Resensi: Mad Madmen – Mental Breakdance

Aug 2, 2021
Mad Madmen Mental Breakdance

Sebelum membicarakan album Mental Breakdance, milik, Mad Madmen, ada baiknya menelisik secara harfiah kata funk yang memiliki begitu banyak deskripsi. Bau badan, perasaan buruk/depresi, liar, tidak tertebak, pengecut dan masih banyak lagi. Selain semua itu tentu saja funk sebagai musik Rythm & Blues kaum kulit hitam yang dilahirkan di era 70an dengan ketukan unik yang punya kekuatan mampu membuat badan bergoyang. Sebuah pengembangan dari musik soul tradisional yang mendapatkan bentuk terbarunya yang lebih bebas dan liar.

Secara musikal funk juga adalah tulang punggung musik disko yang identik dengan pesta, goyang, dan bebas. Dan bila mengingat deskripsinya secara harfiah album perdana Mad Madmen, Mental Breakdance ini bisa memenuhi semua deskripsi itu dengan sangat mudah. Tapi apakah label funk bisa disematkan begitu saja pada power trio ini?

“Para laki-laki gila” ini terdiri dari Kalam Mahardika (gitar/vokal) Marvin Muhammad (bassis/vokal) dan Thareq Satria (drummer, yang kemudian mengundurkan diri). Sebelumnya telah merilis mini album Ego Friendly yang mencuri perhatian banyak pihak. Terlebih karena kita semua tahu aksi funk bisa dibilang sangat jarang di Indonesia. Dan tentunya tidak mudah memainkan funk yang dalam musik Indonesia ini katalognya masih malu-malu. Tapi justru yang dimainkan Mad Madmen jauh dari kata malu-malu.

Dibuka oleh musik waltz dengan pemilihan diksi dan notasi vokal yang mengingatkan pada Tony/Yon Koeswoyo “Koes Plus”. Terlebih dengan progresi kord sederhana ala kuartet pop terbaik Indonesia itu. Terdengar seperti band indie masa kini dengan sentuhan retro yang terbilang, bolehlah. Meskipun enak, sepintas seperti ditipu, karena berikutnya tidak ada lagu sesederhana ini, apalagi dengan pemakaian bahasa Indonesia.

Album perdana ini bisa memenuhi semua deskripsi funk dengan sangat mudah. Tapi apakah label funk bisa disematkan begitu saja pada power trio ini?

Bentuk sesungguhnya baru muncul melalui aroma funk yang tajam di lagu kedua. Dan mulai tersibak hendak ke mana arah album ini. Karena mulai menjadi manis di telinga dengan sentuhan R&b/soul penyanyi tamu Gracia Andrea. Tak hanya manis, bagan tutti menjelang reff lagu ini seolah menjadi gerbang masuk ke dalam musik progresif Mad Madmen yang tidak segan melipir ke sana-ke mari. Seperti musik di bagian solo gitar di penghujung yang menjadi bossanova lalu banting stir melambat me-reggae sekejap. Sebelum kembali lagi ke haluan utama slow funk-jam yang manis.

Sekejap reggae ini kembali lebih utuh dalam lagu ketiga “Deathcheater” yang terdengar begitu raw/mentah seperti dimainkan oleh para musisi yang telah matang. Terlebih ketika musiknya berganti-ganti ke funk/disko dengan tempo yang berubah-ubah. Gawat! Di lagu “B.K.B./Kalamazoo” tensi sedikit diturunkan dan kita ditipu berkali-kali dengan bentuk lagunya yang begitu cair, seperti air yang mengisi ruang dengan bebas. Berturut-turut “The Funk Inside My Heart” yang manis mengalun dengan bantuan vokal soulful yang kuat dari Tracy Giovanni. Juga ada “The Striker” yang mendayu dengan sumbangsih vokal menyeret-nyeret Ade Paloh “Sore” yang khas itu sebagai vokal tamu. Lalu “The 5’s and 7’s” yang kembali emoh patuh pada satu tempo dan birama yang menyeruak nakal, dan tentunya dimainkan dengan memukau.

“Kobe” hadir dengan kocokan gitar ritem berdecit sebagai SOP-nya musik funk yang berpadu dengan bass dan drum yang bermain sinkop mengiringi kolaborasi gawat Mad Madmen dengan, rapper belia Angan Dahooman. Lengkap dengan elemen tutti yang disambung  solo gitar meraung liar di penghujung. Hingga suara tabung panas amplifier-nya seakan bisa tercium keluar dari speaker. Ditutup dengan “Big Ol’ Jazzmaster” yang sempat-sempatnya mencuri satu bagian dari reffrain lagu “Master of Puppets” nya Metallica.

Sembilan lagu jauh dari kata monoton. Bahkan terlalu sering dalam satu lagu mereka menghajar bpm dan struktur bagan lagu yang berbeda-beda. Sehingga akan kurang nyaman buat telinga yang tidak terbiasa dengan musik progresif

Album perdana power-trio ini adalah angin segar dalam katalog funk Indonesia. Sangat jauh dari funk tipikal di Indonesia. Yang polanya adalah musik pop, rock, atau blues tapi diberi ketukan goyang dan patah-patah. Dan voila! Lahirlah funk generik Indonesia. Karena memainkan funk membutuhkan skill penguasaan alat yang tidak sembarangan. Dan kalau sudah menguasai, mengobralnya secara sembarangan, tanpa mengindahkan estetika dan rambu-rambu dasar funk akan terjebak menjadi biasa saja, bahkan murahan. Tapi Mad Madmen mampu melabrak semua itu dengan sembrono. Skil mumpuni, kemampuan aransemen di atas rata-rata, dimainkan dengan liar menggelora, mentah dan gila-gilaan. Mental Breakdance berhasil merangkum semua itu.

Sembilan lagu jauh dari kata monoton. Bahkan terlalu sering dalam satu lagu mereka menghajar bpm dan struktur bagan lagu yang berbeda-beda. Sehingga akan kurang nyaman buat telinga yang tidak terbiasa dengan musik progresif. Apalagi bila hanya pendengar funk ala cafe semodel “Uptown Funk”. Karena yang ini bisa membuat telinga kita panas dan berasap. Tapi sebentar, apakah album perdana Mad Madmen ini masuk ke dalam kategori funk dan mampu melengkapi katalog funk Indonesia yang malu-malu itu?

Terlalu sempit bila membatasi Mental Breakdance ini ke dalam pagar musik funk semata. Kalam dan Marvin meleburkan funk, rock, jazz, psychedelic, prog-rock menjadi satu lelehan lava batu magma. Rock lava gunung berapi mungkin lebih tepat. Apapun yang masuk akan mudah melebur dan oleh Mad Madmen dijadikan sesuatu yang panas, menggelora dan mengalir cair seperti lava panas yang tidak bisa ditebak arahnya. Seperti itulah kira-kira album perdana Mental Breakdance ini.

 

____

Penulis
Anto Arief
Suka membaca tentang musik dan subkultur anak muda. Pernah bermain gitar untuk Tulus nyaris sewindu, pernah juga bernyanyi/bermain gitar untuk 70sOC.

Eksplor konten lain Pophariini

Daftar Label Musik Independen dari Berbagai Kota di Indonesia 2024

Berbicara tentang label musik tentu bukan hal yang asing lagi bagi siapa pun yang berkecimpung di industri ini. Mengingat kembali band-band yang lekat dengan label raksasa sebagai naungan, sebut saja Dewa 19 saat awal …

Wawancara Eksklusif Kossy Ng dan Dimas Ario Spotify: Edukasi Stream dan Musik Berbayar Masih Jadi Tantangan Besar

Saat menentukan apa saja yang ingin diangkat untuk KaleidosPOP 2024, tim redaksi Pophariini langsung berpikir soal keberadaan platform streaming musik yang menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan perjalanan band dan musisi di era ini.  …