The Hours Of Silence: Kembalinya Band Cult Setelah 3 Dekade

Apr 1, 2022
Apa jadinya bila musisi-musisi handal yang punya nama penting di musik bergabung dalam satu grup? Sudah pasti jawabannya adalah sebuah unit musik yang berbahaya, karena memang isinya orang-orang bahaya yang telah berkecimpung baik di depan maupun di belakang layar industri musik.

Sebut saja Anda Perdana, musisi ini sudah tak perlu dikenalkan lagi. Penyanyi dan penulis lagu berkaliber yang sudah menancapkan namanya di industri musik sejak medio 2000an terutama lewat single “Tentang Seseorang” yang ada di film cult Ada Apa Dengan Cinta (AADC) sampai ia merilis album solonya In Medio (2008). Namanya juga harum di kancah musik ketika mendirikan Matajiwa. Belakangan, ia juga baru memulai proyek solonya dengan materi yang tak diragukan lagi.

Rendi Khrisna adalah seorang bassist yang telah mengukirkan namanya ketika bersama band Bragi di era 90-an. Berkat single hit “Janji”, Rendi yang juga populer sebagai aktor ini menjadi tokoh penting di musik dari era 90-an.

Nama Quiddo Jozal mungkin belum jelas terdengar oleh khalayak ramai karena ia bukanlah nama di depan panggung. Namun, bila kita pernah tahu ada band indonesia populer di era 90-an bernama Jingga dengan hit singlenya yang bertajuk “Tentang Aku”, Quiddo nama penting yang berpengaruh dalam perjalanan Jingga pada awalnya.

Sama seperti Quiddo, Yuka Dian Narendra pun mungkin bukan nama yang harum di kancah musik secara populer. Namun di belakang panggung, namanya harum khususnya di kancah literasi lantaran bukunya Heavy Metal Parents: Identitas Kultural Metalhead Indonesia 80-an yang menjadi buah bibir di banyak diskusi musik. Ia menjadi tokoh penting dalam perjalanan musik Indonesia khususnya di era akhir 90-an – awal 2000-an dengan menjadi produser berbagai rekaman album penting, dari album solo Bonita s/t (2003) dan Laju (rilis 2008), album In Medio (2008) milik Anda Perdana, Gondrong Kribo Bersaudara (2009) dan Thunder (2013) milik Gribs, album Childhood Dreams (2010) dari Sketsa (band dari Gerald Situmorang Barasuara), album Sinting (2012) dari Alien Sick, dan lainnya. Yang terbaru ini, Yuka didapuk menjadi produser untuk single “[Not] Public Property” dari grup metal Voice of Baceprot.

Keempat identitas ini kemudian melebur menjadi satu entitas baru yang diberi bendera The Hours Of Silence (THOS), sebuah kuartet rock yang siap meramaikan kancah musik tanah air. Mereka baru saja merilis debut single mereka yang bertajuk “Silence Remain” pada Februari kemarin.

Penikmat musik boleh melihat The Hours of Silence sebagai unit musik baru, meski kenyataannya band ini sudah eksis dan mencapai status cult sejak tiga dekade lalu terutama lewat lagu “Silence Remain” yang ternyata sudah tercipta dan dimainkan sejak 1991.

THOS circa 1990 / kika: Dadas Napoleon: manager, Therry Mully: synth, Yuka Dian Narendra: vokal, Anda Perdana: gitar vokal, Quiddo Jozal : drums, Gandhi: bass, Teguh Priambada (jongkok): keyboard / foto: Yoris Sebastian

“Band ini aslinya band sekolah, yang didirikan waktu kami masih duduk di bangku SMA. Formasinya saat itu adalah gue (vokal dan gitar), Anda (gitar), Quiddo (drums), Therry (keyboard) dan Gandhi (bass). Nama The Hours Of Silence datang beberapa minggu kemudian. Gue yang mengusulkan ke teman-teman. Idenya sih lupa dari mana, tapi sejak lama gue selalu kepingin punya nama band yang panjang,” ungkap Yuka. Almarhum Teguh Priambada, teman sekelas Quiddo yang kemudian lebih dikenal lewat band Kidnap Katrina, bergabung dengan THOS beberapa bulan kemudian.

Mengawali panggung pertama di PL Fair ’90, selanjutnya THOS wara-wiri di berbagai pensi sekolah di era itu. Mereka juga sempat mengikuti Jubantara 91, sebuah kejuaraan bergengsi untuk band antar-SMA yang acaranya diselenggarakan di Balai Sidang Jakarta.

Akhir Februari 1991, THOS masuk studio rekaman dan merekam dua buah lagu yang kemudian mereka edarkan dalam format kaset. “Waktu itu kita bikin kaset, isinya dua lagu, kurang lebih 500 kopi dengan cover yang dibuat oleh seorang teman bernama Benny. Kaset itu kami jual dan laku keras di antara teman-teman sekolah kami… Dan banyak juga pembeli dari sekolah lain,” cerita Anda.

Lalu, pada bulan Desember 1991, THOS masuk studio rekaman lagi untuk merekam tiga lagu, yaitu “Silence Remain”, “Stand Up” dan “White Song”. Sayangnya, ketiga lagu tersebut tidak pernah sempat rilis. Hilang begitu saja sebagai demo.

Seiring perjalanan, nama THOS sendiri pun mulai redup usai mereka lulus SMA, Quiddo berangkat ke New Zealand, Teguh masuk IKJ, Anda masuk Trisakti dan Yuka ke Bandung. THOS pun vakum dengan sendirinya.

Di 2015, THOS kembali reuni dalam rangka reuni akbar ke-50 dari SMA mereka. Karena aspirasi dari teman-teman seangkatannya, THOS akhirnya muncul kembali untuk manggung di reuni tersebut.

“Saat itu, kami tinggal bertiga (Quiddo, Anda dan gue). Lalu kami mengajak Rendi – yang teman satu angkatan – untuk bergabung. Plus waktu manggung, kami dibantu kakak kelas dari angkatan 89, Dave Lumenta (musisi juga doktor Antropologi yang mengerjakan musik untuk film Seperti Dendam, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas),” ujar Yuka.

Long story short, sejak saat itu Rendi bergabung dan THOS pun kembali dengan formasi Quiddo, Anda, Yuka dan Rendi. Sebagai langkah dan jejak awal, “Silence Remain” yang pernah ditulis dan direkam tahun 1991 diaransemen untuk kemudian dirilis ulang dalam format sound yang terbaru.

 

Jika disimak, “Silence Remain” dipenuhi dengan hamburan synthesizer dan programming sejak awal hingga akhir, progresi nada dan kord singel ini langsung mengingatkan kita pada tingkah polah band dari mulai Simple Minds, U2, INXS sampai Tears For Fears yang notabene digandrungi di era ’80 hingga awal ’90-an. Sebuah era di mana big synth sound, drum programming menjadi ciri khas yang pada hari ini kembali direproduksi dan disajikan ulang lewat grup-grup macam The 1975 dan masih banyak lagi.

Tahun 1980 – 1990-an sedang heavy metal atau glam metal sedang populer. Tapi karena Anda pada waktu itu merasa tidak yakin skill-nya bisa menjadi shredder atau guitar-hero, ditambah lagi range vokal Yuka juga tidak setinggi vokalis band-band heavy metal saat itu, maka THOS lebih berkiblat ke U2, INXS, Simple Minds dan Tears For Fears. Untungnya malah banyak penonton yang suka.

Akibat pilihan dan referensi musik tersebut, gagasan dan ekspresi yang kemudian dimainkan THOS membawa mereka meraih status cult dalam waktu yang cukup singkat lantaran nama mereka yang kerap menghiasi panggung-panggung musik pada era tersebut.

“Silence Remain” sendiri menurut Anda hanyalah pemanasan untuk karya-karya terbaru yang telah mereka tulis yang nantinya tengah dipersiapkan untuk dirilis juga.

Dan hari ini, tanpa ada pretensi untuk mungkin meraih status yang sama, kembalinya The Hours of Silence dengan “Silence Remain” adalah sesederhana obat kerinduan mereka untuk bisa bermain musik, berekspresi dan memberikan energi kepada penikmat musik di Indonesia.


Penulis
Raka Dewangkara
"Bergegas terburu dan tergesa, menjadi hafalan di luar kepala."

Eksplor konten lain Pophariini

Wawancara Eksklusif: Dongker Lakukan Eksplorasi Necis di Album Perdana

Terbentuk tahun 2019, Dongker akhirnya mantap untuk segera merilis album penuh bertajuk Ceriwis Necis tanggal 24 Mei 2024. Album tersebut bakal berisi total 17 lagu termasuk 5 materi yang sudah rilis sebelumnya seperti “Bertaruh …

Farrel Hilal Gabung Sony Music Entertainment Indonesia

Menambah katalog perjalanan musiknya, Farrel Hilal kembali dengan single baru berjudul “Di Selatan Jakarta“. Perilisan ini menandai kerja samanya dengan label musik Sony Music Entertainment Indonesia.   Dalam meramu aransemen musik “Di Selatan Jakarta”, …