Wawancara Khusus Vicky Mono: Masa Lalu Pelajaran buat Hari Ini

Sep 20, 2021
Vicky Mono Burgerkill

Tiga belas tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi Vicky dalam mengarungi perjalanan bermusik bersama band metal yang akhirnya mendapat penghargaan sebagai ‘Band Metal Terbaik Sepanjang Masa’. 

Di antara catatan terbaik yang pernah diraih bersama, Vicky Mono membuat keputusan besar di akhir 2020. Ia memilih untuk membuka lembaran baru dengan proses bermusik yang berbeda atas nama Suarahgaloka. 

Kecintaannya terhadap musik sudah tumbuh sejak masih remaja. Ia tak pernah absen mendatangi panggung musik. Meskipun Vicky Mono tidak pernah menyolder dirinya untuk total bermusik.

Pophariini mendapat kesempatan untuk berbincang dengannya hari Selasa (14/09) melalui Zoom. Dari mulai titik awal, mengikuti audisi masuk Burgerkill, usaha kacamata, hingga isyarat mimpi. Simak berikut ini:


Mundur sejenak ke titik awal Vicky memulai perjalanan bermusik. Bagaimana ceritanya?

Sebenarnya sih, enggak pernah untuk memutuskan totally bermusik. Awalnya, cuma sekadar hobi saja mengisi kekosongan waktu. Dimulai dari SMP ya, sama teman-teman kompleks (perumahan) ada studio rehearsal. Mengisi kekosongan waktu, dulu di kompleks tuh ‘diasuh’ sama senior lah ya, kakak gitu di sana di kompleks. Jadi, banyak pasokan referensi musik saat itu.

Berawal dari punk, grindcore, hardcore, dari situ sih mulainya, dari SMP. Kayaknya benar, seperti merdeka saat itu. Jadi, kayak pilihan yang sangat menarik, meluapkan energi di musik extreme karena SMP tuh kan sangat menggebu-gebu. Saat itu energinya sangat luar biasa. Jadi, saat itu tuh kayak asyik juga ya bermusik. Selain itu pun jadi banyak teman. Sangat sederhana sih sebenarnya. Mulai dari situ ya memang hanya berjalan saja. Enggak terlalu concern gitu. Maksudnya tuh “OK bermusik saya harus les gitar. Saya harus jago. Saya harus les drum”. Enggak sih. Cuma banyak dengerin referensi, banyak komunikasi sama teman-teman di kompleks.

Sebenarnya sih, enggak pernah untuk memutuskan totally bermusik. Awalnya, cuma sekadar hobi saja mengisi kekosongan waktu

Saat itu kan era-era Saparua. Jadi, setiap weekend tuh pasti ada event di Saparua, dan banyak band-band keren di sana. Jadi, saat itu saya hanya menjadi seorang stupid metal fans gitu yang datang ke sebuah gigs di Saparua setiap weekend. Dan sebenarnya enggak tau juga itu tuh band apa saat itu. Jadi, saya memang niat saja datang sendiri. Datang ke sana. Tapi di sana memang sangat sederhana. 

Maksudnya sangat sederhana yang saya tangkap, di sana tuh memang kumpulan orang-orang ingin meluapkan kesenangan gitu lewat musik. Jadi, di sana tuh kita bisa berbaur dengan siapapun itu di Saparua tuh. Dari situ kayak menemukan rasa yang kayak asyik banget, maksudnya dari musik bisa banyak teman. Terus banyak sesuatu yang bisa diluapkan. Dimulai kuliah, dimulai masuk kuliah tuh memang, SMA malah enggak main band. Malah SMA cuma menjadi anak sekolah yang baik [tertawa].

Cuma dengar-dengar referensi dengan yang lain sih. Maksudnya kan banyak, di situ mulai banyak genre di Bandung tuh banyak tongkrongan saat itu. Di setiap tongkrongan itu masing-masing mempunyai ideologi bermusik beda-beda. Kayak di PI tuh di belakang BIP, di situ teman-teman, anak-anak punk yang sukanya tuh ya bermusik terus demo ke Gedung Sate segala macam. Terus di Ujung Berung gitu kan musik-musik yang sangat mendalam banget, memaknai musik. Terus ada Harder, terus ada Pacific saat itu di BIK, anak-anak indies jadi berbaur saja ke mana-mana. Dari situ pun banyak referensi tidak hanya di musik extreme. Ternyata di situ baru menemukan ternyata musik tuh hanya kendaraan untuk meluapkan sesuatu atau enggak musik sebagai sarana untuk menyampaikan pesan.

Dan ini menarik karena saya tuh cenderung tidak suka, saat itu hanya diam di rumah. Enggak concern gitu untuk bermusik. Cuma bisa merhatiin. Punya mimpi pun sebenarnya enggak ada. Mimpi untuk menjadi musisi besar, enggak ada. Cuma mengalir saja saat itu. Di situ mulai ingin menulis karena banyak diam saat itu. Jadi, di tempat tongkrongan pun enggak banyak berbicara, banyak merhatikan. Ada beberapa yang suka menulis tentang kondisi saat itu.

Setelah kuliah barulah berjumpa lagi, ketemu lagi dengan anak kompleks. Dan di situ tuh kita baru bikin band lagi. Terus baru, saat itu Heaven Fall ya. Kuliah semester 2 dan sempat bikin karya, album ya. Di situ mulailah seperti fokus bermusik. Tapi enggak juga sih, tapi sebenarnya kayak sarana kumpul-kumpul saja di Heaven Fall. Dan sempat juga sama Balcony saat itu, untuk mengisi kekosongan, meneruskan posisi Barus.

Jadi, saat itu saya hanya menjadi seorang stupid metal fans gitu yang datang ke sebuah gigs di Saparua setiap weekend

Terus di 2007 tuh kan ya sama Burgerkill (BK) ya, melalui proses audisi dan segala macam. Itu pun enggak ini sih. Enggak ada niatan khusus, untuk apa ya, obsesi gitu menjadi menggantikan saat itu kan karena saya juga pun sempat ikut nongkrong di Ujung Berung. Tau sama teman-teman di sana. Kenal sama Ivan, kenal sama teman-teman BK yang lain. Jadi setelah beres nongkrong di Ujung Berung, fokus kuliah sama main musik iseng-iseng. Setelah dengar kabar bahwa Ivan meninggal, ada sayembara untuk ini kan ya.

Oh, sebelumnya, ada pengganti sementara dulu karena ada kepentingan untuk, kontrak untuk tur kan. Jadi, ternyata yang menggantikan almarhum tuh Behom (Jasad). Oh, iya iya berarti ini. Tapi setelah itu, ada sayembara untuk audisi. Tidak ada niat sedikitpun untuk audisi saat itu tuh. Berangkat dari stupid metal fans. Terus berangkat dari seorang Begundal (sebutan fans Burgerkill, red) yang memang appreciate sekali mempunyai band sekelas Burgerkill di Indonesia. Berangkatnya dari situ. Jadi, tidak berani untuk bermimpi pun saat itu menggantikan sosok almarhum. Jadi prosesnya singkatnya memang. Saat itu saya kuliah sambil usaha kan. Usaha kuliner gitu. Kebetulan di tempat kuliner itu tuh, saya nyewa ke seorang teman dan seorang teman saya itu sangat obsesi untuk ikut audisi.

Dan saya pun enggak tau, ternyata dari hasil recording itu file-nya tuh dikirim sama teman saya ke pihak manajemen Burgerkill

Jadi, saat itu tuh kan prosesnya adalah men-download minus one-nya di official website-nya Burgerkill. Dan teman saya itu tuh karena terobsesi pengin menjadi seorang, pengin ikut audisi. Jadi, dialah yang men-download dan pengin bareng-bareng latihan sama saya. Latihan vokal di rumahnya sama-sama. Terus setelah itu, kita coba record yuk. Kita record minus one-nya diisi dengan vokal. Kita bertiga saat itu. “Gue kagak punya duit euy”. Sudah enggak apa-apa, dari gue saja. Satu shift kita bagi tiga saja. Dan karena saya tidak ada niatan, jadi saya cuma, di proses recording itu tuh saya cuma kebagian satu jam. Dan niatnya pun untuk jadi koleksi saja. Ada minus one-nya Burgerkill dengan ada suara saya. Sudah saja kan. Sudah selesai. Dan saya pun enggak tau, ternyata dari hasil recording itu file-nya tuh dikirim sama teman saya ke pihak manajemen Burgerkill. Saya enggak tau itu dikirim.

Jadi setelah itu, sebulan dari situ ada SMS. Zaman SMS saat itu. Ada dari manajemennya Burgerkill, bahwa saya masuk ke empat besar dan harus mengikuti prosesnya. Proses audisi. Ternyata memang hampir enggak datang tadinya karena enggak PD (percaya diri, red). Terus saya masuk euy. Harus ngapain gitukan? Jadi prosesnya memang ya ada interview, terus nulis lirik di tempat, terus ada proses recording ditemani lineup-nya Burgerkill. Terus yang ketiga, ada manggung bareng ya dengan tiga vokalis saat itu. Dan akhirnya, singkat ceritanya. Saya masuk gitu jadi bagian sejarahnya Burgerkill. Di sela itu emang hanya bersyukur saja. Ketika “Wah masuk audisi. Wah, udah jadi bagian sejarahnya BK”. Cukup ah sampai sini. Tapi ternyata terus ya prosesnya sampai titik saya harus meneruskan semangatnya Burgerkill dan semangatnya Ivan.

Singkat ceritanya, saya masuk gitu jadi bagian sejarahnya Burgerkill. Di sela itu memang hanya bersyukur saja

Tapi sebelumnya, dua minggu sebelum. Cerita sedikitlah ya, sebelum ada proses audisi itu. Saya sempat bermimpi, sebelum Ivan meninggal malah. Saat itu masih ada Yayat. Yayat itu adalah soundman-nya Burgerkill. Orang yang sangat berpengaruh di BK juga saat itu. Saya bermimpi tiba-tiba ada di sebuah warung terus ketemu sama Mang Yayat ini. Terus tiba-tiba dia bilang gini, “Vick loe kalau mau jadi vokalis BK harus berkumis”. Saat itu kan saya belum berkumis. Itu sebelum Ivan meninggal.

Masih bingung. Setelah ditelusuri masih di mimpi itu, terus main ke belakang warung itu. Ternyata ada lapangan besar, di tengah-tengah ada motor yang berstandar setengah gitu loh di pinggir. Ternyata yang di motor itu adalah almarhum Ivan. Saya ngobrol, “Van apa kabar?”, memang sebelumnya saya pernah kenal. Sempat main ke rumahnya kan. Almarhum Ivan bilang, “loe kalau mau jadi vokalis BK harus sungguh-sungguh”. Dia bilang gitu. “Jangan malu-maluin gue ya”. Nah, dua minggu setelah itu baru ada kabar bahwa Ivan sakit dan meninggal. Dan setelah itu tuh, sebenarnya ingat mimpi itu kayak mundur lagi ke belakang. Ketika saya sudah ada di posisi jadi vokalis BK. Baru ingat ada mimpi itu. 

Ibaratnya sudah ada pertanda?

Mungkin simbol ya.

Siapa band yang Vicky tonton pertama kali pas SMP di Saparua saat itu?

Kayaknya Suckerhead dan itu masih bingung. Jadi, kebetulan tuh tau Suckerhead dari mantannya pacar kakak saya saat itu. Dulu tuh suka nge-japrian gitu. Dia kan main musik black metal. Dia tuh bandnya Trakompimpa kalau enggak salah, band Pasteur. Jadi suka pakai baju band-band keren gitu. Saat itu kan baju band-band impor sangat susah ya. “Ini apa, ada artwork apa desain baju apa kok bagus”. Dari situ baru ada interaksi, “ini tuh band ini”. Eh, entar pasti update gigs. Di Saparua ada Suckerhead. Band apa Suckerhead? Masih SMP. Ini ada band thrash metal dari Jakarta, sama Tengkorak berarti kalau enggak salah. Event-nya lupa. Baru ke sana tuh masih bingung. Kok pada pake masker, pada pake peluru, rambut spike. Sedangkan saya ke sana pakai celana pendek. Anak kecil terus sendiri, bingung.

Nunggu jebol gitukan karena penuh bangetkan saat itu. Tapi di situ tuh kayak, yang saya rasakan, ketika punya teman di sana. Kenal di Saparua tuh dituntut jadi kreatif. Jadi yang pertama karena kapasitas gedungnya tuh sangat penuh. Kadang ada yang bawa duit, tapi dia enggak bisa masuk karena penuh jadi nunggu jebol.

Yang kedua, ada yang enggak bawa duit jadinya kreatif. Maksudnya kreatif tuh dulu tuh kan masih cap, kalau misalnya kita beli tiket dicap. Kita cuma beli salonpas. Jadi yang sudah dicap, teman yang sudah masuk. Kita tempelin salonpas itu baru digambar ulang pake spidol terus ditempel lagi. Jadi, memang dituntut kreatif saja dan dituntut kesabaran.

Cerita Kang Vicky mengingatkan saya sama film dokumenter yang dibuat Alvin Yunata..

Karena di Bandung tuh tempat nongkrong banyak. Ideologi beda-beda. Tapi ketika ada event di Saparua, semua tongkrongan di mana pun yang ada di Bandung tuh pada nongkrong di situ.

Pada ketemu di situ dan senang-senang di Saparua. Dan itu kan masa-masa, tahun-tahun kelam juga saat itu kan karena mulai masuk gangster, terus jenis-jenis narkoba, segala macam. Tapi dengan adanya Saparua tuh bisa mengalihkan itu ke area yang lebih positif sebenarnya, berkarya, silaturahmi. Berbicara tentang hari ini dan masa depan bermusik. Tapi malah enggak masa depan, malah enggak mikirin masa depan cuma hari ini saja. Apa yang bisa kita lakukan hari ini? Sangat sederhana sebenarnya.

Dari situ baru muncul, kayak industri kreatif kayak clothing segala macam. Extreme sport, skateboard dan segala macam karena saat itu kan ada Taman Lalu Lintas. Di situ isi-isinya orang-orang desain, orang-orang ITB sama ITENAS. Kayak Tonat, kayak Arian ‘Seringai’ dulu kan masih Puppen. Saat itu tuh memang sulit untuk kayak beli majalah Trasher memang ordernya lama banget. Terus order baju-baju impor, baju-baju ya skate impor, segala macam. Itu sangat susah, rilisan sangat susah. Jadi harus PDKT sama orang-orang kaya gitu yang beli rilisan banyak. Terus diadopsi dan adaptasi. Kenapa kita enggak bikin brand sendiri sih. Kita bikin brand sendiri aja. Di situ mulailah, mulai muncul letupan-letupan kreatif. Jadi ada industri clothing, industri segala macam, Di situ kebersamaannya tuh terajut dengan sangat sederhana sebenarnya. 

Tadi Vicky sempat menyebut Heaven Fool, Balcony, lalu Burgerkill. Apakah perjalanan nge-band hanya itu saja?

Sebenarnya banyak sih tapi lupa ya. Di Ujung Berung sempat sama Disorder Lies. Disorder Lies tuh dulu bandnya sebelum Agung, ada Ugum kan gitaris BK. Sempat bikin materi recording satu lagu untuk independent label saat itu. Kompilasinya Ujung Berung Rebels tapi enggak jadi rilis. Sempat sama Gebeg, sama Beside juga sempat. Sempat ngisi beberapa lagu. Yang inget itu sih ya.

 

Waktu itu Vicky kuliah di mana?

Sempat kuliah di UNISBA, ambil Hukum tapi cuma sebulan. Cuma transfer bayaran kuliah doang. Suasana di kampus sangat memengaruhi kalau saya. Enggak betah saja di UNISBA saat itu. Jadi nunggu tahun berikut, baru daftar lagi di UNPAD, ambil Fikom jurusan Komunikasi Bisnis. Lulus di UNPAD.

Ingat enggak waktu itu gimana interview saat audisi sama BK?

Sebenarnya di DVD ada kan, di YouTube kayaknya sempat ada. Interview-nya lebih di-setting gitu ya. Di-setting kayak ruangan interogasi antara polisi dan penjahat. Ada meja bundar, terus lampu yang sangat redup di atas meja. Saat itu yang interview-nya adalah orang dokumentasinya, Andi Eco.

Pertanyaannya, “loe tuh tau lagu BK yang mana sih? Menurut loe gimana sih? Apa sih maknanya?”. Kalau enggak salah kayak gitu. Jawabannya, masih hah heh hoh karena berangkat dari seorang Begundal. Tapi, kalau berbicara tentang makna sih rada berat saat itu ya. Yang saya tau sih cuma, kalau enggak salah jawabannya adalah “ya ini adalah sebuah karya yang masterpiece. Beda saja gitu dengan saat itu hardcore yang lain”. Sederhana sih jawabannya.

Terus kalau enggak salah yang terakhir tuh kayak tes psikologis gitu. Jadi kayak ini saya siapkan kayak psikotes, saya siapkan kertas kosong sama pulpen. Sekarang loe terserah mau ngegambar atau mau nulis apa tentang perasaan loe saat ini. Jadi saat itu cuma nulis, ingat sih tulisannya “Renjana Akan Membakar Makna”. Itu saja sih tulisannya. Masih ingat sih. Enggak tau tulisannya masih ada apa enggak.

Apa yang membuat Vicky tetap bermusik sampai hari ini?

Jadi ini berjalan aja sih. Menyambung cerita yang tadi ketika masuk di BK tuh karena saya juga enggak optimis, pesimis malahan ya karena saya merasa tidak mampu, untuk meneruskan sosok seperti almarhum Ivan. Jadi sangat terus muncul rasa ketidakpercayaan diri saat itu. “Apakah loe mampu gitu ya?”, loe masih anak kecil terus menggantikan sosok yang sangat kharismatik saat itu. Jadi, bisa dibilang terseret, terseret sih. Apa yang harus gue lakukan sempat high level of this stress.

Ketika mau bikin album pertama sama BK, Venomous. Bingung gitu maksudnya harus ngapain ya. Secara kualitas vokal pun ini bisa enggak ya gue. Terus bertanya sama diri. Tapi bertanya tuh lebih jadi pesimis. Tapi hanya bisa melakukan selangkah demi langkah. Ketika misalkan gue memang harus cabut. Masak sih ini belum ngapa-ngapain gue cabut. Saat itu sudah beberapa kali memang pengin cabut karena enggak merasa sanggup untuk ada di posisi itu.

Pas Venomous tuh, seperti “wah nih masalah perihal bikin lirik pun harus ngebahas apa ya”, bingung karena banyak tekanan mungkin ya di kepala. Jadi bingung untuk melakukan sesuatu, untuk mengawalinya. Jadi cuma bisa menjalani, dan cuma bisa berbicara dengan diri ya. Hampir yang, “Wah ini gimana ya”. Hampir yang benar-benar frustasi saja.

Terus enggak bisa untuk menulis seperti almarhum gitu, yang bercerita tentang personal feeling, personal conflict gitu ya. Yang memang sangat mendalam sama seperti beliau. Enggak bisa gitu dan enggak bisa berkata-kata kasar. Ini harus gimana ya. Enggak bisa gitukan. Gimana nulisnya ya. Saat itu berdiskusi pun sampai enggak bisa. Jadi cuma menjalani.

Pada akhirnya ternyata seperti ada yang menguatkan gitu. Ketika saya menjalani meskipun terseret. “Loe harus dengerin ini. Wah dengerin ini”. Pressure-nya sangat tinggi. “Loe harus kejar, loe harus kejar segala macam”. Tapi sempat ya kayak melangkah selangkah-selangkah. Jadi kayak ada menemukan setitik pencerahan. Nyicil dikit-dikit. OK, BK yang sekarang harus berbeda dengan BK yang dulu karena dari pengalaman yang sudah dilewati teman-teman yang lain saat itu menganggap bahwa lirik adalah sebuah doa, dan apa nih yang saya harus tulis karena bebannya sangat tinggi.

Ketika itu seperti yang “ah sudah deh cuma bisa men-share sesuatu. Kayaknya pengin beralih ke sesuatu yang cerah”. Gimana, tetapi dengan tulisan-tulisan yang tajam. Tapi pengin beralih ke situasi atmosfer yang gelap seperti quantum leap. Beralih dimensi tapi akhirnya anak-anak tuh mengamini. “Ya sudah sok bikin yang loe suka”.

Di situ muncul kayak “Only The Strong”, terus ada beberapa lagu lagi yang positif. Itu jadi kayak setelah beres Venomous ternyata gue bisa ya. Meskipun di situ respons para Begundal luar biasa. “Apaan nih vokalis? Vokalis apaan nih. Anak kecil yang diajak nakal gitu”. Itu sudah jadi kata-kata kiasan yang paling indah saat itu. Sudah terlalu biasa dengar dan melihat. Jadinya biasa, cuek saja gitu. Ah jalan saja.

Dan ternyata oleh waktu dan ditemani dengan konsisten, seiringnya kayak terbentuk sendiri. Saya harapannya tuh tidak menggebu-gebu juga. Saya nothing to lose. Selama bisa saya kerjakan, saya kerjakan. Tapi enggak terlalu mengejar terlalu obsesi. Jalan saja lah. 

Akhirnya memicu bisa menuliskan lagu untuk BK dari teman-teman juga?

Betul, dan itu bukan inisiasi sendiri ya. Kolektif ya. Segi lirik masih dikawal.

Lalu, apa alasan bermusik sampai hari ini? Karena Vicky kemarin ini muncul sebagai solois.

Menurut saya, ada sudut pandang yang indah. Ada sudut pandang yang sangat menarik. Ketika seni ya, mau seni lukis, seni tari, seni musik. Apapun itu. Ternyata ujung-ujungnya adalah berpesan ya. Seninya tuh hanya balutannya. Kalau misalkan bisa lebih singkatnya, sederhananya genre. Genre tuh hanya balutannya.

Sebenarnya yang menguatkannya adalah liriknya, pesannya. Itu kendaraannya. Saya mempunyai seperti sudut pandang yang memang ada sesuatu yang harus terus diupayakan, di-share tongkat estafetnya karena lewat senilah itu yang lebih relevan bisa masuk ke indera kita. Ya, mata telinga gitu kan. Dan itu adalah sesuatu yang memang bisa terus diupayakan. Itu sih yang saya masih bertahan di musik. 

Selain bermusik apa kegiatan Vicky?

Saya ngantor di Bandung, di Jl Ahmad Yani 780. Di sini tuh kita gabung ada beberapa brand, ada Wellborn, Tesmak, dan Jumakids. Terus ada sebuah media namanya Suarahgaloka. Concern-nya lebih ke seni budaya dan kreativitas. Jadi kita bikin konten, wadah mediasi lah. Bikin sebuah media kecil-kecilan. Concern-nya lebih ke seni budaya dan kreativitas. 

Beberapa tahun lalu, Vicky membuka usaha Tesmak, kacamata dari limbah kayu, apakah di masa pandemi ini masih bisa bertahan?

Alhamdulillah bertahan karena kita sudah jalan 5 bulan kolaborasi manajemen di kantor ini. Yang tadi saya bilang ada Wellborn, Tesmak, Jumakids, dan Suarahgaloka. Kita saling berkolaborasi apa yang harus kita upayakan yang pasti gimana caranya ini harus tetap berjalan. Situasi yang sangat mencekam, sektor bisnis dan segala macam. Badailah ya, sulit. Dengan cara kolaborasi bisa menjadi solusi menurut saya.

Setahun belakangan ini, Vicky tampak aktif di Suarahgaloka. Apa itu Suarahgaloka?

Suarahgaloka adalah satu dari banyak wadah yang bersedia atau berinisiasi menampung segala kegiatan seni. Seni budaya dan kreativitas. Khususnya kita berfokus pada fungsi mediasi. Belajar menjadi media kecil-kecilan, mencoba merajut sebuah persatuan antara konsep tradisional culture yang coba digabung, dibungkus menjadi modern culture yang mudah-mudahan ada bentangan garis lurus menjadi nation culture karena di sini kita harus kembali ke akar, rumah kita karena banyak sekali yang bisa diangkat di sini. Dan tongkat estafet inilah yang harus diserahkan ke generasi penerus kita. Bahwa tidak melulu distorsi dari luar. Ternyata rumah kita tuh sangat banyak yang bisa diangkat lewat seni budaya kita.

Bersama siapa di Suarahgaloka?

Founder-nya ada tiga. Sebenarnya ini pun diskusi yang sudah lama dari 2017 dan baru terealisasikan di 2020, tepatnya 1 Desember. Kita bertiga ada Tjuk Guritno sama Kang Abong Bondowongso. Kita bertiga selalu diskusi tentang sebuah keresahan, sebuah dinamika tentang kondisi saat ini saja. Pelaku seni, pelaku industri, dan segala macam. Pasar juga kan ya. Jadi memang kita mengupayakan untuk bisa, kita bikin konten yang positif. Ya, mudah-mudahan bisa diterima jadi nation culture.

Vicky Mono di Studio Suarahgaloka bersama Danilla dan Lafa Pratomo. / Dok: Vicky Mono.

Kira-kira apa yang menjadi masa depan Suarahgaloka?

Masa depan mengembalikan mentalitas kita ke akar dan budaya kita. Jadi ketika sebuah benih ditanam di tanah. Benih itu akan memanjang akarnya ke bawah, sebelum menjulang secara vertikal ke atas. Sebelum anak muda menghasilkan sebuah karya, masuk ke ruang publik atau masuk ke masyarakat berkreasi dan menjadi pemimpin generasi muda harusnya memiliki akar yang kuat. Dengan harapan akan menjadi generasi yang menguatkan dirinya buat negeri ini.

Sederhana sih. Kita pengin mengenalkan di sini kan sempat kita. Ini tuh sudah sepuluh episode. Kemarin Bung Karno Series. Isinya lebih ke konten-konten positif mengembalikan ke akar budaya kita dan seutuhnya kita makhluk spiritual. Budaya itu adalah budi dan daya. Budaya itu adalah budinya buat diri kita. Ketika kita bisa membaca buat diri kita. Kita baru bisa berdaya. Lewat seni budaya kreativitas. Harapan ke depannya bisa menguatkan jadi bisa percaya diri anak bangsa bahwa kita budaya yang sangat kuat. Ketika kita bisa bersatu, ketika kita bisa mengamalkan Pancasila kebhinekaan.

Bisa disebut komunitas atau paguyuban Suarahgaloka?

Lebih ke media saja. Kita di awal pandemi sempat berkolaborasi sama orang-orang tradisi, sama kampus ISBI, anak-anak muda dan memperkenalkan musik-musik tradisi. Dibalut dengan gimana caranya memvisualisasikan dengan modern karena tradisi sekarang hanya jadi apa. Kalau enggak ya, maksudnya kayak kolot. Tapi, sebenarnya enggak. Banyak makna yang sangat luar biasa untuk menguatkan diri kita ini untuk berjalan ke depan. 

Vicky kayak belajar lagi di Suarahgaloka?

Sangat. Ini adalah kayak. Saya di Suarahgaloka seperti mengosongkan gelas diisi dengan sesuatu yang baru. Referensi baru dengan orang-orang yang baru. Itu sangat indah sekali dan anak-anak muda semuanya. Ternyata gimana caranya kita bisa egaliter. Ya. sederajat antara anak muda, tidak ada senior dan junior. Gimana caranya junior kita bisa menghargai kita dan kita bisa mengayomi mereka. Jadi ada kesinambungan, simbiosis mutualisme. Kita bergerak berdasarkan memang budi pekerti menjalankan memberikan pesan yang baik melalui seni budaya kreativitas.

Vicky Mono bersama Herry Dim. / Dok: Vicky Mono.

Di karier solo sebagai Vicky Mono yang tak lagi ‘marah’ dalam bernyanyi. Bagaimana sebenarnya cara Vicky mendapatkan ketenangan batin?

Kita selalu mencari budaya kita. Kita selalu mencari buku diri kita. Jadi, setiap kita bangun tidur itu adalah sebuah makna yang indah, kita masih dikasih kesempatan hidup. Dan ketika kita bangun tidur, terus mau berangkat ke kantor atau ke mana pun itu saya hanya mempunyai niat semoga saya bisa menjadi manfaat buat diri, buat khalayak atau enggak buat teman-teman yang bisa saya temui hari ini.

Sederhana sih, saya enggak mau terlalu jauh. Sebenarnya kalau dari single kemarin pun masih ada runutan dari memang inisiasi dari Suarahgaloka. Pesan itu, tongkat estafet itu yang ingin kita alihkan ke generasi muda. Negara kita tuh ya nusantara, Indonesia saat itu bangsa yang sangat ramah, tapi kini jadi bangsa yang pemarah. Jadi ingin menyampaikan sesuatu kesan yang memang bisa ada dampak positif.

Kalau tadi kita ngebahas masalah genre dan apapun itu. Saya enggak mau ambil pusing itu karena saya punya prinsip bermusik adalah pesan. Apapun genre-nya itu hanya bungkusannya, itu kendaraannya untuk menyampaikan pesan itu. Sampai ya sekalipun instrumental dan tetap memakai konsep trisula yang diusung Suarahgaloka. Ada tradisional culture yang dibungkus modern culture yang mudah-mudahan menjadi bentangan dari nation culture.

Apakah musik akan tetap menjadi jalan hidup Vicky Mono?

Selama masih diberikan kesempatan hidup dan kepercayaan, mudah-mudahan masih bisa berkarya.

Sebenarnya ini sama dengan sebelumnya, bermusik juga. Namun, apa rencana Vicky untuk karier solo ini?

Itu adalah akarnya. Liriknya tentang sesuatu yang menguatkan kita sebagai anak bangsa. Gimana caranya dibungkus dengan sesuatu yang modern. Terus saya enggak mau mikirin genre apapun itulah karena saat berangkat bermusik pun saya berusaha terbuka dengan apapun genre musik itu. Dan kenyataannya dengan era digital ini pun semuanya orang-orang post rock atau orang-orang pop atau orang-orang alternatif dengerin metal juga kok, dengerin musik extreme juga. Dan sebaliknya. Jadi, kenapa harus mesti dibatasi genre dengan menancapkan benang merah yang benar-benar kita pengin menyuarakan atau berpesan. Pesan-pesan yang baik tentang negeri ini. Merespons apa yang ada.

Bagaimana selama ini Vicky melatih vokal atau belajar bernyanyi atau apa yang berbeda, misalnya teknik vokal untuk karier solo ini? Dan siapa pengaruh terbesarnya?

Saya tidak terlalu fokus untuk les vokal. Nyanyi-nyanyi saja. Main gitar di rumah juga jarang banget. Kalau ada manggung mungkin. Tapi mungkin harus terus diasah lagi karena ada area baru. Tapi dulu memang basic-nya sempat dengerin kayak musik-musik Indonesia. Sekarang juga lagi dengerin kayak Rhoma Irama, Kantata Takwa. Lagi dengerin-dengerin lagi. Itu butuh sih referensi.

Kalau zaman dulu sih dengerin berangkat dari grunge. Kayak Nirvana, Pearl Jam, terus Alice in Chains, terus banyak lah. Awal dari situ sih. Basic bernyanyi ya. Dari situ baru ke punk, baru ke hardcore. Jadi masih ada sentuhan clean voice ya. Saat itu rilisan-rilisan yang saya sukai adalah vokal-vokal yang range vokalnya ada varian. Salah satunya kayak Corey Taylor dari Slipknot, Phil Anselmo dari Pantera. Range vokalnya tuh luas. Masih ada scream, growl tapi dia bisa nyanyi juga. Jadi dapat kesempatan untuk menyanyikan materi baru, clean voice. Masih mengendap zaman dulu. Dulu sempat suka Matt Bellamy (Muse). Sempat suka banget. Jadi belajar dari situ. Ada adaptasi sedikitlah di proyek solo ini. 

Tahun 2016, Vicky pernah berkolaborasi dengan Mocca yang pada saat itu Vicky dikenal sebagai vokalis band metal dan tidak semua vokalis metal melakukan hal sama. Bagaimana sebenarnya pertimbangan Vicky untuk menerima kolaborasi sebagai penyanyi/vokalis? 

Selama itu masih bisa jadi sebuah pembelajaran buat saya. Itu bisa menjadi kolaborasi yang baik kenapa enggak. Sebelum sama Mocca pun sempat sama Om Tony Q, sempat juga kolaborasi sama beliau. Sama Eyefeelsix. Genrenya beda-beda gitu dan pengin berbaur karena ya majemuk sangat berwarna sekali ketika kita mengenal semua warna itu, jadi sebuah experience yang indah. Termasuk dengan Mocca.

Awalnya berangkat dari pertemanan. Riko kan juga orang Bandung. Berawal dari tukar referensi segala macam. Ngobrol, iseng. Jadi, “cobain yuk mau enggak isi satu lagu”. Saat itu kan sering posting sama keluarga, sama anak sama istri. Lagu itu lebih ke keluarga. Kayaknya menarik kalau kolaborasi sama Mocca dengan background loe seperti sekarang. Saya banyak fals. Jadi kayak belajar lagi. Jadi memang harus nyemplung dulu. Ketika nyemplung minimal ada pelampung. Dari situ kita baru belajar bisa berenang tanpa ada pelampung. Terus banyak menemukan karakter-karakter baru, Karakter personalnya. Band tuh seperti ini. Pasti sudut pandangnya berbeda-beda. Itu nutrisi yang baik buat saya untuk melangkah lagi.

Vicky mengunggah tentang Burgerkill di media sosial akhir tahun 2020, percis di tanggal 31 Desember dalam rangka 25 tahun band. Apakah saat itu sudah tidak lagi bersama band?

Ya, 25 tahun itu setelah syuting itu selesai. 

Kapan Vicky terakhir bertemu dengan Eben atau teman-teman Burgerkill lainnya?

4-5 bulan yang lalu.

Pertemuan ngobrol saja?

Jadi kalau boleh cerita. Singkat saja. Setelah 25 tahun selesai syuting, lagi editing saya baru nge-share ke Eben bahwa saya mau cabut dari BK. Alasannya apa, alasannya sangat sederhana. Saya hanya ingin mencari rumah dan lebih dekat dengan keluarga. Sederhana. Saking sederhananya memang menjadi pertanyaan dan menjadi bola yang sangat liar. Dan di situ tuh saya dikasih kesempatan, “sok pikirin lagi”. Mungkin ini hanya sebuah kombinasi titik jenuh dari semua perjalanan. Selama dua minggu atau sebulan tidak ada komunikasi. Saya ketemu lagi dan saya masih tetap bulat untuk menyelesaikan dan itu terakhir kalinya saya bertemu sama Eben.

 

Apa yang Vicky ingin katakan kepada Eben jika mendapat kesempatan bertemu sebelum ia menghembuskan nafas terakhir di 3 September lalu

Dua minggu sebelum beliau meninggal, saya sempat bermimpi. Kita berjalan di beda arah. Dia seperti mau pulang, saya seperti mau jalan. Jadi saling berjumpa. Saya lagi berjalan sama istri saya. Ketika berjumpa kita saling peluk, dan Eben bilang, “urang sono”, “saya juga kangen Ben”.

Kita sama-sama memaafkan. Dua minggu sebelum beliau menghembuskan nafas terakhir. Itu sangat mendalam buat saya. Sampai enggak bisa melihat foto. Berat saja.

Vicky-Mono-dan-mendiang-Eben. / Dok: Vicky Mono.

Terakhir, arti keluarga bagi Vicky?

Di situ ada sosok Ibu, ada sosok Bapak, sosok anak. Sosok bapak yang bisa mengayomi anak. Itu anaknya adalah umat karena di situ ada keterbukaan satu sama lain. Di situ ada peneduh. Di situ ada komunikasi. Ada ego tapi bisa terselesaikan dengan cepat. Rumah seutuhnya adalah kita pulang ke sang pemilik kita. Tapi jembatannya, bensin menuju ke sana.

Jadi kata-kata yang sangat umum mungkin ya. Rumahku surgaku. Saya terbentuk seperti ini dari rumah. Peran ibu sama bapak. Rumah itu adalah sebuah fondasi yang maknanya sangat luar biasa. Sebelum kita terjun ke masyarakat. Fondasi itu yang bisa menguatkan kita ketika berada di luar.

Jika harus berterima kasih kepada siapa selain Tuhan?

Yang pertama adalah Tuhan Yang Maha Esa. Yang kedua adalah pengalaman hidup. Di mana pun saya pernah melalui itu. Saya mau berterima kasih semuanya dan meminta maaf. Ketika saya banyak. Pasti saya banyak salah karena jauh dari sempurna dan itu menjadi sesuatu yang bermakna buat saya hari ini, sekarang.

Jadi itu saja, dua itu. Jadi, selama tadi saya cerita dari awal saya bermusik sampai titik sekarang. Itu yang menjadi, itu yang saya ingin ucapkan terima kasih. Maksudnya ke banyak orang yang saya kenal. Ke banyak orang yang sempat membantu saya dan mencibir saya. Semuanya tidak ada yang baik, tidak ada yang buruk. Semuanya baik ternyata. Kita bisa menangkap dari sudut pandang yang indah. Saya mau berterima kasih sama semuanya. Sama Begundal, sama siapapun. Ya, sama orang tua saya, istri saya. 

Vicky-Mono-dan-keluarga. / Dok: Vicky Mono.

Saat itu akun Twitter atau Instagram Otong ‘Koil’ 4 September berbicara tentang harapan Vicky bisa kembali ke BK? Ada obrolan di antara kalian kah?

Saya enggak tau. Saya Twitter pun enggak main. Tapi baru-baru kemarin ini baru lihat. Saya enggak ambil terlalu mendalam perihal itu. Yang bisa menyelesaikan mungkin adalah waktu. Apapun bola liar di luar sana. Ketika kita bisa ngobrol langsung. Mudah-mudahan dengan mengosongkan gelas tadi. Menyimpan ego dan segala macam. Pasti ada titik temunya. Ada solusinya. Kalau perihal itu karena, sederhananya, ketika kita misalkan nih ada pasangan sedang bermesraan, pacaran. Tiba-tiba saat itu tuh ada perpisahan. Intinya semuanya sayang. Tapi pengaplikasiannya seperti apa ya itu karena respons apa yang sedang terjadi. Dan itu hanya bisa digoreskan oleh waktu. Ketika kita bisa berjalan aja ke depan. Enggak terlalu liat ke belakang. Belakang menjadi pelajaran buat hari ini.


 

Penulis
Pohan
Suka kamu, ngopi, motret, ngetik, dan hari semakin tua bagi jiwa yang sepi.

Eksplor konten lain Pophariini

Juicy Luicy – Nonfiksi

Lewat Nonfiksi, Juicy Luicy semakin mengukuhkan diri sebagai band pengusung lagu patah hati dengan formula pop R&B yang jitu dan ultra-catchy. Pertanyaannya: sampai kapan mereka akan menjual kisah patah hati kasihan dan rasa inferioritas …

Selat Malaka Resmi Mengeluarkan Album Penuh Perdana

Band asal Medan bernama Selat Malaka resmi mengeluarkan album penuh perdana self-titled hari Jumat (22/11). Sebelumnya, mereka sudah mengantongi satu single “Angin Melambai” yang beredar tahun lalu.     View this post on Instagram …