Sosok Oslan Husein, Penyanyi Pertama Lagu “Lebaran” Termashyur Itu
Karya-karya populer memiliki caranya sendiri untuk bisa menjadi legendaris. Dalam konteks lagu, dapat melalui berbagai rekaman cover version, terus dimainkan di panggung-panggung perhelatan musik, diputar oleh alat-alat transportasi dan ruang-ruang seperti supermarket dan pertokoan, radio, hingga acara televisi. Apalagi di Indonesia, terutama era sebelum ada hingga masa-masa pertama internet dipasang, ketika tak semudah itu untuk mendapat pengetahuan akan katalog lama dari musik negeri sendiri.
Seperti lagu “Lebaran” karya cipta M. Jusuf yang selalu terdengar setiap menjelang lebaran. Lagu yang begitu terkenal, meskipun hari ini versi rekaman aslinya tak sepopuler itu, termasuk nama penyanyi pertamanya: Oslan Husein. Untuk memudahkan lagu yang saya maksud, berikut saya lampirkan cuplikan liriknya, mungkin langsung terbit notasinya pada ingatan Anda.
Selamat hari lebaran / Minal ‘aidin wal faizin / Mari bersalam-salaman / Saling memaaf-maafkan / Ikhlaskanlah dirimu / Sucikanlah hatimu / Sebulan berpuasa / Jalankan perintah agama
Oslan Husein dikenal luas pada 1950 dan 1960an, melalui musik dan film, tapi tak terasa “anginnya” bagi saya, generasi berikutnya, yang tidak menemukan rekaman-rekaman albumnya di toko kaset. Pengetahuan dan ketertarikan saya pada Oslan Husein datang di kemudian hari dari seorang yang kerap dijuluki teman-teman sebagai “kamus musik berjalan”: David Tarigan.
Pada awal 2000an, David bekerja dan bertanggungjawab pada section musik toko buku Aksara di Jakarta. Rak di sana dipenuhi Compact Disc, banyak di antaranya berupa rilisan yang tidak umum ditemukan pada toko-toko musik lainnya, menarik hati dan membuat anak-anak muda ngiler melihatnya.
Tapi ada hobi tambahan David Tarigan pada ruang-ruang kosong di atas rak itu: menaruh dan mengganti-ganti piringan hitam Indonesia koleksi pribadinya. Sampul-sampul piringan hitam yang membelalak mata; datang dari masa lalu untuk menjadi pengalaman visual baru!
Saya bahkan sampai meminta David untuk sudi meminjamkan beberapa koleksinya untuk kebutuhan pemotretan sebagi pendukung tulisan saya membahas sampul-sampul album Indonesia lama untuk sebuah majalah. Hari itu, pada paruh pertama 2000an, melihat sampul album Cruel Side of the Suez War, rilisan 1974 dari kelompok musik AKA, misalnya, adalah sensasi luar biasa bagi saya.
Dari David juga saya mengenal sampul album berwarna kuning dengan wajah pria kumisan tersenyum berseri dan tangannya memberi kode lambang “ok” (jari telunjuk dan jempol membentuk semacam lingkaran) beserta ejaan dan tipografi nama penyanyi yang sangat khas dari desain masa lalu: Hanja Ada Satu….. Oslan Husein.
Ketika mendengar musiknya, minat itu sudah tumpah dan ingin mendekapnya, menyimpannya sebagai musik kesukaan. Musik mambo-cha-cha dari suasana tropis Amerika Latin bertemu vokal Oslan yang merdu sekaligus berlogat jenaka, dengan lagu pertama di piringan hitam itu berjudul “Es Mambo”—sesuatu yang mengagetkan bagi saya!
Di era yang jauh dari mengenal rekaman Oslan Husein, pada sekitar akhir 1990an-awal 2000an, saya pernah spontan mengarang dan menyanyikan lagu berjudul “Es Mambo Kacang Ijo”, hanya untuk iseng-iseng bernyanyi bersama teman-teman di kendaraan pada sebuah perjalanan malam hari. Tidak pernah terpikir bahwa pernah ada lagu berjudul dan bertema serupa pada album rekaman di Indonesia era 1960an. Penemuan rekaman “Es Mambo’ dari Oslan Husein, beserta “tema-tema bebas” pada lirik lagu-lagu Indonesia dari masa lalu, sepertinya telah menginspirasi saya untuk cuek merekam lagu bertema jajanan “Es Mambo Kacang Ijo”, termuat dalam album Operasi Kecil, dirilis pada 2017.
Tentu ada konteks yang berbeda di antara dua es mambo itu. Terlebih, ini juga yang seru bagi saya: ada racikan musik mambo dalam rekaman “Es Mambo” dari Oslan Husein!
Pada era 1950an dan 1960an, invansi Rock and Roll, Mambo dan Cha-Cha sudah dirayakan muda-mudi di Indonesia. Akan tetapi kita tahu suhu politik saat itu dan bagaimana Bung Karno mengecam musik-musik tersebut dengan istilah “ngak-ngik-ngok”. Bagi para musisi Indonesia, perlu cara tertentu untuk tetap bisa memainkan musik “Kebarat-baratan” itu, yaitu dengan menggunakannya sebagai aransemen baru dalam menyanyikan lagu daerah atau dimainkan bersama lirik-lirik yang sesuai simpati negara atau yang dikategorikan sebagai kepribadian bangsa.
Pada liner notes album Oslan Husein, Tahu-Tempe yang ditulis oleh Sjaiful Nawas dari Orkes Gumarang bahkan terang benderang tertera…
“Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno telah menegaskan sampai beberapa kali: INDONESIA DENGAN RAKJATNJA TIDAK AKAN LAPAR, KARENA INDONESIA BANJAK MAKANAN, maka OSLAN HUSEIN tampil kemuka membawakan lagu2 mengenai pangan seperti “Tahu Tempe”, “Nasi Djagung”, “Sepiring Nasi”, dan “Singkong Rebus”, tjiptaan M. Jusuf. Aransemen musiknja amat sederhana, tjara membawakan lagu-lagunja tjukup lintjah, menarik, sedangkan irama musiknja ada jang berirama cha-cha, bossanova dan sebagainja.”
Pertama kali mendengar Oslan Husein, karya sudah datang lebih dahulu untuk jatuh hati pada rekamannya, tanpa pengetahuan latar belakang yang terjadi pada hubungan iklim politik dan siasat produk industri musik Indonesia kala itu. Lagu seperti “Tahu Tempe”, misalnya, bahkan belakangan ini kerap dinyanyikan oleh trio Nona Ria, terbukti telah membuat riang dan jenaka untuk zaman apa saja. Sementara piringan hitam Tahu-Tempe beserta segenap katalog Oslan Husein lainnya hingga kini pun menerbitkan selera penggemar musik generasi muda—diputar di berbagai kesempatan dan tempat.
Oslan Husein lahir di Padang, Sumatera Barat pada 8 April 1931. Pada usia 19 tahun Oslan merantau ke Jakarta, tinggal di daerah Keramat Sentiong, dan sempat bekerja di Departemen Pekerjaan Umum. Suatu waktu Oslan bertemu dengan sahabat lamanya, Alwi, yang mengenalkan Oslan untuk bergabung sebagai penyanyi pada Orkes Kinantan yang dipimpin oleh Cassim Abbas.
Bersama Orkes Kinantan, suara Oslan Husein tampil untuk tema lagu film Harimau Tjampa (sutradara D. Djajakusuma, 1953), kemudian juga Arini (1955) dan Daerah Hilang (1956). Musik dalam film Harimau Tjampa arahan G.R.W. Sinsu alias Tjok Sinsoe, yang dimainkan oleh Orkes Kinantan, dinobatkan sebagai ilustrasi musik terbaik di ajang Festival Film Asia.
Orkes Kinantan kemudian bubar. Pada 1956, beberapa personilnya membentuk kelompok musik Irama Cubana Teruna Ria, dipimpin oleh Zaenal Arifin pada gitar, dengan penyanyi Mus D.S. dan Oslan Husein.
Seperti apa kiprah Irama Cubana Teruna Ria pada masa itu? Nampaknya mereka memang benar-benar handal dan bersenang hati di panggung. Cuplikan liner notes album Orkes Taruna Ria, Suling Bambu yang ditulis oleh CH. Hasmanan mungkin bisa sedikit menggambarkan…
“Dalam suatu pertundjukan diibukota, serombongan pemuda berada diatas pentas. Mereka sebentar lagi akan mempergunakan kesempatannja menghidangkan lagu2-nja kepada penonton. Tetapi djauh sebelum itu, artinja masih dalam persiapan2 demikian, pemuda2 tersebut ternjata telah berhasil mentjuri hati chalajak ramai. Mungkin itu disebabkan oleh tjorak mereka berpakaian: warna2 jang tadjam menjolok, potongan badju & tjelana jang exotik, lengkap dengan topi-bambu halus dan kaki telandjang……………….. se-olah2 mereka berasal dari benua-berdarah-panas Amerika Latin itu. Namun itu semua, seperti ternjata kemudian memang tjotjok dengan apa jang mereka hidangkan: musik-panas irama latin jang dewasa itu sedang pesat2-nja digemari masjarakat ditanah-air kita. Malah, tidak sampai disitu sadja, perihal namapun, rombongan pemuda2 itu tidak tanggung2, kumpulannja mereka namakan: “IRAMA CUBANA TERUNA RIA”, nama jang sekaligus memberitahukan tjorak musik apa jang akan mereka hidangkan.
Malam itu, maka ramailah sambutan penonton terhadap “IRAMA CUBANA TERUNA RIA”, apalagi sesudah selesai suatu “demonstrasi” main-gitar oleh pemimpinnja, Zaenal Arifin, jang naik dipunggung seorang rekannja, kemudian sembari menaruh gitar ditengkuknja sendiri masih dapat menabuh alat itu dengan tjukup mahir. Sambutan hangat djuga diterima oleh biduan Oslan Husein, jang membawakan lagu2 daerah Minangkabau dengan irama latin itu, begitu asli dan begitu berani…………………..”
Pada 1951, seorang perwira Angkatan Udara RI, Soejoso Karsono, atau biasa dikenal sebagai Mas Jos, mendirikan perusahaan rekaman pertama setelah kemerdekaan, dengan nama Irama Records. Irama Cubana Teruna Ria adalah salah satu yang direkam oleh Irama Records, merilis single Bengawan Solo/Lenggang Kangkung dalam format shellac pada 1958. Karya gubahan Gesang, Bengawan Solo dibawakan oleh Oslan Husein dengan gaya bernyanyi a la Elvis Presley, disinyalir sebagai rilisan pertama Rock N” Roll di Indonesia.
Irama Cuba Teruna Ria kemudian berganti nama menjadi Orkes Teruna Ria. Mereka terus membuat rilisan bersama Irama Records, diantaranya single-single Perintang Malam/Neng Geulis, Modjang Parahyangan /Kaparinjo, Ajam Den Lapeh/Kambanglah Bungo Sarauitan, Kambang Aruih/Parenai, Lompong Sagu/Es Lilin, Urang Talu/Impian Semalam, Gadih Minang/Babendi-bendi, Kembang Beureum/Ombak Puruih, Si Nandi Nandi/Panon Hideung, Jo Tjando Nantun/Suling Bambu, Omba Samudera/Gadih Lambah.
Dalam rilisan kompilasi, Oslan Husein dengan ensemble Orkes Taruna Ria turut serta di album Fadjar Menjingsing bersama penampilan-penampilan dari Orkes Tjemara, Orkes Timur Fadjar, Orkes Saiful Bahri, Orkes Lima Serama, dan Orkes Kelana Ria.
Sementara dalam album kompilasi Papaja Mangga Pisang Djambu, ditampilkan pula rekaman biduan-biduan Orkes Taruna Ria: Oslan Husein menyanyikan Bengawan Solo dan Mus DS membawakan Lenggang Kangkung.
Irama Records juga merilis album-album dari Orkes Taruna Ria, yaitu Bulan Dagoan, Malin Kundang, Gadih Lambah, dan Geleang Sapi.
Nama Oslan Husein pun semakin bersinar dalam menyanyikan lagu-lagu Minang, sementara vokalis Orkes Teruna Ria lainnya, Mus DS acap dikenal membawakan lagu-lagu Sunda.
Pada 1961, Oslan Husein berkiprah pula sebagai aktor di film Detik-Detik Berbahaya sebagai pemeran pembantu (sahabat lamanya, Alwi, juga turut bermain), kemudian juga dalam film Seribu Langkah dan Kasih Tak Sampai.
Oslan Husein tampil sebagai pemain utama dalam film Hadiah 2.000.000, juga bersama Alwi. Tetapi setelah itu Oslan lebih banyak kembali menjadi peran pembantu, di antaranya dalam “Antara Timur dan Barat“ (1963), “Madju Tak Gentar“ (1965), dan “Belaian Kasih“ (1966).
Oslan Husein berakting sekaligus bernyanyi di dalam film. Kiprah yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah album bertajuk Oslan Husein: Diatas Satu LP. Sendiri, dirilis oleh Irama Records. Pada rekaman long play tersebut, Oslan ditemani oleh Orkes Gema Irama dengan pimpinan Jack Lemmers.
Album ini juga salah satu penanda hubungan dekat antara musik dan film yang dituliskan pada liner notes sebagai berikut:
”Dengan menghasilkan LP. berisi lagu-lagu dari lajar putih ini “I r a m a” telah menempuh pula suatu langkah jang menarik dan membuka banjak-banjak kemungkinan baru dalam sedjarah usahanja. karena dunia musik rekaman dan dunia film, dimanapun didunia ini, adalah saudara-saudara sekandung jang paling bisa bekerdja sama, bahu membahu dengan rukunnja.”
Penulis liner notes Hasmanan, yang juga pengarang 6 dari 12 lagu di album tersebut, membagikan pandangannya tentang posisi Oslan Husein dalam dua dunia yang digelutinya—musik dan film—di tempat yang spesial, dalam catatan pengantar rilisan piringan hitam. Berikut cuplikannya…
“Sesungguhnja bernjanji itu tidaklah berbeda djauh daripada berlakon. Membawakan suatu lagu banjak miripnja dengan memerankan suatu lakon. Pembawaan seorang penjanji, halnja memberi penafsiran sendiri dan tekanan-tekanan tertentu pada lagunja djuga dilakukan seorang aktor pada peranannja.
Maka sehubungan dengan itu banjaklah kita mengenal penjanji-penjanji jang kemudian memperoleh popularitas pula sebagai pelaku, ada jang diatas panggung, tapi kebanjakannja ialah dilajar putih (film)
Mereka dinamakan “singing stars”, bintang-bintang penjanji dan biasanja memainkan peranan-peranan chusus dan sengadja ditjiptakan sesuai dengan kemampuan utamanja bernjanji itu tadi.
Ada diantaranja malah djadi lebih terkenal dengan bakat actingnja jang ternjata lebih menondjol, menjamai ketjakapannja bernjanji, tapi djumlah jang berhasil demikian tjuma sedikit sekali. Oslan Husein beruntung sekali dapat menggolongkan dirinja pada djumlah jang sedikit itu. Tatkala ketenarannja selaku penjanji menandjak dengan hebatnja, ia memulai pula karier filmnja sebagai seorang aktor. Benar bahwa sebelum itu ia pernah ikut muntjul difilm, tapi itu hanjalah sebagai extra belaka, ramai-ramai dengan rombongan orkesnja jang ikut main bersama-sama.
Menjusul kemudian film-film lainnja jakni “Detik-detik Berbahaja”, “1000 Langkah”, “Kasih Tak Sampai”, “Hadiah 2.000.000-” “Maut Mendjelang Magrib” dan “Antara Timur dan Barat”. Enam film dalam djangka waktu l.k. 2 1/2 tahun…… sungguh suatu prestasi bukan ketjil artinja.
Lama-lama achirnja terkumpullah sedjumlah lagu jang pernah dinjanjikan Oslan dalam film-filmnja. Ditambah dengan beberapa lagu lain, djuga berasal dari film, lagu-lagu tersebut kemudian tjukup banjak djumlahnja untuk dihimpun dalam satu longplay.”
Album ini memuat hits klasik Osman Husein dari wilayah soundtrack, yang kemudian juga sempat dinyanyikan kembali oleh Warkop Prambors, mulai dari “Stambul Cha Cha” (dari film 1000 Langkah) hingga “Andetja Andetji” (dari film Kasih Tak Sampai).
Semenjak 1967, Oslan Husein lebih banyak muncul di panggung sebagai penyanyi dan pelawak bersama kawan duetnya Alwi. Pada album rekaman, terbit pula album duet Alwi & Oslan oleh Mesra Records. Tema kuliner lagi-lagi dihidangkan, kali ini bahkan lagu-lagu berjudul “Bakmi Pangsit”, “Bandrek Badjigur”, “Kue Pantjong”, hingga “Sate Ajam”. Duet Alwi dan Oslan diiringi oleh Orkes Widjaja Kesuma pimpinan M. Jusuf.
Pada 1970 bersama Ernie Djohan, Oslan dan Alwi membentuk grup Erosa (Erni – Oslan – Alwi). Ernie dan Oslan pun sempat merilis album bersama: Pok Ernie dan Bang Oslan dengan iringan Zaenal Combo yang dipimpin oleh Zaenal Arifin. Album ini dirilis oleh Canary Records.
Oslan Husein, seniman hebat itu, meninggal setelah menderita sakit yang cukup lama di Rumah Sakit Ancol, Jakarta pada 16 Agustus 1972 dalam usia 41 tahun. Hari ini, dalam suasana semakin dekat menjelang Lebaran, saat berbelanja di sebuah supermarket di kota Leiden, Belanda, saya merasakan kerinduan tertentu. Ada rindu mendengarkan bait-bait lagu “Lebaran” yang pertama kali dibawakan oleh “one and only”… “hanja ada satu”….. Oslan Husein.
Selamat Hari Raya Lebaran untuk teman-teman yang merayakan. Mohon maaf lahir dan batin. Semoga keadaan semakin membaik di masa depan hingga tradisi berkumpul bersama saat lebaran bisa terus berjalan, seperti lirik lagunya.
Selamat hari lebaran / Minal ‘aidin wal faidzin / Mari mengucapkan syukur / Kehadiran Illahi / Kita berkumpul semua / Bersama sanak keluarga / Tak lupa kawan semua / Jumpa di hari bahagia
____
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …