Tulus dan Manusia: Comfort Zone atau Signature Sound?

Apr 15, 2022

Nyaris sewindu bersama Tulus sebagai gitarisnya di panggung dan teman diskusi di luar panggung, sulit bagi saya bisa luput mengenal dirinya dengan baik. Dan kini sebagai penulis, akhirnya saya menemukan momen tepat untuk menulis tentang dirinya. Yaitu pasca perilisan album kelima Tulus, Manusia

Dirilis 3 Maret 2022 kemarin album ini menandakan 10 tahun tepat Tulus berkarya sebagai solois pria. Setelah sebelumnya merilis Tulus (2011), Gajah (2014), Monokrom (2016), dan album live, Langsung Dari Konser Monokrom Jakarta (2019). 

Berjarak enam tahun dari album studio terakhirnya, bagi saya yang lama ada di dalam bandnya dari tahun awal hingga era Monokrom, album ini bisa dibilang hadir minim kejutan. Dari banyak materi lama yang sering saya dan Tulus mainkan, Manusia ini terdengar mirip-mirip. Ada beberapa pengulangan formula baik tema maupun musiknya.  

Berjarak enam tahun dari album studio terakhirnya, bagi saya yang lama ada di dalam bandnya dari tahun awal hingga era Monokrom, album ini bisa dibilang hadir minim kejutan

Namun meski begitu respon pendengar justru sebaliknya. Lagu “Hati-Hati di Jalan” menjadi viral bahkan sebelum dirilis resmi menjadi single. Berbagai versi dan berbagai meme humor bermunculan. Bahkan tembus playlist global Spotify dan Billboard. Penilaian soal estetika materi album Tulus, Manusia yang menurut saya minim kejutan, ternyata dipatahkan oleh respon yang masif. 

Estetika musiknya ini adalah salah satu hal yang ingin ditanyakan ketika membuat janji untuk temu kangen, sekaligus wawancara untuk Pophariini. Bertempat di kantor barunya, Rumah Tiga Dua Satu yang merupakan salah satu buah karya arsitek senior Andra Matin (Mas Aang). Dan karena Tulus juga arsitek, jadi banyak diskusi seru di antara keduanya dalam membangun Rumah Tiga Dua Satu.

Di kantor bercita rasa tinggi yang arsitekturnya mengekspos batu bata, saya disambut oleh sorot mata dan kehangatan senyum kawan lama. Seolah berucap, “akhirnya lo nulis tentang gue juga ya?” Sambil kami duduk di alas duduk yang dibuat khusus, bisa sebagai alas tidur atau duduk-duduk, lengkap dengan bantal kecilnya. 

Tulus di kantor Rumah Tiga Dua Satu / Foto. Rakasyah Reza

Saya memulai obrolan setengah empat sore membahas waktu perilisan di tanggal 3 Maret kemarin. Apakah semuanya sesuai waktu? Karena Tulus yang saya kenal, detail dan penuh perencanan. Ternyata perilisan albumnya mengalir saja seselesainya. Dan apakah sempat ada kekhawatiran dengan ekspektasi orang mendengar musik saat pandemi? 

“Musik kapan aja dirilis itu bisa, karena udah jadi kebutuhan kita kan, To.” 

Kata-kata itu terngiang di telinga. Saya cukup mengenalnya dan yakin hal itu pasti pernah menghampiri. Tapi dengan dukungan tim manajemen Tulus yang memasuki dekade pertamanya, saya yakin Tulus sudah bisa mempercayakan, dan sepenuhnya fokus kepada proses kreatif bermusiknya.

Salah satu kekuatan utama Tulus adalah kerja tim. Termasuk urusan konsep dan detail karya yang menjadi ciri khasnya. Saya jadi ingat saat album Monokrom akan dirilis, dan Ia meminta masukan tentang logo huruf baru Tulus yang bagi mata awam tidak ada bedanya. Tentu bagi saya, lulusan seni rupa dan desain, ini diskusi menyenangkan. Ini salah satu contoh konsep dan detail adalah segalanya. 

Konsep improvisasi yang berlaku pada Tulus mengingatkan saya pada musik jazz. Yang sebetulnya seperti matematika. Meski musik jazz terlihat begitu bebas dan selalu ada ruang untuk improvisasi yang bahkan menjurus ke suatu yang di luar nalar

Setelah 10 tahun mengutamakan hal itu dalam karya-karyanya lantas apa hal ini selalu berhasil? Jawabannya, ya. Baginya hal itu tidak akan pernah buang-buang waktu dan energi.

“Sejauh ini yang dipelajari dari pengalaman gue, konsep yang detail selalu berhasil. Karena otomatis jadi lebih memperhatikan karya kita. Lebih mengapresiasi, dan dengan begitu karyanya akan lebih terhidupi.”

Lalu saya bertanya-tanya soal ruang improvisasi. Yang seringkali membuat kerja kreatif jadi lebih humanis. Kami terlibat obrolan seru soal hal ini. Selalu ada ruang improvisasi dalam sistem kerjanya. Dari saat membuat konsep harus menyertakan improvisasi. Tapi ide, konsep dan improvisasi saat dieksekusi itu harus seperti yang diharapkan. 

Konsep improvisasi yang berlaku pada Tulus mengingatkan saya pada musik jazz. Yang sebetulnya seperti matematika. Meski musik jazz terlihat begitu bebas dan selalu ada ruang untuk improvisasi yang bahkan menjurus ke suatu yang di luar nalar. Tapi sesungguhnya semua itu ada hitungannya. Hubungan antara pola pikir Tulus dengan genre ini tidak mengada-ngada mengingat musik jazz adalah salah satu latar belakangnya. 

Selain dalam lagu-lagunya di album, aransemen spesial komposisi jazz selalu hadir dalam konser tunggalnya.

Sempat aktif di Klab Jazz, tempat bertemu dengan dengan drummer/produser Ari Renaldi, yang aktif di situ. Latar belakang musik jazz sendiri adalah salah satu hal yang membuat Tulus sebagai penyanyi akan selalu ada di posisi berbeda. Selain dalam lagu-lagunya di album, aransemen spesial komposisi jazz selalu hadir dalam konser tunggalnya. Terakhir, hit Sewindu diaransemen bernuansa swing jazz dalam album Langsung, Dari Konser Monokrom di Jakarta. Sehingga membuat penonton sulit untuk bernyanyi bersama. Tapi tentunya tepuk tangan di akhir lagu tetap hadir riuh membahana.

Ari Renaldi sendiri adalah produser di balik musik-musik Tulus. Meskipun kemudian Manusia membuat saya berpikir bahwa bekerja sama dengan Ari adalah perangkap zona nyamannya. Karena sebelumnya saya menemukan kebaruan yang menjanjikan ketika ia berkolaborasi dengan Petra Sihombing saat merilis single “Labirin”. Soal zona nyaman ini membuat saya penasaran untuk mendiskusikan soal albumnya. Terlebih karena kerja sama dengan Ari Renaldi kini genap memasuki tahun ke 10. 

Tulus / dok. TULUS (Fotografer: Adhitya Himawan)

Apakah album ini zona nyaman, atau memang signature sound nya seorang Tulus?. Baginya sebagai penulis lagu dan penyanyi yang tidak bisa bermain alat musik, tidak mudah menemukan produser yang bisa menerjemahkan ide-ide yang hanya mengandalkan imajinasi saja. Dengan Ari, sudah ada pembuktian tiga album dan satu album live. Keistimewaan interaksi mereka adalah kuncinya.

“Untuk signature sound Tulus, mungkin gue sotoy ya, To. Tapi bisa jawab dari konsistensi gue melangkah sambil mengembangkan diri dan mengasah sensitivitas gue, kayanya gue udah nemu. Ritmenya gini, jalannya gini.”

Juga menurut Tulus album Manusia dirasa sebagai puncak kreativitas mereka berdua. Yang terjadi dari hasil berinteraksi dan diskusi selama ini. Saya bercerita banyak perihal analaisa materi album ini yang terasa tidak banyak perubahan. Ketika mengungkapkan hal ini, Tulus tampak sumringah dan bersemangat untuk memotong, 

“Setelah yang lo sampaikan ini, To, saat nanti menulis lagu lagi, mungkin gue akan mendapatkan suntikan keberanian ekstra untuk membuat sesuatu yang lebih dekonstruktif. Di luar yang gue kerjakan sekarang.”

Baginya sebagai penulis lagu dan penyanyi yang tidak bisa bermain alat musik, tidak mudah menemukan produser yang bisa menerjemahkan ide-ide yang hanya mengandalkan imajinasi saja.

Lalu menambahkan kalau menurutnya yang telah saya lalui itu adalah sensitivitas yang baik. Dan input itu sangat besar nilainya baginya. Tapi menurutnya yang saya amati adalah rona pengamat musik. Perhatian pada estetika dan pencapaian artistik. Termasuk pemilihan kord, instrumentasi, detail bebunyian, serta musik yang membungkusnya. 

Tapi menurutnya, musik bisa punya elemen lain. Melodi vokal, sudut pandang lirik, ide cerita, tema besar dan perkembangan pola pikir musisi bersangkutan. Ada baiknya saya menempatkan diri sebagai pendengar kasual. Saya lalu teringat dengan perasaan pertama mendengarkan “Hati-Hati di Jalan”. Tidak terasa baru, tapi terasa tidak asing dan mampu dengan mudah menghinggap di hati. Pun ketika mendengarkan liriknya dan menemukan sudut pandang khas Tulus yang cerdik. 

Obrolan berlanjut soal seberapa produktif dirinya dalam menulis lirik lagu. Tulus lebih memilih melatih kepekaan dirinya dalam menulis lirik. Yang membuatnya mampu menakar ide yang datang. Ketika ada tema menarik dilagukan, ia akan mendalami hal itu. Bagaimana sudut pandang yang akan dipilih dan layak dilagukan ke dalam lagu berdurasi tiga sampai lima menit.

Tulus lebih memilih melatih kepekaan dirinya dalam menulis lirik. Bagaimana sudut pandang yang akan dipilih dan layak dilagukan ke dalam lagu berdurasi tiga sampai lima menit.

Lalu setelah 10 tahun adakah pola dalam menulis lagu atau cara menyiasati kebuntuan ide? Menurutnya hingga kini sangat beragam untuk bisa ditarik pola dalam menulis lagu. Bahkan setelah 10 tahun berkarya sekalipun. Ia pernah mencoba mengunjungi kembali tempat-tempat yang dulu sering dikunjungi, pesan makanan yang sama dan tetap tidak mendapatkan apa-apa.

Namun saat pulang ke rumah, di kamar yang bernuansa baru karena habis dicat ulang dan direnovasi tiba-tiba bisa dapat ide baru. Sebelumnya bahkan pernah mengalami momen sama sekali tidak menulis lagu dalam enam-delapan bulan karena rutinitas manggung keliling kota. Lantas apakah ia pernah kebanjiran ide menulis lagu? Ia menjawab sambil bercanda.

“Gue tuh bisa dibilang ga pernah kebanjiran ide. Malah lebih seringnya kekurangan, To,” Jawabnya tergelak.

Menurutnya bentukan faktor terpenting yang ia sadari sejauh ini adalah murni bakat dan talenta. Serta mungkin fungsi dia diciptakan di dunia ini untuk itu. Karena ia selalu bingung untuk menjelaskannya.

Lalu apa yang sedang dibaca, apakah punya buku favorit? Seingat saya, selama dengannya terutama di bandara, di banyaknya waktu untuk dibunuh, tidak pernah luput dari bacaan di tangannya. Namun tidak berkaitan dengan puisi atau apapun. Dia terbahak ketika saya mengingatkan soal ini, 

“Ya lo tau kan bacaan gue dari dulu. Majalah katalog, mobil, ponsel, gadget, ya gitu-gitulah. Apa coba hubungannya? (tertawa). Di rumah juga juga buku-buku gue sekarang banyak buku arsitek yang banyaknya bahasa Prancis. Ngerti juga engga gue itu isinya apa, To. Kayanya emang gue bakat menulis lirik aja sih”

Tulus / dok. TULUS (Fotografer: @claudianrh)

Tulus juga membenarkan kalau ia membaca beberapa buku sastra. Tapi sekali lagi, menurutnya bentukan faktor terpenting yang ia sadari sejauh ini adalah murni bakat dan talenta. Serta mungkin fungsi dia diciptakan di dunia ini untuk itu. Karena setiap ditanya hal ini, ia selalu bingung untuk menjelaskannya.

Perihal sudut pandang lirik ini membuat saya harus memikirkan ulang pernyataan sebelumnya. Meski tidak ada sesuatu yang baru, Manusia adalah signature sound-nya Tulus. Area yang sudah semakin dikuasai oleh Tulus. 

Saya lantas mafhum ketika mendengarkan “Ingkar” seperti mendengarkan “Baru” versi kini. “Tujuh Belas” dan “Satu Kali” mengingatkan pada “Lekas”, dan “Manusia Kuat” yang megah dan positif, “Jatuh Suka” seperti “Jatuh Cinta” versi terbaru. “Satu Kali” dan “Remedi” seperti “Maha Karya” yang dikawinkan dengan musik megah ala “Lekas”. “Luka” mengingatkan dengan “Gajah”. Terakhir “Hati-Hati di Jalan”, bagaikan “Sewindu” dan “Ruang Sendiri” yang menenangkan dan dijamin mengundang koor penonton dan tidak akan mati gaya dibawakan di panggung besar. 

Yang paling menarik perhatian saya adalah “Nala” yang ditulis bersama dengan Dere. Dengan tema yang begitu pilu, dalam katalog Tulus selama ini rasanya saya belum menemukan lagu yang sebegitu sedihnyaNamun dari “Nala” saya menemukan konsistensi tema dari seorang Tulus. Meski kemiripan dengan album sebelumnya masih terasa. Kejelian tema, dan kemampuan mengantarkannya menjadi lagu yang menyentuh. Dan bisa mewakili perasaan banyak Nala di luar sana. Sebagai bukti cek saja kolom komentar di akun video lirik resmi “Nala” di Youtube. 

Obrolan kami berlanjut ke lagu “Hati-Hati Di Jalan” yang jadi viral. Tapi saya memilih mencari tahu pendapatnya tentang gimmick dalam musik. Yang belakangan menjadi kambing hitam. Dan juga bagaimana dengan digital streaming provider (DSP) yang kini mengubah cara kita mengonsumsi lagu.

Menurutnya manajemen harusnya beradaptasi, tanpa perlu diminta. Mengikuti zaman dan teknologi. Termasuk juga manajemen TulusCompany dan Rumah Tiga Dua Satu yang telah menjalankan perannya dengan baik. Ini adalah salah satu hal yang ia sukai dan merasa nyaman. Karena ia bisa tetap fokus di studio menggarap musiknya. Dan menurutnya soal gimmick dalam musik,

“Strategi memasarkan makanan itu akan terus berkembang. Tapi tetap pada saat makanan itu sampai ke mulut konsumen, yang terpenting rasanya. Kurang lebih juga kaya gitu sih, To.”

Baginya ada romantisme tersendiri ketika tidak ada intensi apa-apa, tiba-tiba dihampiri sebuah lagu. Entah itu via radio, atau lainnnya. Terlebih di era kini saat lagu itu sudah ditentukan oleh kurator sebuah DSP

Saya harus sepakat kalau materi musik yang bagus akan menemukan jalannya sendiri. Atau bahasanya Tulus, menghampiri pendengarnya sendiri.

“Gue tuh paling seneng kalo musik nyamperin kita, To. Ini tuh penting banget bagi gue”

Baginya ada romantisme tersendiri ketika tidak ada intensi apa-apa, tiba-tiba dihampiri sebuah lagu. Entah itu via radio, atau lainnnya. Terlebih di era kini saat lagu itu sudah ditentukan oleh kurator sebuah DSP. Saat ini akses respon pendengar bisa sampai secara langsung. Seberapa banyak, usia, lokasi di mana, dsb. Kalau saat era CD, ada jeda waktu mengetahui kalau lagu itu didengar, misalnya, oleh 100 orang. Melalui laporan penjualan CD yang berjumlah sama. Dulu sambil menunggu, banyak hal yang sempat dilakukan. Berbeda dengan saat ini yang benar-benar cepat. 

Ini mengingatkan saya pada yang terjadi dengan lagu “Hati-Hati di Jalan”. Internet membuatnya menjadi viral, bahkan ketika lagu ini belum dirilis sebagai single. Hal-hal ini adalah sesuatu yang tidak terjadi pada album tiga awal Tulus. Yang dominannya masih mengandalkan radio, CD dan sedikit internet. 

Rajin mengoleksi kaset waktu di Sekolah Dasar, beralih ke CD di waktu SMA dan kuliah dan kini berlangganan DSP yang begitu instan. Ini juga yang membuat dirinya mantap untuk terus merilis album-albumnya dalam bentuk fisik.

Seperti kita, Tulus  juga mengapresiasi rilisan fisik. Rajin mengoleksi kaset waktu di Sekolah Dasar, beralih ke CD di waktu SMA dan kuliah dan kini berlangganan DSP yang begitu instan. Ini juga yang membuat dirinya mantap untuk terus merilis album-albumnya dalam bentuk fisik. Dan tidak lantas terbuai dengan kegemilangan Tulus dengan album Manusia di DSP. 

Lalu perbincangan mengarah ke perbandingan tiga album studio Tulus. Yang paling rumit dan sebaliknya. Baginya album pertama, Tulus dirasa yang paling rumit karena album perkenalan. Bagaimana mengurai pemikiran yang ada di otaknya dan menggodoknya menjadi musik bersama dengan Ari Renaldi. Sehingga menemukan rumus dan signature sound seorang Tulus. Soal album yang paling sederhana menurutnya begini,

“Album Gajah itu album yang paling sederhana, To. Karena udah banyak hal yang tadinya nggak gue ketahui, terus udah tau. Dan itu membuat gue jadi lebih rileks pada saat itu.”

Sedangkan di Monokrom ia sudah bisa bersyukur dan berterima kasih. Karena bernyanyi bisa jadi profesi dan ada nilainya buat orang-orang di sekitarnya. 

Tulus / dok. TULUS (Fotografer: @claudianrh)

Lalu saya jadi berpikir setelah tiga album studio dan album live, Manusia adalah upaya Tulus menutup satu bab, 10 tahun perjalannya dengan tim yang sudah ia percayai. Hal ini diperkuat ketika menyinggung artwork sampul albumnya. Yang masih dikerjakan oleh Adhitya Himawan. Fotografer yang memberikan rasa pada visual semua sampul album Tulus dari dulu hingga kini. Ini jelas area nyamannya Tulus. Seperti halnya kerja sama Tulus dengan Ari.

Di akhir obrolan saya teringat salah satu kata-katanya perihal respon pendengar lagunya.

“Menurut gue lagu itu bisa panjang umurnya dan perjalannya bila (lagu) itu multi interpretasi.” 

Di sini saya berpikir ada sesuatu yang juga penting dari pencapaian estetika dan artistik sebuah karya seni. Bagaimana karya bisa hidup, memiliki nyawanya sendiri dan menjadi milik banyak orang. Ini keajaiban Muhammad Tulus. Dengan sudut pandang berbeda lirik dan musiknya mampu menembus telinga dan hati para manusia yang memiliki ribuan emosi. 

Tulus konsisten mengeksplorasi sudut pandang penulisan, dan tema. Terutama tema pengandaian yang membuatnya dengan mudah mencuri perhatian pendengarnya baik yang lama, baru, ataupun pendengar kasual yang bukan penikmat musik sama sekali. 

Kepiawaian memilah lirik selalu terasa begitu dekat dan jitu. “Sewindu” dan “Sepatu”, dan kini ucapan, hati-hati di jalan bisa dibungkus sebagai kisah asmara dengan alur kejut tidak bahagia di ujung. Alur kejut ujung ini juga faktor kekuatannya. Memelintir ungkapan cinta klise menjadi “Jangan Cintai Aku Apa Adanya”. Perundungan masa kecil menjadi, “Gajah”, puji syukur digubah indah dalam “Monokrom”. 

Estetika musik Tulus dalam Manusia bisa jadi bukanlah tujuan utama. Karena album ini minim lagu rumit nan artistik. tapi dominan mudah dinyanyikan dengan iringan gitar kopong. Bila sebelumnya ada “Kisah Sebentar” yang menghentak, punya bagan lagu dan ketukan berubah-ubah, “Tanggal Merah” yang hanya ditemani kontrabass, juga “Tukar Jiwa“ dan “Tergila-gila” yang rumit.  Lagu-lagu yang lebih ringan hadir seperti “Kelana”, “Remedi”, “Interaksi”, ”Jatuh Suka”, “Nala” dan tentunya, “Hati-Hati di Jalan”. Kalaupun ada yang sedikit rumit hadir, “Ingkar” yang sarat instrumen gesek megah. 

Konsistensinya ini patut dihargai. Album ini tentu tidak bisa dibandingkan dengan misalnya, Isyana Sarasvati yang membuat kejutan dengan merilis, LEXICON. Tapi dengan penyanyi lain yang seangkatan, Tulus dalam Manusia konsisten mengeksplorasi sudut pandang penulisan, dan tema. Terutama tema pengandaian yang membuatnya dengan mudah mencuri perhatian pendengarnya baik yang lama, baru, ataupun pendengar kasual yang bukan penikmat musik sama sekali. 

Setelah perbincangan panjang, bagi saya Manusia menutup perjalanan 10 tahun Tulus dengan signature sound nya sekaligus pilihan cerdik tetap berada di zona nyamannya

Perihal pendengar kasual ini adalah hal yang sempat luput dari pengamatan saya kala menyimak Manusia. Bagaimana bisa lagu ini terdengar mengalun di supermarket dekat rumah bahkan di pos satpam rumah saya. Kejelian sudut pandang liriknya terbukti berhasil mendobrak kelas sosial pendengarnya. 

Setelah perbincangan panjang, bagi saya album kelima Tulus, Manusia menutup perjalanan 10 tahun dengan signature sound nya sekaligus pilihan cerdik tetap berada di zona nyamannya. Sementara estetika musiknya difokuskan ke arah yang semakin matang dan nyaman, menembus hati pendengarnya. Untuk lagu yang viral, anggap sebagai bonus dari warganet Indonesia.

Lalu apa setelah melampaui 10 tahun dan tidak ada sesuatu yang benar baru? Mungkin setelah berpesan agar hati-hati dalam perjalanan pulang, Tulus akan punya jurus jitu lain berikutnya? Biarkan waktu yang menjawabnya. Untuk saat ini mari sama-sama kita ucapkan terima kasih dan selamat atas perjalanan 10 tahunnya yang telah mengisi hati banyak jiwa-jiwa manusia dengan beragam emosi.

 


 

Penulis
Anto Arief
Suka membaca tentang musik dan subkultur anak muda. Pernah bermain gitar untuk Tulus nyaris sewindu, pernah juga bernyanyi/bermain gitar untuk 70sOC.

Eksplor konten lain Pophariini

Lirik Lagu Badut Pangalo! untuk Merayakan Hari Buruh

Dalam rangka Hari Buruh 1 Mei 2024, Pophariini memilih lagu Pangalo bertajuk “Badut”. Kami merasa lirik lagu yang rilis tahun 2018 di album Hurje! ini cocok untuk didengarkan sembari memikirkan masa depan kehidupan. Mengutip …

Persiapan Voice of Baceprot Manggung di Glastonbury Festival 2024

Bertahun-tahun yang lalu, band Nidji sempat mengimpikan untuk bisa tampil di festival satu ini. Sebelumnya, band sekelas U2 pernah mengungkapkan bahwa mereka bangga menjadi bagian dari perhelatan. Di antara kenyataan tersebut, Voice of Baceprot …