Sejauh Ini Apa Dampaknya Ada Perwakilan Musisi di DPR?

Jun 22, 2023
Musisi DPR

Praktik perwakilan musisi/selebritas di DPR ini sudah menjadi sesuatu yang menggurita di kancah perpolitikan Indonesia, setidaknya dalam dua dekade terakhir. Yaitu partai politik menjagokan kaum selebritas sebagai calon politisi yang akan mewakili nama mereka di tampuk kekuasaan. Para selebritas ini berasal dari beragam bidang: pelaku seni peran baik film atau sinetron, pesohor yang sebenarnya tidak punya prestasi apa pun selain sensasi yang beredar di masyarakat, dan tidak ketinggalan musisi.

Kenapa partai politik gemar memilih pesohor menjadi bakal calon yang mereka ajukan di ranah legislatif? Jawabannya agak sederhana: para pesohor ini terkenal. Maka, mereka dicalonkan karena masyarakat sudah mengenal dan cukup familiar dengan mereka yang wajahnya kerap muncul di televisi atau media lainnya. Harapannya, dengan mencalonkan kaum selebritas mereka dapat merebut hati konstituen, agar memilih mereka.
Fenomena ini memang tidak main-main. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sampai memasukkan “selebritas politik” di perbendaharaan kata mereka yang berarti “selebritas yang terjun ke dalam panggung politik”.

Fenomena ini memang tidak main-main. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sampai memasukkan “selebritas politik” di perbendaharaan kata mereka yang berarti “selebritas yang terjun ke dalam panggung politik”

Sesuai dengan trias politika, sistem pembagian kekuasaan Negara yang dianut Indonesia, yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu eksekutif (presiden, menteri), legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR), dan yudikatif (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi), lazimnya para pesohor ini mencalonkan diri—atau dicalonkan partai politik—untuk menjadi legislator di DPR.

Tulisan ini akan fokus membahas para musisi yang pernah/telah menjabat sebagai anggota legislatif, serta musisi yang sedang dalam proses mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, baik di DPR Pusat, maupun daerah (DPRD).
Pertanyaan pertama yang muncul adalah: Sejauh ini apa dampaknya ada perwakilan musisi di DPR?

Pertanyaan ini penting karena sebagai legislator, tugas mereka adalah menjadi perwakilan rakyat. Mereka adalah perpanjangan tangan rakyat, dan tugas mereka menyusun undang-undang dalam rangka mengatur kehidupan bermasyarakat yang berkeadilan dan melindungi hak-hak rakyat.

Pertanyaan pertama yang muncul adalah: Sejauh ini apa dampaknya ada perwakilan musisi di DPR?

Secara spesifik, tulisan ini juga hanya akan membahas sejauh mana dampak perwakilan musisi di DPR ini terhadap perkembangan musik di Indonesia. Baik tata kelola industri musik, perkembangan penciptaan atau pengkaryaan musik, hingga pemenuhan hak-hak musisi di Indonesia.

Lalu siapa saja musisi yang pernah/telah duduk di kursi legislatif? Serta siapa saja yang sedang dalam proses mencalonkan diri untuk pemilihan umum (pemilu) tahun 2024?
Untuk yang pernah—dan masih—menjabat, kita bisa menyebut di antaranya Anang Hermansyah. Anang maju sebagai calon legislatif DPR dapil Jawa Timur IV dari Partai Amanat Nasional, ia pun lolos ke Senayan dan menjadi anggota DPR periode 2014-2019 dengan perolehan suara 53.559 suara.

Beberapa musisi lainnya adalah Tere (Partai Demokrat, periode 2009-2014), Harvey Malaiholo (PDIP, periode 2019-2014), Mulan Jameela (Partai Gerindra, periode 2019-2024), hingga Kris Dayanti (PDIP, periode 2019-2024).

Untuk yang pernah—dan masih—menjabat, kita bisa menyebut di antaranya Anang Hermansyah dari Partai Amanat Nasional, Tere (Partai Demokrat, periode 2009-2014), Harvey Malaiholo (PDIP, periode 2019-2014), Mulan Jameela (Partai Gerindra, periode 2019-2024), hingga Kris Dayanti (PDIP, periode 2019-2024)

Tahun depan sudah pemilu, kita akan kembali disuguhi tonil politik elektoral lima tahunan. Kita semua akan digiring untuk menuju kotak suara dan mencoblos sosok-sosok yang kemudian konon akan menjadi perwakilan kita di DPR RI atau DPRD. Gempita pemilu 2024 sudah dimulai sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, tahun ini gemanya makin riuh karena waktu semakin dekat, dan sama seperti dua dekade ini, banyak musisi yang mencalonkan diri atau dicalonkan partai politik untuk menjajal peruntungan di pemilu agar bisa menduduki posisi di badan legislatif.

Yang sudah jelas mencalonkan diri beberapa adalah mantan drummer band underground legendaris dan solois Marcell Siahaan (PDIP), penabuh drum band Element, Didi Riyadi (Partai Nasdem), Sigit Purnomo Syamsuddin Said alias Pasha Ungu (PAN), Melly Goeslow (Gerindra), Ahmad Dhani (Gerindra), Once Mekel (PDIP), Nafa Urbach (Nasdem), Delpi Suhariyanto (PKP), dan the last but not the least, the one and only Aldi Taher (Perindo).

Dua musisi yang disebutkan terakhir sempat membikin kegemparan di blantika musik Nusantara. Delpi Suhariyanto, dikenal sebagai personel Dongker, band punk yang sedang moncer dan dipuja para penikmat musik. Warganet sempat gempar karena terdengar kabar bahwa Delpi maju dengan mesin politik Partai Kebangkitan Nasional (PKN). Delpi nyaleg sebagai bakal calon anggota DPRD Blitar, Jawa Timur

Yang sudah jelas mencalonkan diri solois Marcell Siahaan (PDIP), penabuh drum band Element, Didi Riyadi (Partai Nasdem), Sigit Purnomo Syamsuddin Said alias Pasha Ungu (PAN), Melly Goeslow (Gerindra), Ahmad Dhani (Gerindra), Once Mekel (PDIP), Nafa Urbach (Nasdem), Delpi Suhariyanto (PKP), dan the last but not the least, the one and only Aldi Taher (Perindo)

Nama terakhir yang disebut barangkali paling fenomenal. Aldi Taher sempat bikin kegemparan karena menyatakan akan nyaleg dari dua partai yang berbeda, Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Namun, karena larangan mencalonkan diri dari dua partai yang dilontarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada akhirnya Aldi memilih untuk nyaleg dari Perindo. Warganet sempat dibikin terpingkal-pingkal saat Aldi Taher diwawancarai salah satu televisi swasta karena saat ditanya alasannya nyaleg dari 2 partai berbeda, Aldi malah menyanyikan salah satu bait terkenal lagu Coldplay “Look at the stars, look how they shine for you”.

Banyaknya musisi yang nyaleg ini memunculkan pertanyaan: apakah mereka benar-benar memiliki kapabilitas dan kemampuan untuk menjadi politisi? Atau seperti telah dijelaskan di awal tulisan ini, apakah mereka hanya mencalonkan/dicalonkan karena mereka sudah punya “modal terkenal” sehingga dianggap mampu merebut hati konstituen untuk memilih mereka?

Apakah adanya perwakilan musisi di DPR akan memiliki dampak positif terhadap perkembangan dunia musik di Indonesia?

Berkaca dari yang sudah-sudah, sayangnya ketimbang memberi dampak positif terhadap dunia musik Indonesia, para musisi yang duduk di kursi legislatif ini terkadang malah menimbulkan masalah.

Apakah mereka benar-benar memiliki kapabilitas dan kemampuan untuk menjadi politisi? Atau seperti telah dijelaskan di awal tulisan ini, apakah mereka hanya mencalonkan/dicalonkan karena mereka sudah punya “modal terkenal”

Masih segar di ingatan kita saat RUU Permusikan bikin geger karena dianggap mengekang kreativitas musisi dalam berkarya. Salah satu musisi dan anggota dewan yang turut mengusulkan dan menyusun draf RUU Permusikan yang dibuat pada 15 Agustus 2018 itu adalah Anang Hermansyah.

Para musisi yang kemudian mendirikan Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan menganggap RUU Permusikan adalah dagelan karena isi pasal-pasalnya sungguh konyol dan multitafsir. Di antaranya adalah pasal yang melarang musisi membuat karya yang membawa budaya barat yang negatif, merendahkan harkat martabat, menistakan agama, membuat konten pornografi hingga membuat musik provokatif. Di klausul lain, ada kewajiban sertifikasi musisi, dan yang paling menggelikan adalah dasar-dasar akademis penyusunan RUU Permusikan yang tidak kredibel karena hanya mengutip dari blogspot dan tulisan seorang siswa SMK.

Apakah adanya perwakilan musisi di DPR akan memiliki dampak positif terhadap perkembangan dunia musik di Indonesia? Berkaca dari yang sudah-sudah, sayangnya para musisi yang duduk di kursi legislatif ini terkadang malah menimbulkan masalah.

Walau pada akhirnya RUU Permusikan dibatalkan, kejadian ini menjadi sebuah penanda bahwa alih-alih memberi dampak positif bagi dunia musik, adanya perwakilan musisi di DPR justru malah membikin masalah yang besar.

Masalah lain di industri musik Indonesia yang patut disoroti adalah ihwal hak cipta. Terutama di era digital ketika para penikmat musik lebih banyak mengakses musik di platform musik digital (DSP) ketimbang melalui rilisan fisik seperti cakram padat, kaset, atau piringan hitam.

Riset terbaru Koalisi Seni bertajuk “Diam-Diam Merugikan: Situasi Hak Cipta Musik Digital di Indonesia”, menemukan bahwa kehadiran platform musik digital tidak diimbangi dengan kebijakan yang dapat melindungi pencipta dan karyanya. Peraturan yang ada, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, belum meladeni perkembangan di industri.

Riset terbaru Koalisi Seni bertajuk “Diam-Diam Merugikan: Situasi Hak Cipta Musik Digital di Indonesia”, menemukan bahwa kehadiran platform musik digital justru semakin melanggengkan ketimpangan kuasa antara pengguna dan penguasa teknologi, antara musisi dan DSP, label rekaman, dan pihak-pihak perantara.

Lebih lanjut Koalisi Seni menuding bahwa digitalisasi justru semakin melanggengkan ketimpangan kuasa antara pengguna dan penguasa teknologi, antara musisi dan DSP, label rekaman, dan pihak-pihak perantara.

Problematika royalti di era digital ini terkait dengan eksistensi Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Teori hukum trias politika: yudikatif, legislatif, eksekutif yang dicoba untuk menjelaskan ketiganya telah bercampur menjadi satu di LMKN adalah tidak sesuai karena kenyataannya sesuai dengan hukum administrasi negara LMKN itu melaksanakan tindakan eksekutif saja. Kalaupun ada Keputusan LMKN (misal tentang delegasi penarikan) atau suatu Peraturan LMKN tentang Panduan Distribusi (Guidance Distribution Rule: Transparent, Fair, Accountable) hal ini semata-mata dalam rangka melaksanakan tindakan Hukum Eksekutif Menteri Hukum dan HAM.

Belum ada kepastian hukum dan penegak kesejahteraan bagi pencipta lagu/musik walaupun sudah ada LMKN dan PP No.56/2021

LMKN merupakan suatu lembaga bantuan di bawah Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang bertugas untuk mengumpulkan dan mendistribusikan royalti kepada pencipta lagu/musik di Indonesia baik itu untuk pencipta dari luar negeri dan pencipta lagu dalam negeri. LMKN baru ada dan diakui oleh Pemerintah setelah revisi UU Hak Cipta No.28 Tahun 2014.

Belum ada kepastian hukum dan penegak kesejahteraan bagi pencipta lagu/musik walaupun sudah ada LMKN dan PP No.56/2021. Walaupun sudah ada peraturan hukum dan Lembaga yang dibuat pemerintah untuk mengumpulkan royalti, namun pada praktiknya masih banyak kendala untuk mengumpulkan dan menyebarkan royalti di Indonesia.

Perkara royalti lagu ini sempat ramai karena Ahmad Dhani melarang Once Mekel, mantan vokalis Dewa yang mengundurkan diri pada 2010 membawakan lagu-lagu Dewa 19 di pertunjukannya.

Perkara Ahmad Dhani VS Once Mekel ini makin meruncing, sampai-sampai Kris Dayanti, diva yang sekarang menjabat sebagai anggota DPR RI dari fraksi PDIP di komisi IX angkat bicara. Namun, Kris Dayanti sekadar memberi imbauan normatif yang rasanya kurang substansial dan tidak akan berdampak secara besar untuk mengubah mekanisme pengumpulan royalti dengan misalnya memperbaiki kinerja LMKN.

Perkara Ahmad Dhani VS Once Mekel ini makin meruncing, sampai-sampai Kris Dayanti, diva yang sekarang menjabat sebagai anggota DPR RI dari fraksi PDIP di komisi IX angkat bicara. Namun, Kris Dayanti sekadar memberi imbauan normatif yang rasanya kurang substansial dan tidak akan berdampak secara besar

“Kalau saya bilang, kita ini kan negara demokrasi, ya, jadi semuanya bisa musyawarah seharusnya,” kata Kris Dayanti kepada media, Jumat (28/4/2023).
Berkaca dari kasus-kasus di atas, kita patut mempertanyakan lagi sejauh ini apa dampaknya ada perwakilan musisi di DPR? Terutama dampak langsungnya terhadap para musisi yang berkarya di industri musik, baik di arus utama (mainstream) maupun arus samping (sidestream).

Seandainya salah satu dari musisi yang nyaleg kelak lolos menjadi anggota dewan, mereka harus menuntaskan perkara rumit royalti di era digital ini dengan cara: 1) Menjadikan LMKN sebuah lembaga negara tersendiri dan mempunyai anggaran yang bersumber dari APBN, tidak hanya bernaung di bawah Dirjen HKI, dan 2) Menjadikan Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) untuk menjamin kepastian hukum dan kesejahteraan kepada pencipta lagu/musik.

Dengan demikian, para musisi yang menjadi anggota dewan ini akan menciptakan dampak positif yang menjaga keberlangsungan industri musik Indonesia.
Semoga, seandainya Aldi Taher bercokol di DPR RI kelak, alih-alih mendendangkan “Yellow” milik Coldplay dan berujar “I love you Dewi Perssik” di wawancara televisi swasta nasional, ia bisa mengatasi berbagai problematika yang masih melekat di industri musik Indonesia. Termasuk masalah royalti, pembajakan, pembuatan cetak biru rencana jangka panjang pengelolaan industri musik, dan yang pasti, jangan sampai ia malah menelurkan kebijakan yang menggelikan seperti RUU Permusikan beberapa tahun lalu.

Karena kalau tidak ada dampak positif dari adanya perwakilan musisi di DPR, untuk apa kita memilih mereka menjadi wakil kita?

 


 

Penulis
Aris Setyawan
Etnomusikolog dan musikus. Co-founder dan editor Serunai.co. Bercerita di arissetyawan.com.

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …