Feast, Para Pembawa Pesan

Oct 15, 2018

Sebenarnya yang mau diangkat “Peradaban” itu apa?
“Peradaban” itu tadinya kan satu lagu spesifik yang mau dipakai buat omongkan bom Surabaya. Cuma, dalam penulisannya, ternyata bikin gue gatal. Gatal melihat orang yang kayak berusaha banget mengubah peradaban sesuai dengan bayangan yang dia punya. Mau apa, sih? Maksudnya, sehebat-hebatnya Ozymandias zaman dulu, ujung-ujungnya yang ditemukan cuma kepalanya di batu. Dia dulu menaklukkan berapa bangsa, jadinya begini doang.

Pada akhirnya, lu omong budaya ketimuran, omong ini harus diubah, Pancasila enggak sesuai, enggak boleh upacara bendera…dari jaman agama lu belum datang, orang Jawa, orang Bali sudah telanjang dada. Jadi yang lu bilang budaya ketimuran itu bukan budaya paling tua di sini. Itu jauh lebih muda umurnya dari apa yang sudah ada.

Jadi “Peradaban” sebagai sebuah lagu, dia mungkin jadi kayak semacam cara – entah kasar, entah enggak, terserah persepsi orang – cuma untuk omong kayak, “Biarkan Bumi Pertiwi napas.” Enggak usah mengebom orang. Lu mau mengajak keluarga lu buat melakukan bom bunuh diri ramai-ramai, minggu depan orang masih ke H&M, masih beli baju. Lo mau memasung atau lemparkan batu ke penyanyi pop yang bajunya terlalu seksi, beberapa bulan lagi Ariana Grande mengeluarkan single lagi dan orang-orang masih dengar. Ratusan ribu orang di Indonesia masih bakal dengar itu. Jadi pada akhirnya putar saja terus.

“… manusia kadang-kadang merasa dirinya lebih besar dari peradaban”

Maksudnya, kalau memang apa yang ingin lu ciptakan itu bukan aspirasi terbesar dari masyarakat sebagai sebuah sistem, ya enggak bakal kejadian. Jadi jangan dipaksakan, enggak usah juga. Lu capek, jadi ada korban, semuanya capek. Sia-sia saja, jadinya.

Cuma, waktu gue menulis, gue enggak ingin omong dari sudut pandang yang kayak, “Teroris bangsat!” Atau kayak, “Lu kenapa mengebom?” Karena menurut gue, sebenarnya itu gejala. Masalah lebih besarnya adalah, ya memang manusia kadang-kadang merasa dirinya lebih besar dari peradaban. Santai saja, enggak usah begitu-begitu amat. Gue lihat perspektifnya dari seberapa besar sih sebenarnya, ide seorang manusia untuk menaklukkan peradaban. Ternyata enggak begitu-begitu amat.

Lucu sih, kalau omong “Peradaban”. Kami enggak menduga ini bakal sukses secara komersial, atau streaming-nya bakal tinggi banget, meledak kayak sekarang. Waktu Feast mengeluarkan “Peradaban”, itu sepenuhnya idealis saja. Kayak, “Inilah yang pertama, ini yang harus pertama. Dari pesannya semua, ini harus edar pertama.” Cuma, lagu itu idealis banget. Outro-nya berapa menit, intro-nya semenit sendiri, dan chorus-nya mengulang-ulang doang. Gue enggak menyangka ternyata yang dengar sebanyak itu, dan sampai sekarang kami sudah mengeluarkan single kedua, single ketiga, masih ada yang share itu ulang. Masih masuk di DM (direct message) gue pribadi, di DM-nya Feast. Mungkin karena memang sebenarnya itu yang dirasakan sama orang. Kayak, lu kenapa memaksa celana gue harus mengatung, lu kenapa memaksa gue kayak, “Enggak bisa, lu harus setiap hari Minggu dari jam segini sampai jam segini.”

Jadi yang gue lihat dari lagu itu, di satu sisi manusia itu lebih gede, mungkin, dari peradaban, karena kadang enggak mau diatur: “Gue enggak mau diatur dengan ajaran apa pun yang ada.” Cuma, di satu sisi lain, kalau lu lihatnya jauh lebih makro, ide lu mau segede apa pun, ya Genghis Khan cuma jadi tulang kan, sekarang. Begitu jadinya. Lagu itu kesannya kayak sesuatu yang dibicarakan dari sudut pandang, perspektifnya Pertiwi. Jadi sebenarnya gue enggak omong Indonesia, bahkan. Cuma, orang sangat mengaitkan itu dengan apa yang kejadian sekarang.

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Penulis
Hasief Ardiasyah
Hasief Ardiasyah mungkin lebih dikenal sebagai salah satu Associate Editor di Rolling Stone Indonesia, di mana beliau bekerja sejak majalah itu berdiri pada awal 2005 hingga penutupannya di 31 Desember 2017. Sebenarnya beliau sudah pensiun dari dunia media musik, namun kalau masih ada yang menganggap tulisannya layak dibaca dan dibayar (terutama dibayar), kenapa tidak?

Eksplor konten lain Pophariini

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …

CARAKA Suarakan Berbagai Emosi di Album Terbaru NALURI

Unit pop asal Tegal, CARAKA resmi luncurkan album bertajuk NALURI (15/12). Melalui sesi wawancara yang berlangsung pada Senin (16/12), CARAKA membagikan perjalanan band dan hal yang melatarbelakangi rilisan terbarunya.     CARAKA merupakan band …