ALI – MALAKA

Jul 25, 2023

Saya ingat obrolan saya pertama kali dengan John Paul Patton pada Agustus 2020 silam. Di sebuah tangga bangunan di kawasan Cilandak, ia sedikit bercerita tentang proyek barunya, saat itu belum diberi tajuk, namun sekadar kisi-kisi saja bahwa proyek musiknya ini akan berbeda dengan apa yang ia buat di Kelompok Penerbang Roket. Coki, sapaan John Paul, tak mau spoiler atau memang karena mungkin materinya belum terbentuk secara utuh. Di ujung obrolan, hanya rasa penasaran lah yang tanpa sadar mengendap. 

Sampai pada akhirnya 21 November 2021 lalu, saya mendengar “Dance, Habibi” untuk pertama kalinya dari grup musik bernama ALI.  

Tak banyak ingatan kala itu, tapi mungkin situasi saat bersentuhan dengan “Dance, Habibi” pertama kali adalah ketika saya tengah berada di atas sadel di perjalanan menuju kantor. Saat itu linimasa instagram penuh dengan unggahan stories beberapa rekan yang baru mendengarkan single terbaru dari proyek bernama Ali. 

Sementara di ujung kuping, “Fly Like An Eagle” dari Steve Miller Band baru saja jalan setengah, entah berapa lama lagu ini kerap berulang terus setiap saya mengayuh Bridgestone MB3 size 18 inci yang memang enak dibuat jalan jauh. Namun pagi itu, dengan sangat terpaksa lagu sepanjang 5 menit lebih ini harus saya coup dengan “Dance, Habibi” dengan alasan demi membela rasa penasaran. 

Benar saja, dari sejak suara stick drum diketuk, di detik ketujuh ketukan, intro gitar mulai terdengar dua bar, empat bar berikutnya giliran bas mengikuti, sesekali drum mengambil aba-aba lewat pukulan tebal di hi-hat. Sampai kemudian pada bar berikutnya, semua menjadi riuh ketika drum digebuk dengan groovy yang konstan, perkusi menambah ketebalan. Musik terkoordinasi, sepeda saya pecah konsentrasi.  

“Ta’al arkhus ma’i habibi”, rapal yang terlintas di telinga saya, dirapalkan bak mantra dalam 2 menit 50 detik. Namun jika diselami dan dinyanyikan lama-lama timbul efek samping yang cukup berbahaya, apalagi ketika durasi dan jarak menjadi tak sinkron dengan ekspektasi tiba di tujuan.

Ketika mendengar musik yang bagus dikala perjalanan dimana anda memegang kemudinya, akan ada dua kemungkinan: Pertama, anda akan menstabilkan kendaraan dan menikmati setiap perjalanan dengan lagu yang dimainkan. Kedua, jika musik terlalu agresif atau membuat sebuah visual imajiner seperti anda berada di adegan film, anda akan mempercepat laju, seolah anda adalah penjahat yang dikejar detektif. Saya pribadi pernah berada di situasi kedua ketika mendengar “Sabotage” dari Beastie Boys, rasanya enak, namun efeknya, untuk ukuran pengemudi motor amatir, sama sekali tidak baik. 

Yang paling parah, kondisi ini hanya dipicu oleh satu lagu, bagaimana dengan satu album? Seperti Malaka misalnya yang tidak hanya memuat satu, dua, lima namun sembilan track instrumental yang memiliki daya picu sinematik, membuat yang mendengarkan bisa melihat visual semu sesuai khayalan subyektif, itu saja belum ada peran substansi organik di sana. Kalau ada, bisa kacau! 

Tapi ah, saya enggan mengarah ‘ke sana’. Mari kita bicara teknis Malaka saja. 

Apa yang lantas membuat Malaka sukses menghantarkan ALI populer di panggung musik hari ini selain ya, mungkin, karena faktor komposisi line up musisi yang berbahaya, musik yang diusung  juga tak bisa dianggap enteng. Jujur saya tak ingat kapan terakhir mendengar komposisi musik instrumental seperti ini di musik lokal, setidaknya setelah The Mentawais atau Southern Beach Terror, tapi ya itu surf music, sedangkan ALI adalah bentuk yang lain.

Walaupun gagasan musik Malaka bukan sesuatu yang segar, namun karena hasil ramuan alam bawah sadar mereka begitu kuat, maka suguhannya terasa sip ketika diputar. Saya tak mengelak ketika saya diperdengarkan dengan korelasi yang baik antara mood-mood yang diimbuhkan psych-funk ala AKA, notasi-notasi Omar Khorshid, Gábor Szabó atau rekaman-rekaman garage afro psych, keriaan instrumentalia The Steps, lick-lick centil Johnny Kidd & the Pirates atau lengkingan wah wah Enteng Tanamal di sana, setidaknya itu yang tercerna dari pendengaran saya. Namun ketika penikmat musik hari ini mungkin menganggap ini sebagai versi kasar dari Khruangbin, ya silakan saja. 

Saya tak bisa memilih track yang mana yang jadi jagoan karena sepertinya jika saya seorang music selector, saya akan dengan mudah memutarkan Malaka secara full set demi memuaskan hasrat bergoyang saya dan crowd. Tapi oke kalau harus memilih, sepertinya “Crystal Sand” dengan tipikal aransemen dan beat yang tak biasa di album ini, yang kena banget. Kalau saya diberkahi ilmu dan teknis tentang remix, saya justru tertarik membuat versi remix dari Malaka, sekadar ingin membuat debut album ini menjadi lebih dinikmati maksimal dengan ‘durasi per lagu’ yang lebih panjang, sepanjang jembatan Suramadu.

Mendengarkan Malaka, anda tidak mungkin bisa bernyanyi kecuali “Dance, Habibi”, sisanya lupakan saja, karena yang diperlukan untuk menikmatinya mungkin hanya sebotol bir dingin, segelas cocktail dan silahkan kembangkan gaya goyang anda sebebas dan senyaman mungkin kecuali jika pinggang anda bermasalah.  

____

Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.

Eksplor konten lain Pophariini

Wawancara Eksklusif Ecang Live Production Indonesia: Panggung Musik Indonesia Harus Mulai Mengedepankan Safety

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Pophariini masih banyak menghadiri dan meliput berbagai festival musik di sepanjang tahun ini. Dari sekian banyak pergelaran yang kami datangi, ada satu kesamaan yang disadari yaitu kehadiran Live Production Indonesia. Live …

Daftar Label Musik Independen dari Berbagai Kota di Indonesia 2024

Berbicara tentang label musik tentu bukan hal yang asing lagi bagi siapa pun yang berkecimpung di industri ini. Mengingat kembali band-band yang lekat dengan label raksasa sebagai naungan, sebut saja Dewa 19 saat awal …