Selamat Jalan Seniman Mbeling Remy Sylado

Dec 14, 2022
Remy Sylado

Pada hari Senin (12/12), berita duka itu datang. Remy Sylado, sosok seniman yang cukup berpengaruh di Indonesia berpulang. Kepergian sosok yang bernama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong ini tentu merupakan sebuah kehilangan besar. Tak hanya untuk dunia musik Indonesia, namun juga untuk bidang-bidang lainnya mengingat Remy adalah manusia serba bisa yang bergerak di banyak bidang.

Tak hanya terkenal sebagai musisi, kritikus musik, dan jurnalis musik, sosok yang lahir di Makassar pada 12 Juli 1945 ini juga kondang sebagai sastrawan, dosen, novelis, penulis, pelukis, aktor, dan wartawan. Ya, Remy Sylado adalah manusia dengan sejuta bakat.

Sebelumnya, di awal tahun 2022 Remy Sylado dikabarkan sakit stroke. Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pernah memberikan bantuan berupa perawatan gratis di RSUD Tarakan dan membawanya menggunakan ambulans milik Pemprov DKI Jakarta. Anies sebelumnya menjenguk Remy yang dikabarkan sakit di kediamannya di Cipinang Muara, Jakarta Timur, Jumat, 14 Januari 2022.

Tak hanya terkenal sebagai musisi, kritikus musik, dan jurnalis musik, sosok yang lahir di Makassar pada 12 Juli 1945 ini juga kondang sebagai sastrawan, dosen, novelis, penulis, pelukis, aktor, dan wartawan

Siapa sangka, Remy Sylado harus berpulang secepat ini. Ia adalah sosok yang penting untuk banyak bidang. Kontribusinya untuk Indonesia tak main-main. Di bidang sastra misalnya, Remy telah menelurkan setidaknya 13 judul buku. Di antaranya adalah Gali Lobang Gila Lobang (1977), Ca Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa (1999), dan Hotel Prodeo (2010).

Remy juga dikenal sebagai penggagas gerakan sastra mbeling (nakal tapi pintar, sebagai bentuk perlawanan terhadap gerakan WS Rendra yang mengatakan melawan kebudayaan yang mapan harus urakan).

Karier Remy Sylado melebar ke banyak bidang. Di dunia jurnalisme, ia tercatat pernah menjadi wartawan untuk Sinar Harapan (1963-1965), redaktur Harian Tempo, Semarang (1965-1966), redaktur Majalah Aktuil, Bandung (1970-1975), redaktur Majalah Top (1973-1976), redaktur Majalah Jayagiri (1979-1980), dan redaktur Majalah Fokus (1982-1984).

Yapi Panda Abdiel Tambayong. Ia memiliki banyak nama pena. Jubal Anak Perang Imanuel, Dova Zila, Alif Danya Munsyi, dan lainnya. Namun, Remy Sylado adalah nama yang paling melekat pada dirinya hingga sekarang.

Remy telah menelurkan setidaknya 13 judul buku. Di antaranya adalah Gali Lobang Gila Lobang (1977), Ca Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa (1999), dan Hotel Prodeo (2010).  Remy juga dikenal sebagai penggagas gerakan sastra mbeling (nakal tapi pintar, sebagai bentuk perlawanan terhadap gerakan WS Rendra)

Yapi menemukan nama Remy Sylado yang diambil dari intro awal lagu The Beatles “And I Love Her”. Intro lagu itu memiliki nada 2-3-7-6-1 atau re-mi-si-la-do.

Salah satu hal penting yang bisa kita teladani dari Remy Sylado adalah sikap idealismenya yang membuncah, dan cara berpikir kritisnya yang luar biasa. Barangkali ini adalah manifestasi dari gerakan mbeling yang ia populerkan. Remy adalah sosok yang nakal, namun di balik kenakalan itu termaktub kecerdasan yang tak main-main.

Dalam bidang bahasa misalnya, ia terang-terangan mengatakan bahwa dirinya berseberangan dengan Pusat Bahasa (sekarang Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa). “Mereka mengalirkan frustrasi bahasa Indonesia kepada pers,” tutur Remy. “Sejarah bahasa Indonesia itu dipelopori oleh pers, bukan ahli bahasa.”

Nama Remy Sylado diambil dari intro awal lagu The Beatles “And I Love Her”. Intro lagu itu memiliki nada 2-3-7-6-1 atau re-mi-si-la-do

Jika ditilik ke masa sekarang, gagasan Remy ini seperti menyindir polisi bahasa yang seolah mewajibkan semua model tulisan harus bergaya baku sesuai KBBI. Padahal sebenarnya setiap penulis—atau media—bisa memiliki selingkung masing-masing dalam rangka memberi kenyamanan pada pembaca.

Secara spesifik di bidang musik, sikap mbeling Remy Sylado masih terlihat jelas. Orexas adalah album yang diambil dari nama buku yang berjudul sama karya Remy Sylado yang dirilis pada tahun 1978 di bawah label Duba Records. Di lagu berjudul “Orexas” di album tersebut, Remy berorasi dengan nakal, pedas, dan kritis:

“Heh, mari kita panjatkan doa kita, semoga orang-orang tua kita cepat dilanda malapetaka. Biar mampus dengan segala kemunafikan mereka. Satu…dua…tiga! Semoga orang-orang tua kita cepat dilanda malapetaka. Malapetaka penyakit gula. Malapetaka penyakit pes. Malapetaka penyakit darah tinggi. Malapetaka penyakit cacing pita. Idi Aamiiin. Hahahaha.”

Makna orasi itu bernas. Remy mengkritik generasi tua yang menurutnya kolot dan tidak membuat perubahan apapun di dunia ini. Maka, sudah saatnya generasi tua ini digantikan generasi muda yang lebih progresif dan kritis.

“Heh, mari kita panjatkan doa kita, semoga orang-orang tua kita cepat dilanda malapetaka. Biar mampus dengan segala kemunafikan mereka. Satu…dua…tiga! Semoga orang-orang tua kita cepat dilanda malapetaka. Malapetaka penyakit gula. Malapetaka penyakit pes. Malapetaka penyakit darah tinggi. Malapetaka penyakit cacing pita. Idi Aamiiin. Hahahaha.” – Remy Sylado, lagu “Orexas” (1978)

Album Orexas dirilis 1978. Berpuluh tahun kemudian Orexas masuk dalam daftar 150 Album Indonesia Terbaik versi majalah Rolling Stone Indonesia yang terbit di penghujung tahun 2007. Di daftar tersebut, album ini menempati peringkat 134.

Ketika menulis tentang musik pun, gaya nakal tapi pintar Remy Sylado ini masih ada. Ketika mengkritik musik, yang kena kritik Remy bisa jadi sakit hati. Remy pernah berkomentar pedas soal lirik musik pop tanah air yang menurutnya terlampau cengeng dan meratap-ratap. Lagu-lagu Bimbo, Koes Plus, dan The Rollies pernah kena komentar pedasnya.

Salah satu tulisannya yang terbit di Jurnal Prisma edisi Juni 1977 yang bertajuk “Musik Pop Indonesia: Satu Kebebalan Sang Mengapa”, bisa disebut sebagai salah satu cetak biru tulisan kritik musik yang bernas dan cerdas. Di tulisan itu Remy menguliti musik pop dan berbagai irisannya dengan perkara estetika musik, dan industri budaya massa.

Dangdut, salah satu musik paling populer di Indonesia juga tak luput dari celaannya. Remy mengaku tak suka mendengar jenis musik itu. “Kadar intelektual saya jadi berkurang,” kata Remy. Kita bisa setuju atau tak setuju dengan pernyataan Remy tentang musik dangdut ini. Namun, jika kita lacak, Pernyataan ini tentu muncul mengingat Remy pernah menjabat posisi sentral sebagai redaktur di majalah Musik Aktuil. Majalah yang ketika dangdut mulai moncer pada era 70an terkenal cukup gencar mengkritisi musik yang dipopulerkan Rhoma Irama dan Soneta ini.

Salah satu tulisannya yang terbit di Jurnal Prisma edisi Juni 1977 yang bertajuk “Musik Pop Indonesia: Satu Kebebalan Sang Mengapa”, bisa disebut sebagai salah satu cetak biru tulisan kritik musik yang bernas dan cerdas.

***

Pada akhirnya kita bisa belajar dan meneladani banyak hal dari Remy Sylado. Tentang bagaimana kita harus terus belajar dan mengasah kemampuan kita di bidang dan minat apapun yang kita tekuni, tentang bagaimana kita harus berpegang teguh pada keyakinan yang kita yakini, dan bagaimana kita harus menjadi sosok yang berani menyuarakan kegelisahan-kegelisahan yang kita rasakan.

Kita bisa mengamini kredo mbeling yang Remy suarakan: nakal boleh, tapi dibarengi dengan pintar, bukan urakan.

Remy Sylado akan selalu dikenang sebagai sosok yang istimewa. Sosok yang serba bisa dan eksentrik pula. Sosok yang ketika menulis benar-benar melakukan riset yang serius, lalu tanpa tedeng aling-aling menuangkan hasil risetnya tersebut dalam sebuah tulisan yang terkadang akan terbaca pedas.

Remy juga adalah seseorang yang eksentrik. Di zaman modern ketika semua orang bisa menulis di laman web dan menyimpan tulisan itu di komputasi awan, ia masih teguh menulis dengan menggunakan mesin tik lama. Seperti ditulis Soleh Solihun dalam tulisannya, Remy bahkan enggan berkompromi dan menolak tulisannya dipotong atau disunting karena ia tak mau esensi dari tulisannya hilang.

Remy Sylado akan selalu dikenang sebagai sosok yang istimewa. Sosok yang serba bisa dan eksentrik pula. Sosok yang ketika menulis benar-benar melakukan riset yang serius, lalu tanpa tedeng aling-aling menuangkan hasil risetnya tersebut dalam sebuah tulisan yang terkadang akan terbaca pedas

Remy Sylado. Di usia senja pun ia masih mbeling. Enggan berkompromi.

“Agaknya orang Indonesia paling gampang sekali melibatkan Tuhan untuk hal-hal yang mestinya bisa diselesaikan oleh Pak RT,” Tulis Remy Sylado di salah satu bukunya Hotel Prodeo.

Sentilan Remy itu ditujukan pada kita, orang-orang Indonesia yang kadang mudah tersulut emosinya, dan bikin kegemparan sampai membawa nama Tuhan segala untuk sesuatu yang sebenarnya mudah diselesaikan dengan misalnya berdiskusi bersama ketua RT di sekitar kita. Remy mengajak kita mengenyahkan kejumudan berpikir dan menyerukan pada kita untuk bisa berpikir lebih jernih, kritis, dan cerdas dalam menyikapi sesuatu.

Selamat jalan seniman mbeling. Terima kasih banyak atas segala pembelajaran yang kau berikan kepada manusia Indonesia. Semoga kau tetap mbeling di alam sana, semoga kami yang masih hidup juga bisa mbeling  di alam sini.

 


 

Penulis
Aris Setyawan
Etnomusikolog dan musikus. Co-founder dan editor Serunai.co. Bercerita di arissetyawan.com.

Eksplor konten lain Pophariini

Rekomendasi 9 Musisi Padang yang Wajib Didengar

Di tengah gempuran algoritma sosial media, skena musik independen Padang sepertinya tidak pernah kehabisan bibit baru yang berkembang

5 Musisi yang Wajib Ditonton di Hammersonic Festival 2024

Festival tahunan yang selalu dinanti para pecinta musik keras sudah di depan mata. Jika 2023 lalu berhasil menghadirkan nama-nama internasional seperti Slipknot, Watain, dan Black Flag, Hammersonic Festival kali ini masih punya amunisi untuk …