The Monophones, A Voyage to the Velvet Sun: Sekali, Berkesan Selamanya
Rasanya bukan cuma saya yang pertama kali mengenal The Monophones lewat “Rain of July” di lagu latar film “Catatan Akhir Sekolah” (Roxinema, 2005). Seperti lagu latar di film “Janji Joni” (Kalyana Shira Film, 2005), film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan dibintangi oleh Vino G. Bastian, Ramon Y. Tungka, dan Marcel Chandrawinata ini juga menggelar karpet merah lebar-lebar untuk band-band independen yang dirilis oleh label-label indie lokal untuk mengisi soundtrack-nya. Monophones jadi salah satunya.
Sebagaimana cukup lazim untuk band-band indie yang muncul di paruh pertama dan kedua millenium ketiga, retro menjadi formula yang cukup sering diusung. Musik turunannya bisa berbeda antara satu dengan yang lain. Tetapi mengacu pada kecenderungan, benang merahnya tetaplah sama: Memainkan musik dengan pengaruh dari nada-nada yang acap dimainkan pada dekade 50 ke 60.
Lalu Monophones menjadi satu dari sekian nama yang cukup sering mampir di telinga. Mendapatkannya dari mp3 bajakan yang dibeli di bilangan Alun-alun Kota Bandung, mp3 ini bisa berisi belasan bahkan puluhan album dalam satu cakram padat. Isinya bisa saja salah judul. Untungnya itu tak terjadi untuk trek “Rain of July” ini.
lazim untuk band-band indie yang muncul di paruh pertama dan kedua millenium ketiga, mengusung formula retro
Meski cinta kerap tak butuh alasan, tapi saya bisa yakinkan kalau bass-line adalah alasan saya jatuh hati pada kuartet Alexandria Deni, Fajar Dewa, Petrus Bayu, dan Taufan Darudriyo ini. Sebagai penjaga empat dawai, Petrus Bayu punya cara membuat pendengarnya untuk menggerakkan badan atau sekadar mengetukkan jari jemari. Menikmati lagu.
Sehingga, sesyahdu-syahdunya hujan di bulan Juli, bass-line Bayu selalu asyik dan funky.
Iya, saya sematkan kata “selalu” di sana karena ketika saya mulai punya akses mendengar secara penuh lagu-lagu dalam debut A Voyage to The Velvet Sun (Fuchsia Records, 2006) –yang lagi-lagi saya dapat dari mengunduh–, bass-line-nya lah yang selalu jadi perhatian pertama. Setelah itu, barulah aspek lain.
Vokal Deni yang khas, keyboard yang nyerempet psikadelik, ketukan drum yang rancak, flute yang nampang di depan, dan gitar yang mampu menjaga khittah pop-nya. Oh ternyata Monophones adalah unit pop sempurna yang pernah kita punya.
Hanya saja, sebagai band, umur Monophones ini enggak panjang-panjang amat. Kalau dijajarkan dengan band-band seangkatannya, Monophones mungkin jadi satu dari sekian yang lebih dulu tak terdengar suaranya.
Legasi mereka, sepanjang pengetahuan saya hanyalah enam trek di A Voyage to The Velvet Sun kemudian satu trek di kompilasi Mesin Waktu: Teman-teman Menyanyikan Lagu Naif (Aksara, 2007). Di kompilasi ini mereka membawakan ulang lagu “Nanar” yang dirilis Naif di album Retropolis – City of Joy (Indo Semar Sakti, 2005).
Ngomong-ngomong soal trek “Nanar”, ini pun komposisinya ampun-ampunan. Dibuka dengan suara organ gospel yang bersahutan dengan biola bersuara berat. Syahdu sejak detik pertama.
Lalu vokal Deni yang khas itu masuk. Bersama dengan alat gesek yang makin riuh dan saling jawab dengan ketukan drum canggung serta bass yang lasak. Trek lima menit 44 detik ini pun jadi makin kaya dengan solo gitar yang masuk di 2:56 disusul choir, flute, dan biola yang makin menyayat.
Legasi mereka hanyalah enam trek di A Voyage to The Velvet Sun dan satu trek di kompilasi Mesin Waktu: Teman-teman Menyanyikan Lagu Naif (2007)
Menit 3:25, vokal Deni di nada tinggi maju ke depan. Instrumen berhenti dan mempersilakan paduan suara menjadi latar. Membuat lirik “Tuhan biarkan ku temui Sang Kebenaran…” makin menjadi sebuah munajat. Monophones lantas menutup menit sisanya dengan keriuhan instrumen yang beradu padan hingga akhir.
Aih, (maaf-maaf saja) lebih “meledak” dari versi aslinya.
Monophones tak terdengar, begitu juga para personelnya. Terakhir saya hapal, Alexandria Deni ikut mengisi vokal di debut solo Mondo Gascaro, Rajakelana (2006). Taufan saya tak tahu. Sementara Fajar Dewa, lebih aktif sebagai fotografer. Paling Petrus Bayu yang masih tampak di beberapa panggung bersama Mondo.
Kalau merunut daftar rilisan mereka, sejak berdiri pada 2003, mungkin 2005-2006 lah puncak jayanya. Ikut meledak bersama album latar Catatan Akhir Sekolah, masuk ke kompilasi Peachy Little Secret (Fruit Records Singapore) hingga merilis debutnya tadi. Setelah itu saya tak pernah tahu banyak.
Ketik saja “The Monophones” di Youtube, maka keluar semua itu lagu-lagu. Diunggah berulang-ulang, di bermacam-macam kanal
Tapi toh muara sebuah karya tak pernah ada yang tahu. Kalau tahu, mungkin Vashti tak perlu undur diri. Nick Drake pun tak perlu mati sejak dini. Monophones boleh jadi sudah tak tampil lagi, tapi karyanya diapresiasi sangat tinggi. Didengar sampai hari ini.
Ketik saja “The Monophones” di Youtube, maka keluar semua itu lagu-lagu. Diunggah berulang-ulang, di bermacam-macam kanal.
Sebelum Ivy League, merilis ulang debut “A Voyage to the Velvet Sun” pada 2015, kaset rilisan Fuchsia langka. Kalau pun ada, harganya sudah tak terduga. Ketika Ivy League merilis lagi, belinya pun ngantri.
Hari ini Monophones kembali memberi bukti kalau karya mereka belum habis. Belum lama, dua lagu dari album satu-satunya tadi dirilis dalam format piringan hitam 7”. Sebetulnya rilisnya sudah setahun lalu di Jepang berkat kerja sama Ivy League dengan Dessinne. Habis di sana, dirilis lagi di sini dalam jumlah tampak banyak.
Meski virtual, belinya desak-desakan.
Pilihan “Rain of July” dan “A Voyage to The Velvet Sun” juga tepat. Walaupun jujur saja, saya tadinya mengharapkan enam trek seluruhnya dalam format ini. Tapi tak dimungkiri kalau dua lagu di atas adalah yang paling mahsyur dari Monophones. Satu lagu membawa mereka ke mana-mana, lagu lainnya didapuk jadi judul debut.
Kaset “Voyage to the Velvet Sun” rilisan Fuchsia langka. Kalau pun ada, harganya sudah tak terduga. Ketika Ivy League merilis lagi, belinya pun ngantri
Ah, memang tak ada yang gagal di rilisan semata wayang itu. Komposisi musiknya, tentu juga cara Deni mengambil nada untuk vokal, eksekusi di bagian-bagian akhir lagu, atau pecah suara Deni dan Acum (Bangkutaman) saat bertekad mendaki gunung tertinggi dalam “A Voyage to The Velvet Sun”. Belum lagi sampulnya yang khas imaji masa depan dekade 60. Lengkap.
Jika mengutip kata mereka, kalau semua karya adalah masterpiece, maka album semata wayang memang sudah cukup bagi Monophones.
Seperti kata Chairil: Sekali berarti, sudah itu mati.
Legenda atau tidak? Yang penting dia mengena. Abadi.
Perjalanan ke Beludru Matahari boleh jadi sekali saja. Tapi berkesan selamanya.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …
CARAKA Suarakan Berbagai Emosi di Album Terbaru NALURI
Unit pop asal Tegal, CARAKA resmi luncurkan album bertajuk NALURI (15/12). Melalui sesi wawancara yang berlangsung pada Senin (16/12), CARAKA membagikan perjalanan band dan hal yang melatarbelakangi rilisan terbarunya. CARAKA merupakan band …