Merayakan Penampilan Nasida Ria di Ajang Seni Rupa Bergengsi di Jerman

Jul 16, 2022
Nasida Ria

Pada 18 Juni 2022 lalu, grup kasidah modern Nasida Ria tampil di documenta fifteen di Kassel, Jerman. Documenta fifteen sendiri adalah salah satu ajang seni rupa paling prestisius dan yang tertua di dunia yang dimulai sejak tahun 1955 dan diselenggarakan setiap lima tahun. Tampilnya Nasida Ria di alun-alun Friedrichsplatz di Kassel, Jerman tersebut tidak lepas dari peran ruangrupa sebagai direktur artistik documenta fifteen yang tidak hanya menjadi direktur artistik pertama yang berasal dari Indonesia, tapi juga perdana dari Asia.

Peristiwa pemilihan ruangrupa sebagai direktur artistik ini tergolong bersejarah dan prestius karena melewati proses seleksi lumayan panjang dari September 2018 hingga Februari 2019. Penunjukkan ruangrupa sendiri dilakukan dengan suara bulat oleh international finding committee dan dewan pengawas documenta atas pertimbangan kemampuan ruangrupa dalam berjejaring dengan berbagai kelompok seni, baik di negara asalnya maupun di tingkat dunia.

Juni 2022 lalu, grup Nasida Ria tampil di documenta fifteen di Kassel, Jerman. Salah satu ajang seni rupa tertua dan paling prestisius di dunia yang dimulai sejak tahun 1955. Ini tidak lepas dari peran kolektif ruangrupa sebagai direktur artistik documenta fifteen yang tidak hanya menjadi direktur artistik pertama dari Indonesia, tapi juga Asia.

Di documenta fifteen, ruangrupa membawa konsep Lumbung yang terinspirasi oleh tempat di mana padi yang dihasilkan oleh masyarakat disimpan sebagai sumber daya bersama di masa depan. Dalam praktiknya, Lumbung diterapkan lewat prinsip-prinsip seperti demokrasi pertemuan, mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes bersama dan hak menyingkirkan diri dari kekuasaan absolut. Hal ini merupakan semangat berkesenian ruangrupa yang coba ditularkan hingga ke Kassel.

Nasida Ria / foto: @pohanpow

Tentang Nasida Ria

Kembali ke soal Nasida Ria, profil tentang kelompok ini sudah pernah diulas di Pophariini sebelumnya. Sedikit tentang Nasida Ria, adalah kelompok kasidah modern yang berdiri tahun 1975. Awalnya, banyak membawakan lagu berbahasa Arab dengan rebana, sebelum kemudian mengubah liriknya menjadi berbahasa Indonesia dan menambahkan instrumen gitar, kibor, seruling, kendang, tamborin dan biola. Album perdana Nasida Ria rilis tahun 1978 berjudul Alabaladil Makabul bersama Ira Puspita Records. Nasida Ria, yang saat ini beranggotakan dua belas personel, mempunyai beberapa lagu andalan seperti Perdamaian, Bom Nuklir, Keadilan dan Kota Santri.

Penampilan Nasida Ria di documenta fifteen, sebagai salah satu perhelatan seni kontemporer paling bergengsi di dunia, membukakan mata banyak orang: ini bukan sekadar tentang musiknya, yang tidak sedemikian rumit dan “aneh”, tetapi Nasida Ria sebagai sebuah kelompok yang memiliki visi.

Penampilan Nasida Ria di documenta fifteen, Kassel, Jerman memang menghebohkan, tetapi itu bukan panggung perdananya di Jerman. Tahun 1994, mereka diundang ke Berlin, Jerman, untuk bermain di Die Garten des Islam atas undangan Haus der Kulturen der Welt. Dua tahun kemudian, tepatnya bulan Juli 1996, mereka kembali ke Jerman untuk Festival Heimatklange dengan penampilan di Berlin, Mülheim, dan Düsseldorf. 

Mengapa Penampilan Nasida Ria di Kassel Patut Dirayakan?

Oleh sebab keterbatasan pengetahuan tentang mereka, saya pernah keliru menduga Nasida Ria. Saya pikir semangat mereka mirip-mirip dengan Yamete Kudasai atau Ye Tu Hantu yang diduga “dengan sengaja” menyajikan “estetika kelas B” untuk menghasilkan efek jenaka tertentu (yang dimunculkan dari semacam perayaan terhadap anti-seni). Dugaan saya berangkat dari lirik lagunya seperti dalam Bom Nuklir yang agak terlalu banal: “Jika bom nuklir diledakkan / akan musnah kehidupan di bumi/ hawa panas menyelimuti bumi/ membakar semua yang di bumi”. Ditambah dengan video klip yang sepertinya mengambil dari beraneka potongan adegan film yang berisi ledakan, semakin yakinlah saya bahwa Nasida Ria sedang bergurau.

Penampilan Nasida Ria ini bukan panggung perdananya di Jerman. Tahun 1994 dan 1996 mereka sudah pernah diundang Jerman, untuk bermain di Die Garten des Islam atas undangan Haus der Kulturen der Welt dan di Festival Heimatklange dengan penampilan di Berlin, Mülheim, dan Düsseldorf

Namun dugaan tersebut terbukti keliru saat semakin kenal dengan karya-karya dan latar belakang Nasida Ria. Terlebih lagi, penampilannya di documenta fifteen, sebagai salah satu perhelatan seni kontemporer paling bergengsi di dunia, membukakan mata banyak orang: ini bukan sekadar tentang musiknya, yang tidak sedemikian rumit dan “aneh”, tetapi Nasida Ria sebagai sebuah kelompok yang memiliki visi. Berangkat dari kemungkinan visi tersebut, berikut ini adalah beberapa alasan mengapa putusan untuk menampilkan Nasida Ria di Kassel tidak hanya tepat, tapi juga brilian:

  1. Seluruh personel Nasida Ria adalah perempuan. Mereka adalah perempuan yang dalam sejumlah wawancaranya, memang tidak mengabdikan diri sepenuhnya untuk bermusik, tetapi juga menjalani aktivitas lainnya termasuk pekerjaan domestik. Linda Nochlin dalam esainya tahun 1971 berjudul Why Have There Been No Great Women Artists? melihat bahwa banyaknya seniman besar berjenis kelamin laki-laki sama sekali tidak menunjukkan bahwa perempuan tidak berbakat menjadi seniman.Kondisi tersebut merupakan hasil bentukan sejarah yang salah satunya dibentuk oleh stereotip bahwa perempuan hanya boleh memilih di antara dua jalan yaitu pernikahan atau Dengan demikian, perempuan menikah biasanya “didorong” oleh masyarakat untuk lebih berkomitmen pada keluarga dan urusan domestik ketimbang hal yang dicita-citakannya di luar sana.Para personel Nasida Ria menunjukkan bahwa pendapat Nochlin itu ada benarnya, tetapi sama sekali tidak membatasi cita-cita mereka untuk tetap bermusik dan berdakwah. Perempuan, dalam kiprah Nasida Ria, bisa menjalankan sekaligus pernikahan dan karir. Tidak perlu mengorbankan salah satunya.
  2. Para personel Nasida Ria lahir dari lingkungan keagamaan yang kental. Dilihat dari latar belakangnya, alasan pendirian mereka memang untuk berdakwah. Artinya, atribut keagamaan yang mereka kenakan bukan sekadar “gaya-gayaan”. Begitulah identitas mereka, baik di panggung maupun di belakang panggung. Keseriusan Nasida Ria dalam bermusik, berdakwah dan menafsirkan syariat melalui pakaian yang menutup aurat, tidak sama dengan mengabaikan peran musik, yang bagi beberapa aliran tertentu dalam Islam dianggap bukan hanya tidak pantas, tapi juga dilarang.Bagi Nasida Ria, bermusik tidak harus dipertentangkan dengan perintah agama dan bahkan bisa disejalankan. Meski demikian, mereka tidak perlu menjadikan lirik-liriknya sepenuhnya bermaterikan firman Tuhan, melainkan bisa juga berupa seruan kebaikan yang bersifat umum (seperti dalam “Perdamaian”, “Keadilan”, “Bom Nuklir”).
  1. Terakhir, dalam kaitannya dengan seni kontemporer, musik yang ditampilkan oleh Nasida Ria memang tidak bisa dikatakan sebagai perwujudan dari “estetika relasional” sebagaimana dirumuskan oleh Nicolas Bourriaud. Bourriaud mengritik tampilan seni yang seringkali terpisah dari masyarakat dan menawarkan bentuk seni yang lebih melibatkan publik untuk mengatasi persoalan konkret secara bersama-sama. Visi dari musik Nasida Ria, kelihatannya, tidak seserius itu. Jadi, apa yang “kontemporer” dan “relasional” dari Nasida Ria?Kelihatannya ini: mereka menjadikan hal yang umum dan biasa-biasa saja sebagai hal yang patut dirayakan, setidaknya terlihat dalam liriknya yang tidak perlu berbunga-bunga, apa adanya saja, sesuatu yang mudah dimengerti, sebagaimana lirik dalam Perdamaian: “Wahai kau anak manusia/ Ingin aman dan sentosa/ Tapi kau buat senjata/ Biaya berjuta-juta”.  Jalan pikir tersebut “sederhana” saja: jangan perang, untuk apa bikin senjata, mari kita hidup aman sentosa.Sementara di sisi lain, akal pikiran yang kita agungkan seringkali mengabaikan ajakan bersahaja semacam itu dengan merumit-rumitkan persoalan melalui kata-kata seperti misalnya: “mari saling membangun senjata atas prinsip realisme dalam hubungan antar negara”; “sudah sepantasnya manusia saling bantai karena kodratnya sebagai homo homini lupus”; dan seterusnya.Hal yang ditawarkan Nasida Ria kelihatannya sejalan dengan salah satu visi dalam beberapa proyek seni masa kini: hubungannya dengan kehidupan sehari-hari dan menjadikan “rasa” sebagai dasar pengalaman sejati atas kehidupan bersama. Nasida Ria tidak ingin bermain not-not keriting atau menampilkan lirik bombastis agar dianggap cerdas, mereka berpesan sederhana tetapi mendalam: jagalah perdamaian, bersikaplah adil, berhenti memproduksi senjata, mari kita hidup seperti di Kota Santri: “asyik senangkan hati”.

Nasida Ria bersama tim Ruang Rupa

Dengan demikian, di dalam sebuah kelompok Nasida Ria, terkandung sebuah pesan yang matang: tentang hidup yang menyeluruh, harmoni antara yang “baik” dan yang “indah” (gagasan yang lebih mudah dibicarakan dan didiskusikan, ketimbang dijalankan dalam keseharian). Jadi, di saat seni rupa sedang ramai membicarakan dampaknya bagi masyarakat, Nasida Ria sudah lama menjalankannya: seni sebagai tontonan, sekaligus juga sebagai tuntunan. Mari merayakan Nasida Ria. Untuk kita, untuk dunia.

 


 

Penulis
authorphi

Eksplor konten lain Pophariini

Bising Kota Kuliner Jogja: Petualangan Selera, Lanjut Gosipin Skena Bersama Indra Menus

Rekomendasi kuliner di Jogja ditemani penjelajah kuliner yakni Martinus Indra Hermawan atau yang sering dikenal dengan nama panggilan Indra Menus

Setelah 2 Tahun, Dere Akhirnya Rilis Single Baru Berjudul Biru

Selang dua tahun dari kelahiran album penuh perdana Rubik, Dere akhirnya kembali menghasilkan karya terbaru dalam tajuk “Biru” yang dilepas hari Kamis (31/10).     Single “Biru” menggambarkan pertemuan antara cinta dan ragu dengan …