Feast, Para Pembawa Pesan

Oct 15, 2018

Makanya, kita enggak pernah tahu apa yang lu bilang di Internet seberapa berpengaruhnya buat orang. Gue kesal banget melihat orang-orang kayak, “Ya sudahlah, serang saja. Dia sebagai figur publik seharusnya siap untuk menerima serangan seperti ini. Kalau lu sebagai figur publik harusnya sudah tahu kalau ini harga yang lu dapat dari jadi seorang figur publik.” Tapi bukan hak lu buat mengatai mereka! Kayak begitu, maksud gue. Siapa yang bilang lu jadi punya keleluasaan untuk omong jauh lebih kasar ke orang yang lu nggak kenal, atau dikenal sama semua orang. Enggak juga sih, menurut gue. Kalau lu enggak bisa omong sesuatu yang baik, ya enggak usah omong sekalian, menurut gue.

Bukan berarti gue nggak pernah kayak begitu, ya. Waktu itu gue secara teknis mungkin bisa dibilang enggak mengatai siapa-siapa. Cuma, jadinya omong pedas banget. Gue mencuit begini: “Kalau Reality Club vokalisnya bukan Chia (Fathia Izzati, yang juga terkenal berkat video-videonya di YouTube), ada yang dengar apa enggak?” Wah, itu ramai gila. Gue sampai ditegur sama anak-anak, “Lu kenapa omong begini?” Sampai sekarang, kami ama mereka enggak pernah ada masalah apa-apa. Dan waktu itu gue sempat bersikeras kayak, “Enggak kok, ini sebenarnya biasa saja. Kenapa lu begitu banget?” Tapi kalau dipikir-pikir lagi sekarang, ya buat lu biasa banget. Lu enggak tahu rasanya mungkin jadi Chia baca itu. Atau rasanya jadi anak-anak Reality Club baca itu, kayak, “Anjing, siapa sih ini orang?”

Baskara dan Adnan / @wordfangs (instagram).

Sebenarnya salah, sih. Kayak lu harus belajar dari kesalahan dulu buat jadi benar. Cuma, seenggaknya gue bersyukur pernah melakukan hal bodoh itu dan beberapa hal lain di Internet yang bikin gue kayak, “Ya sudahlah, kalau lu enggak bisa berkata yang baik, lu enggak usah omong.” Itu salah satu alasan gue matikan (akun) Ask.fm juga, daripada gue jadi menghakimi banget sama orang. Kan enggak ada namanya, kesannya lu cuma membalas orang tak dikenal di Internet, cuma lu enggak tahu dampak yang lu omong buat dia.

Terakhir, “Berita Kehilangan”. Dulu kenal baik dengan Raafi, atau cuma kenal karena satu sekolah?
Kalau di PL enggak ada yang enggak kenal baik sih, menurut gue. Hanya sedikit yang enggak kenal baik sama yang lain, karena sekolah yang senioritasnya sangat tinggi, lelaki semua yang bikin lu harus ke mana-mana bareng, apa-apa bareng. Seenggak dekatnya gue ama seseorang di sekolah itu, gue yakin kalau dibandingkan dengan kacamata standar pertemanan di sekolah lain, gue jauh lebih dekat dibanding mereka melihatnya.

Dan kebetulan kalau sama Raafi – panggilan PL-nya Bolpan waktu itu – gue dua tahun dapat sekelas sama dia terus. Itu yang pertama. Terus ya memang karena di PL, lu main sama siapa pun. Gue main banget ama dia, setidaknya di sekolah. Mungkin gue enggak ikut lingkungannya dia tiap hari, main keluar. Gue lebih dekat sama beberapa teman dekatnya dia yang lain.

Cuma, bagaimana rasanya, sih? Lu masih umur segitu, 17 tahun saja belum bulat waktu itu. Lu melihat kejadian kayak begitu.

Ada di situ saat kejadian?
Gue enggak ada di situ waktu itu. Gue diajak, gue enggak ada. Itu ulang tahun salah satu teman gue. Waktu itu masih jamannya BBM, gue ingat banget. Gue lupa jam berapa itu ya, jam 2-3 pagi. Jamannya broadcast message, kan. Ramai banget di HP gue: “Cari orangnya! Cari orangnya!” Segala macam. Dan gue ingat banget, waktu itu ada satu pesan yang emang kayak permintaan tolong: “Yang baca ini, siapa pun sekarang, gue mohon…” Itu salah satu penyesalan gue. Kayak, gue baca doang, “Ini apaan sih?” Gue tidur.

Gue enggak tahu seberapa banyak bisa berkontribusi di keadaan itu. Dan gue enggak tahu seberapa banyak, kalau misalnya gue kontribusi, bisa mengubah keadaan saat itu. Gue memilih untuk tidur, dan PL bercandaannya suka tai. Pas pertama kali kayak, “Ya, teman-teman, Raafi sudah enggak ada,” gue baca, kayak, “Anjing, ini bercandaan apaan sih?” Karena sering banget keluar bercandaan kayak itu, dalam arti yang lain.

Pagi-pagi ibu gue masuk kamar. Ibu gue bertanya, “Si Raafi minggu lalu ke Singapura, dia berobat?” Karena dia memang ke Singapura. “Enggak kok, liburan setahu aku. Kenapa?” “Meninggal tadi pagi.” Dar! Pernah kan lu merasa dalam hidup lu, yang lu bangun, lagi mengantuk, lu dengar sesuatu, lu hilang total kantuknya, langsung tegap. Terus gue cek HP, itu yang gue baca tadi malam.

Gue menyesal banget. Enggak omong, gue cuma ganti baju, mandi, pakai baju hitam-hitam, menyetir ke rumah dia. Teman-teman gue yang di sana…lu bayangkan, anak umur 17 tahun, kuku dalamnya sudah coklat bekas darah. Sepatunya, Converse, Vans atau apa pun itu, sol putihnya sudah coklat. Kemeja sudah dikubur semua, karena bersimbah darah. Dan sampai titik itu enggak ada yang menangis.

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Penulis
Hasief Ardiasyah
Hasief Ardiasyah mungkin lebih dikenal sebagai salah satu Associate Editor di Rolling Stone Indonesia, di mana beliau bekerja sejak majalah itu berdiri pada awal 2005 hingga penutupannya di 31 Desember 2017. Sebenarnya beliau sudah pensiun dari dunia media musik, namun kalau masih ada yang menganggap tulisannya layak dibaca dan dibayar (terutama dibayar), kenapa tidak?

Eksplor konten lain Pophariini

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …

CARAKA Suarakan Berbagai Emosi di Album Terbaru NALURI

Unit pop asal Tegal, CARAKA resmi luncurkan album bertajuk NALURI (15/12). Melalui sesi wawancara yang berlangsung pada Senin (16/12), CARAKA membagikan perjalanan band dan hal yang melatarbelakangi rilisan terbarunya.     CARAKA merupakan band …