue belum bisa.

Memang sedang susah membayangkan hal-hal yang happy?

Makanya dulu Goodnight mandek, karena sebenarnya gue mood gue sudah enggak kayak Goodnight Electric yang jaman dulu, berapi-api, joget-joget, segala macam. Jadi memang kayak, “Aduh, gue sudah enggak mood banget, nih.” Tapi akhirnya pas kami comeback, gue masih yang, “Gue sudah enggak bisa bikin lagu happy.” Yang disko, yang upbeat. Enggak tahu kenapa! [Tertawa] Nah, kalau “Saturn Girl” itu benar-benar fresh, baru. Kalau yang lain-lain rata-rata sketch demo lama.

Dari tahun berapa?

“-Dopamin” lama banget, tahun 2010 jaman VULT (Vague Under Lightning Tiger, proyek band yang sempat dibentuk Batman bersama Aprimela Prawidiyanti dari White Shoes & The Couples Company dan teman-teman lain). Kalau “Misteria” mungkin tiga tahun lalu. “Saksikan” juga dua tahun. Yang paling fresh “Saturn Girl” sama yang tujuh lagu yang ada di komputer sekarang ini.

“Misteria” tentang apa?

Gue memerhatikan anak-anak gue. Anak-anak gue sudah mulai dewasa, sering banget main. Apalagi anak gue yang cowok, fantasinya gila-gilaan. Ya, standar, lah, anak kecil punya dunianya sendiri. Gue kayak wondering, “Kayak apa, sih?” Dari situ awalnya, tapi akhirnya gue kembangkan secara global ke kisah gue ketemu orang baru. Misalnya, gue enggak kenal lo, lo bukan dari scene musik atau kayak orang-orang kebanyakan. Mungkin gue alien yang enggak tahu dunia lo. Kayak itu, sebenarnya: lo lebih baik dari gue atau lebih burukkah? Tapi trigger-nya melihat fantasi anak-anak gue bermain. Sedang apa mereka, sebenarnya? Soalnya kayak misteri banget buat gue, tapi ceria. Masih enggak tahu apa, tapi menarik. Ingin tahu lebih lanjut! [Tertawa]

Lanjut ke “-Dopamin”.

“-Dopamin” itu sebenarnya lagu VULT. Ada kayak lima lagu, gue rekam demonya doang. Sebenarnya gue senang banget, cuma kapan dikerjakan? Ketemu waktunya susah, kendala-kendala seperti itulah. Akhirnya pas buka demo-demo, salah satunya “-Dopamin”. Gue senang banget lagu ini, cuma sayang banget kalau menganggur dan enggak di-publish. Akhirnya gue putuskan untuk gue remake lagu sendiri, sebenarnya! [Tertawa] Remake lagu yang belum di-publish! Overall masih sama, cuma lebih banyak synthesizer. Kalau yang VULT gitar, drum sama bas, dan liriknya bahasa Inggris. Akhirnya gue ubah ke bahasa Indonesia.

Itu liriknya lucu, sebenarnya gue lagi riset mencari-cari inspirasi saja. Inspirasi gue sekarang banyak banget: nonton film, lihat anak-anak gue, baca buku, baca artikel di Internet, dengar lirik lagu lain. Nah, “-Dopamin” itu dari artikel “The Science of Missing Someone”. Kenapa banyak orang bisa rindu sama seseorang, bisa galau, segala macam, gue jadi tahu ternyata gara-gara ada faktor dopamin yang enggak tersuplai buat diri lo. Makanya gue tulisnya “-Dopamin”. Dopamin yang membuat kita happy, kan? Ini kebalikannya, kalau sedang missing someone, jadi depressed. Ya sudah, tulis liriknya based on gue saja, lah. Gue coba rasa zaman-zaman gue rindu sama orang. Yang paling gampang kan rindu sama pacar [tertawa], soalnya gue belum pernah kehilangan orang tua. Akhirnya lebih mencari feeling waktu pacaran.

Referensi musiknya lebih ke shoegaze, ya.

Ya, karena memang VULT awalnya lebih ke indie pop, shoegaze. Gue enggak bisa melepas gitar sama basnya, karena kayaknya hilang esensinya. Makanya, mau enggak mau harus ada gitar dan bas, terus synthesizer-nya gue patahkan. Lebih Goodnight, lah. Karena lagunya agak semi-full band, jadi referensinya kayak New Order karena kadang-kadang suka elektronik banget, kadang-kadang suka alternative banget.

Apa cerita di balik “Saksikan”?
Itu juga demo lama. Nadanya gelap banget, waktu itu liriknya bahasa Inggris dan enggak jauh beda sama yang bahasa Indonesia, dan cuma verse pertama, enggak ada chorus. Dikembangkan lagi. Selama ini Goodnight hits-nya lagunya happy, jadi ingin kasih lagu yang dark. Pas di saat bikin, gue lagi nonton It’s the End of the Fucking World yang Season 2. Oke, gue nonton itu, terus kayaknya bisa menyambung sama lagu yang “Saksikan”. Gue ambil esensi ceritanya. Karena kebetulan mood lagunya gelap dan filmnya gelap juga, gue menggambarkan couple yang ekstrem, enggak favorit. Ya, kayak di film itu. Mereka bukan couple sempurna, dibenci semua, dikucilkan. Jadi gue membayangkan itu, dan Sid & Nancy.

Entah kenapa, saat mendengar album ini sama sekali tidak membayangkan Goodnight Electric yang lama. Malah yang terbayang adalah andai Rumahsakit era Andri Lemes membuat album ketiga, jadinya akan seperti ini.

[Tertawa] Nah, balik lagi ke awal. Gara-gara yang Tipe-X yang dulu itu, gue takut bikin lagu pakai bahasa Indonesia. Sebenarnya pingin, tapi enggak berani. Mungkin karena vokal gue rendah. Pas memutuskan bikin “VCR” itu pertama kali pakai bahasa Indonesia, gue lumayan mencari bagaimana cara nyanyinya supaya orang enggak terjebak dibilang kayak Tipe-X. Pas bikin demo “VCR”, anak-anak kayak, “Hampir mirip tarikannya Upstairs, kayak Jimi!” [Tertawa] Soalnya kalau new wave jaman dulu kan rata-rata berat, dan kalau diterapkan memang sekilas terdengar kayak Jimi. Karena gue lagi pingin gabung indie pop dan Britpop, gue coba tarikannya indie pop dan Britpop. Gepeng bilang, “Anjing, kayak Rumahsakit!” [Tertawa] Gue ketawa-tawa, tapi memang enggak gue pungkiri kalau Rumahsakit dan Pure Saturday adalah band-band yang memengaruhi gue juga. Gue enggak masalah.

Sekarang “Saturn Girl”.

Dari anak gue juga. [Tertawa] Ada baju yang dia suka pakai. Gambarnya Saturnus. Itu trigger awalnya. Kayak “Misteria”, gue masih belum bisa menulis lagu tentang anak-anak gue [tertawa], jadi akhirnya gue larikan ke yang ada di “Saturn Girl”. Pas lihat baju anak gue yang cewek yang ada gambar Saturnus, gue perhatikan planet Saturnus memang paling unik di solar system. Ada cincin-cincin, tapi terpisah. Itu jadi inspirasi gue, jadinya lebih kayak cerita pertemanan. Yang gue tulis itu lebih kayak yang lingkar luar itu teman lo: “Gue melingkari lo, gue enggak akan ke mana-mana, selalu ada buat lo. Lo bisa lempar semua keluh-kesah lo.”

Konser Goodnight Electric di auditorium Ruang Rupa

Kocak sih, kenapa bisa menulis tentang yang kayak itu sekarang. Kalau di album-album awal banyak yang nonsense. [Tertawa] Tadinya mau “Gadis Saturnus” tapi kayaknya enggak masuk. [Tertawa] Bisa saja, tapi kata Gepeng, “Jangan!”

Apa evaluasi dari pertunjukan terakhir yang juga pertunjukan perdana dengan formasi yang lebih lengkap ini?

Secara keseluruhan seru. Bisa memecahkan solusi gue yang selama ini sebenarnya sudah bosan banget sama Goodnight [tertawa] pas ada format dengan Vincent dan Hans. Terus, kebetulan orang-orangnya menarik, dua-duanya. Sebenarnya gue pingin seluruh set dengan mereka, cuma karena keterbatasan waktu cuma bisa lima lagu. Nanti mungkin semua lagu bakal kami aransemen lagi, tapi yang sekiranya masuk akal. Jadi mungkin lagu-lagu di album pertama dan kedua enggak akan sebanyak itu.

Bagi Anda pribadi, album pertama dan kedua masih relevan secara musik dan tema? Atau sekarang cuma membawakannya untuk menyenangkan penonton?

[Tertawa] Itu sudah enggak relevan, kalau buat gue. Kadang-kadang gue sama anak-anak yang “Kok bisa gue bikin album begini?” [Tertawa] Mereka suka ketawa-tawa. Ya, gue enggak masalah. Itu kan kayak jejak rekam karya lo saja. Misalnya lo pelukis yang surealis, tiba-tiba sekarang abstrak. Gue enggak masalah kalau dulu musiknya synth pop banget dan sekarang bergeser ke pop. Gue melihat masih ada benang merahnya. Aman, lah. Realistis.

Pokoknya, memang sudah enggak terlalu relevan buat gue. Dari lirik, enggak semua lagu, tapi ada beberapa yang sudah bukan gue. Tapi kalau kayak “Rocket Ship Goes By”, makes sense dimainkan. Itu masih mewakili banget. Apalagi “Rocket Ship” kayaknya memang harus dimainkan. “Am I Robot?” sudah enggak relevan [tertawa], cuma karena sudah klasik, di live-nya Goodnight harus dimainkan.

Apakah album berikutnya belum mulai digarap sama sekali, selain mengumpulkan materi lagu?

Nah, itu dia. Belum, sih. Demonya sudah ada, cuma kalau enggak ada COVID mungkin kami sudah rekaman. [Tertawa] Gara-gara COVID, lagi pada on fire jadi enggak bisa apa-apa. Jadi mungkin Misteria harus dimaksimalkan.

Sejauh ini, sejak mulai menjalankan kembali Goodnight Electric hingga saat ini, apakah sudah mencapai apa yang diinginkan?

Waktu awal Goodnight, media sosial itu jamannya MySpace, terus Twitter. Pas kami comeback, eranya sudah berubah. Twitter sempat hilang, pokoknya Instagram banget. Akhirnya yang pertama dibikin itu akun Instagram, terus bagaimana caranya bisa orang notice sama kami. Tapi memang dulu, pelan banget jalannya karena enggak punya apa-apa. [Tertawa] Terus sekarang strateginya harus sedikit diubah. Salah satunya untuk bikin orang notice ya dengan bahasa Indonesia. Dibayangkan pas akhirnya “VCR” rilis dan bahasa Indonesia, pasti, “Bakal diomongkan, nih!” [Tertawa]

Ya, sesuai harapan, lah. Apalagi semenjak dibantu tim dari Believe. Channel kami lengkap.

Adakah nasihat yang bisa dikasih untuk teman-teman seangkatan yang sempat hilang dan ingin kembali lagi?

Kalau gue dapat pelajaran dari orang-orang Believe – karena mereka juga anak-anak milenial, jadi mereka mengerti strateginya – intinya lo bikin musik dan segala macam yang merupakan tugas lo sebagai musisi, tapi media sosial lo harus dimaksimalkan. Enggak harus soal musik. Bisa apa pun, bisa joget-joget kayak Dipha Barus. [Tertawa] Kehidupan lo di media sosial lain lagi sama kehidupan lo di musik. Musik itu rekaman, live dan segala macam. Media sosial sangat penting di jaman sekarang.

Sulitkah untuk mencari jalan agar bisa melakukan itu sambil menjaga agar jangan terlalu norak?

Itu dia, itu sulit, sih. Kayak TikTok, gue kayak, “Apa sih?” [Tertawa] Oomleo sama Bondi gue suruh kerjakan konten di Instagram saja suka malas-malasan! [Tertawa] Kalau terus terang, gue susah kalau TikTok. [Tertawa] Tapi (Believe) juga enggak memaksa. Kalau enggak sesuai, enggak apa-apa. Tapi mereka kasih suggestion bisa melakukan hal-hal seperti review alat musik, atau behind the scenes cara membuat apa, tutorial. Gue sudah mengerjakan Instagram, Twitter dan Spotify, tapi kewalahan untuk mengerjakan TikTok. TikTok doang sih yang enggak kepegang, tapi akunnya sudah ada! [Tertawa]

____

Penulis
Hasief Ardiasyah
Hasief Ardiasyah mungkin lebih dikenal sebagai salah satu Associate Editor di Rolling Stone Indonesia, di mana beliau bekerja sejak majalah itu berdiri pada awal 2005 hingga penutupannya di 31 Desember 2017. Sebenarnya beliau sudah pensiun dari dunia media musik, namun kalau masih ada yang menganggap tulisannya layak dibaca dan dibayar (terutama dibayar), kenapa tidak?
1 Comment
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Setelah dikenal sebagai personel Monday Math Class, Priscilla Jamail tahun ini mengagetkan jagat ‘perskenaan’ dengan muncul kembali bersama Goodnight Electric. […]

Eksplor konten lain Pophariini

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …

CARAKA Suarakan Berbagai Emosi di Album Terbaru NALURI

Unit pop asal Tegal, CARAKA resmi luncurkan album bertajuk NALURI (15/12). Melalui sesi wawancara yang berlangsung pada Senin (16/12), CARAKA membagikan perjalanan band dan hal yang melatarbelakangi rilisan terbarunya.     CARAKA merupakan band …