Sayangi Telingamu, Dengarkan Musik dengan Volume Sewajarnya

Mar 9, 2023
Volume musik

Beberapa dari kita tentu pernah melakukan hal ini: memasang earphone atau headset kesayangan kita ke kuping, lalu mendengarkan musik dengan volume yang keras, sekeras-kerasnya. Kalau perlu pasang dengan volume maksimal. Musik metal untuk memicu semangat, musik “pop galau” untuk menemani kita meratapi nasib karena dirundung nestapa.

Mendengarkan musik kencang-kencang dengan earphone atau headset memang menyenangkan. Seolah dunia sekitar menghilang, yang ada hanya kita dan musik yang kita dengarkan. Kebiasaan ini bisa menjadi ajang pelarian yang tepat untuk melupakan sejenak problematika yang ada di sekitar kita.

Namun, kebiasaan mendengarkan musik kencang-kencang—baik di speaker alias pelantang suara, maupun earphone/headset—itu sebenarnya amat berbahaya. Kenapa? Karena kebiasaan itu bisa memicu hearing loss alias gangguan pendengaran.

Kebiasaan mendengarkan musik kencang-kencang—baik di speaker alias pelantang suara, maupun earphone/headset—itu sebenarnya amat berbahaya karena bisa memicu hearing loss alias gangguan pendengaran

Apa itu hearing loss alias gangguan pendengaran? Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Seseorang yang tidak dapat mendengar sebaik seseorang dengan pendengaran normal – ambang pendengaran 20 dB atau lebih baik di kedua telinga – dikatakan mengalami gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran mungkin bisa ringan, sedang, atau berat. Ini dapat memengaruhi satu telinga atau kedua telinga, dan menyebabkan kesulitan dalam mendengar percakapan atau suara keras.

Gangguan pendengaran adalah masalah kesehatan yang serius dan harus mendapat perhatian lebih karena ini dapat memengaruhi kualitas hidup seseorang. Menurut data WHO, Pada tahun 2050, hampir 2,5 miliar orang diproyeksikan akan mengalami gangguan pendengaran pada tingkat tertentu dan setidaknya 700 juta akan membutuhkan rehabilitasi pendengaran. Lebih dari 1 miliar orang dewasa muda (adults) berisiko mengalami gangguan pendengaran permanen—yang sebenarnya dapat dihindari—karena praktik mendengarkan yang tidak aman.

Gangguan pendengaran ini sebenarnya tidak hanya bisa dipicu oleh musik yang disetel dengan volume maksimal. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) sebagai badan Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat Amerika Serikat, di luar musik, sebenarnya semua suara yang memiliki intensitas suara tinggi dapat memicu munculnya gangguan pendengaran.

CDC mengklasifikasikan intensitas suara ini ke tiga bagian, yaitu 1) Aktivitas keseharian, seperti mendengarkan musik dari gawai dan perangkat pendengar pribadi, terutama saat volume disetel mendekati maksimum, kelas fitness, dan mainan anak-anak. 2) Acara atau Events, seperti konser, restoran dan bar, acara olahraga seperti sepak bola dan hoki, acara olahraga bermotor seperti pertunjukan truk monster, balap mobil atau motor, dan nonton di bioskop. 3) Peralatan dan lain-lain, seperti alat-alat listrik, mesin pemotong rumput bertenaga gas dan peniup daun, sirene, senjata api, hingga petasan.

Gangguan pendengaran ini sebenarnya tidak hanya bisa dipicu oleh musik volume maksimal. Sebenarnya semua suara yang memiliki intensitas suara tinggi dapat memicu munculnya gangguan pendengaran. Seperti acara atau events dan peralatan bising.

Suara diukur dalam desibel (dB). Bisikan pelan ke telinga kita terukur sekitar 30 dB, percakapan normal sekitar 60 dB, dan mesin sepeda motor berjalan sekitar 95 dB. Kebisingan di atas 70 dB dalam waktu lama dapat mulai merusak pendengaran kita. Kebisingan keras di atas 120 dB dapat menyebabkan kerusakan langsung dan permanen pada telinga kita.

Seberapa keras sesuatu terdengar bagi kita tidak sama dengan intensitas sebenarnya dari suara itu. Intensitas suara adalah jumlah energi suara dalam ruang terbatas. Itu diukur dalam desibel (dB). Skala desibel adalah logaritmik, yang berarti kenyaringan tidak berbanding lurus dengan intensitas suara. Sebaliknya, intensitas suara tumbuh sangat cepat. Artinya, suara pada 20 dB sepuluh kali lebih kuat daripada suara pada 10 dB. Selain itu, intensitas suara pada 100 dB satu miliar kali lebih kuat dibandingkan dengan suara pada 10 dB.

Dua suara yang memiliki intensitas yang sama belum tentu sama kerasnya. Kenyaringan mengacu pada bagaimana kita merasakan suara yang terdengar. Suara yang terdengar keras di ruangan yang sunyi mungkin tidak akan terdengar saat kita berada di sudut jalan dengan lalu lintas yang padat, meskipun intensitas suaranya sama. Secara umum, untuk mengukur kenyaringan, suara harus dinaikkan sebesar 10 dB agar terdengar dua kali lebih keras. Misalnya, sepuluh biola akan terdengar hanya dua kali lebih keras dari satu biola.

Risiko merusak pendengaran kita dari kebisingan meningkat seiring dengan intensitas suara, bukan kenyaringan suara. Jika kita perlu mengeraskan suara agar terdengar dalam jarak dekat, tingkat kebisingan di lingkungan kemungkinan besar di atas 85 dB dalam intensitas suara dan dapat merusak pendengaran kita seiring waktu.

Untuk lebih memahami bagaimana suara memengaruhi kesehatan pendengaran kita, simak infografik berikut ini:

 

Dari infografik di atas, kita dapat menakar berapa desibel suara yang normal dan berada di zona aman untuk telinga kita, dan mana suara yang melebihi ambang batas aman sehingga bisa membahayakan.

  • Hingga 80 dB (hijau): tidak ada risiko untuk telinga, terlepas dari durasi paparan suara.
  • Dari 80 hingga 90 dB (kuning): kita semakin dekat ke zona bahaya, tetapi risikonya terbatas pada paparan yang sangat lama.
  • Dari 90 hingga 115 dB (merah): zona bahaya: semakin keras suaranya, semakin sedikit waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya kerusakan.
  • Di atas 115 dB (coklat), suara yang sangat singkat segera menyebabkan kerusakan permanen.

Setelah memahami batas ambang aman sebuah suara, kita harusnya bisa memperkirakan seberapa aman suara yang sedang terpapar ke kita, dan tindakan preventif apa yang dapat kita lakukan untuk menanggulanginya.

Kembali ke kebiasaan mendengarkan musik, terutama jika kita mendengarkan musik melalui earphone atau headset. Di infografik tersebut dijelaskan bahwa mendengarkan musik melalui kedua piranti tersebut berada di kisaran 70 dB hingga 100 dB. Dengan intensitas suara setinggi itu, apabila kita terpapar suara dalam waktu yang lama, maka lama-kelamaan kita bisa mengalami hearing loss.

Masalahnya sebenarnya adalah diri kita sendiri yang kerap abai dengan intensitas suara ini. Padahal di kebanyakan gawai canggih zaman sekarang, biasanya akan muncul notifikasi atau peringatan ketika kita mendengarkan musik dengan volume terlalu kencang dan di durasi yang lama semisal lebih dari satu jam. Kita kerap lebih mementingkan eargasm (baca: kepuasan telinga) ketimbang keamanan indera pendengaran kita.

Saya pernah ngetweet tentang bahaya kebiasaan mendengarkan musik kencang-kencang dengan earphone atau headset. Lalu seorang pengguna Twitter dengan nama akun @nugiwinki membalas cuitan saya tersebut. Poin dari cuitan balasannya adalah bahwa ia mengalami hearing loss karena kebiasaan mendengarkan musik kencang-kencang melalui headset. Ia mengatakan bahwa sekarang kondisi telinganya sudah buruk, salah satu telinganya mengalami kerusakan permanen, tersisa satu telinga sehat yang ia jaga agar tetap sehat. Berkaca dari kejadian yang menimpa @nugiwinki, kita seharusnya sudah cukup sadar, kan. Bahwa sebelum menyesal kemudian, kita harus melakukan tindakan preventif.

 

 

Lalu langkah apa saja yang harus kita lakukan untuk menjaga indera pendengaran kita dan menghindari hearing loss? Pertama, Kita harus sadar terlebih dulu bahwa terpapar suara dengan intensitas tinggi itu berbahaya. Dengan membaca tulisan ini sampai di titik ini kita harusnya sudah bisa sadar ihwal kesehatan pendengaran.

Kedua, kita harus mulai mengubah kebiasaan kita. Ketika mendengarkan musik melalui earphone atau headset kita bisa menyetel musiknya dengan intensitas di bawah 80 dB. Itupun harus diberi batas waktu, atau kita bisa mengistirahatkan kuping kita sejenak setelah mendengarkan musik misalnya selama satu jam.

Sayangi telingamu! Dengarkan musik dengan volume suara sewajarnya! Karena setali tiga uang dengan organ tubuh lainnya, telinga adalah organ yang sangat penting

Ketiga, melakukan tindakan preventif. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Maka, sebisa mungkin kita harus menghindari kebisingan yang berlebih. Saat menonton konser musik atau festival musik misalnya, di mana intensitas suaranya bisa berkisar 85 dB hingga 115 dB, ada baiknya kita mengistirahatkan sejenak kedua telinga kita apabila kita merasa suara di sekeliling kita sudah mulai mengganggu kenyamanan. Misalnya mengenakan (baca: menyumpal) telinga kita dengan earbud, atau rehat sekejap di sudut venue yang agak lebih sepi dan jauh dari sumber suara.

Tindakan preventif bisa juga dimulai dengan mengetahui seberapa bising lingkungan di sekitar kita. Setelah mengetahui bahwa tempat kita berada sangat bising, kita bisa mencari cara bagaimana menanggulangi kebisingan itu. Untuk mengetahui kadar kebisingan di sekitar, kita bisa menggunakan piranti lunak di ponsel pintar kita. Misalnya Sound Meter di ponsel Android, atau NIOSH Sound Level Meter di ponsel iOS.

Sayangi telingamu! Dengarkan musik dengan intensitas suara sewajarnya! Karena setali tiga uang dengan organ tubuh lainnya, telinga adalah organ yang sangat penting. Jika telinga kita terpapar suara dengan intensitas tinggi terlalu lama, seperti suara pesawat lepas landas yang intensitasnya bisa sampai di atas 120 dB, telinga kita bisa mengalami irreversible damage alias kerusakan permanen yang tidak dapat diubah (baca: disembuhkan).

Mengutip dan memodifikasi lirik lagu “Jagalah Hati” yang dibawakan AA Gym, “jagalah kuping! Jangan kau kotori. Jagalah kuping! Ciptaan Sang Ilahi.”


 

Penulis
Aris Setyawan
Etnomusikolog dan musikus. Co-founder dan editor Serunai.co. Bercerita di arissetyawan.com.

Eksplor konten lain Pophariini

5 Kolaborasi yang Wajib Disimak di Jazz Goes to Campus 2024

Jazz Goes to Campus akan digelar hari Minggu (17/11) di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Tahun 2024 merupakan pergelaran ke-47 festival tahunan ini.     View this post on Instagram   A post …

Antara Musik, Visual, dan Sekitarnya (oleh: Sari, Rio, John, Mela, Ricky, Saleh WSATCC)

White Shoes & The Couples Company (WSATCC) dibentuk pada 2002 di kampus Institut Kesenian Jakarta di wilayah Cikini, Jakarta Pusat. Sari, Rio, Saleh menempuh studi di jurusan Seni Rupa dan Desain, sedangkan Ricky, Mela, …