Prabu Pramayougha – Don’t Read This! Catatan Melodic Punk Bandung Dari Masa Ke Masa
Setelah, Bandung Pop Darling, Behind the 8th Ball dan I Wanna Skank! hadir buku Don’t Read This! Catatan Melodic Punk Bandung Dari Masa Ke Masa yang melengkapi catatan subkultur musik anak muda di era 90an/awal 2000an di Bandung yang ditulis dengan sangat lengkap oleh Prabu Pramayougha. Penulis yang juga personil band punk rock, Saturday Night Karaoke ini menerbitkan bukunya di bawah penerbit Bukune.
Sepintas dengan tebal 375 halaman dan layout yang menarik segera muncul pertanyaan, apakah Don’t Read This! Catatan Melodic Punk Bandung Dari Masa Ke Masa ini bisa jadi buku putih musik punk rock/melodic punk di Bandung? Mengingat ditulis oleh pelaku langsung, dan diterbitkan oleh penerbit yang sudah punya nama besar. Oke, mari kita bahas.
Sepintas, dengan tebal 375 halaman dan layout yang menarik segera muncul pertanyaan, apakah Don’t Read This! Catatan Melodic Punk Bandung Dari Masa Ke Masa ini bisa jadi buku putih musik punk rock/melodic punk di Bandung?
Seperti kebanyakan buku tentang subkultur yang sudah ada, buku ini dibuka dengan latar belakang cerita tentang anak-anak muda yang mencari budaya tandingan terhadap dari pilihan yang sudah ada, dalam hal ini musik. Lalu baru terasa menarik ketika membahas punk rock sebagai ideologi perlawanan.
Diceritakan salah satu band pelopornya di Bandung, Sendal Jepit lahir sebagai budaya tandingan terhadap punk rock itu sendiri. Dengan vokal yang lebih bernyanyi, dan gaya pakaian lebih kasual. Seperti ketika diceritakan bagaimana para personil Sendal Jepit merasa tidak terwakili dengan gaya anak punk rock saat itu yang bercitra terlalu galak dan ‘seram’ (hal. 70).
Salah satu band pelopornya di Bandung, Sendal Jepit lahir sebagai budaya tandingan terhadap punk rock itu sendiri. Dengan vokal lebih bernyanyi, dan gaya pakaian lebih kasual. Para personil Sendal Jepit merasa tidak terwakili dengan gaya anak punk rock saat itu yang bercitra terlalu galak dan ‘seram’
Prabu pun berbaik hati mengenalkan istilah: punk rock “bernyanyi” sedari awal buku ini bercerita. Demi membantu memudahkan kita memahami perbedaan melodic punk dengan punk rock itu sendiri. Karena vokalisnya lebih bernyanyi melodius dan menggunakan pecah suara oleh vokal latar personil yang lain di beberapa bagian.
Buku ini membedah melodic punk terbagi dari empat bab. Bab pertama “Era Formatif (1994-1998)” menjelaskan tentang bagaimana awalnya genre punk rock “bernyanyi” ini menemukan identitasnya sendiri. Bab kedua, “Era Gemilang (1998-2004)” ketika melodic punk menemukan kolamnya di kalangan muda-mudi saat itu. Bab ketiga, “Era Dubius (2004-2008)” soal genre ini yang mulai meredup. Bab terakhir, “Sekelumit Polemik Melodic” menutup kisah genre ini dengan rangkuman berbagai gesekan, dan fenomena yang sempat terjadi selama musik ini berkembang.
Buku ini membedah melodic punk ke dalam empat bab. Tentang awal genre ini menemukan identitasnya sendiri, ketika menemukan kolamnya. Ketiga saat genre ini mulai meredup, dan rangkuman berbagai gesekan, dan fenomena yang sempat terjadi selama musik ini berkembang
Yang menarik buat saya pribadi adalah kejelian Prabu mengupas lapisan-lapisan yang ada dalam musik melodic punk ini dengan teliti. Dari kilas balik masuknya musik punk di Indonesia di era 70an melalui majalah Aktuil. Bagaimana dan kenapa punk rock mulai dianut oleh remaja terutama Bandung saat itu. Bagaimana estetika visual yang berlaku dalam genre melodic punk ini. Juga album-album esensial lokal lengkap dengan wawancara band-band nya. Tidak ketinggalan pembahasan para tokoh-tokohnya (kalau bahasa sekarang, abang-abangannya).
Hal-hal tersebut cukup untuk membuat buku ini bisa dilabeli sebagai buku putihnya genre melodic punk rock. Terlebih buku ini mendapatkan tulisan pengantar dan dibimbing langsung oleh sang bapak melodic punk Bandung / ex-vokalis Rocket Rockers, Noor Al Kautsar alias Ucay.
Karena selain membedah melodic punk, buku ini bisa dibilang hadir sebagai literatur pertama Indonesia yang membahas musik punk rock di Indonesia dengan porsi cukup banyak
Kalau pun kekurangan buku ini yang cukup vital adalah, tidak ada daftar isi untuk buku setebal ini. Sehingga buku terlalu tebal ini tergeletak cukup lama di rak buku saya. Karena terlalu malas untuk langsung membaca tanpa melihat sajian menunya satu-persatu. Tapi tentu saya salah. Karena selain membedah melodic punk, buku ini bisa dibilang hadir sebagai literatur pertama Indonesia yang membahas musik punk rock di Indonesia dengan porsi cukup banyak.
Bagi penggemar buku-buku subkultur anak muda dan musik, buku ini dijamin memuaskan dahaga kita. Dan saya pribadi juga melihat penerbitan buku-buku yang mengarsipkan tentang subkultur anak muda era 90-2000an yang semakin banyak dan beragam ini sebagai suatu kemajuan literasi yang sangat menarik di Indonesia. Dan hal ini sangat patut dirayakan.
Jadi jika dibilang minat baca kita rendah, minat baca siapa dulu, nih?
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Selat Malaka Resmi Mengeluarkan Album Penuh Perdana
Band asal Medan bernama Selat Malaka resmi mengeluarkan album penuh perdana self-titled hari Jumat (22/11). Sebelumnya, mereka sudah mengantongi satu single “Angin Melambai” yang beredar tahun lalu. View this post on Instagram …
I’m Kidding Asal Aceh Tetap Semangat Berkarya di Tengah Keterbatasan
Setelah merilis 2 single bulan Juni lalu, band pop punk asal Aceh, I’m Kidding akhirnya resmi meluncurkan album penuh perdana mereka dalam tajuk Awal dan Baru hari Minggu (10/11). I’m Kidding terbentuk …